#1Hari1Ayat hari ke 6
Siapa pun pasti pernah marah, masalahnya bagaimana kita bisa
mengelola marah itu sehingga bisa tersalurkan dengan baik. Hari itu seperti
biasanya saya harus mengajar murid-murid kecil saya di TPA dekat rumah. Namun
karena ada tukang di rumah yang sedang memperbaiki atap rumah saya yang
bocor.
Jadi mau tak mau saya harus minta
ijin kepada kepala TPA bahwa saya tidak bisa masuk pada hari itu. Saya mengirim
SMS ke HP beliau. Meskipun beliau tidak membalas SMS, saya yakin beliau sudah
membacanya dan mengijinkan saya untuk tidak masuk.
Jika pekerjaan tukang itu selesai
sebelum jadwal mengajar, maka saya akan tetap berangkat mengajar, demikian saya
berjanji dalam hati. Benar saja, sampai
jam empat sore di mana saatnya saya harus mengajar, tukang itu masih saja
berkutat dengan pekerjaannya yang hampir rampung.
Dengan sangat terpaksa saya tidak
bisa bertemu dengan murid-murid kecil saya itu... Namun baru sepuluh menit
berlalu dari jam 4 sore, suara telepon memanggil saya. Segera kuangkat telpon
dan menyapa orang yang di seberang sana dengan salam. Belum selesai salam
ucapkan, sang penelepon berteriak-teriak menyuruh saya masuk dan mengajar di TPA. Alasannya guru
yang biasa mengajar bersama saya juga tidak hadir.
Dengan teriakan marah sang penelepon
tidak memedulikan alasan saya. Dia meminta saya meninggalkan tukang yang sedang bekerja untuk datang ke TPA saat
itu juga. Subhanallah... benar-benar seseorang yang tidak bisa mengontrol
marahnya sama sekali, karena belum selesai saya menjelaskan alasan sang
penelpon buru- buru mematikan telponnya dengan alasan pulsanya habis.
Lama saya tercenung, perasaan
saya campur aduk, kesal karena alasanku tidak di dengar, marah karena tiba-tiba
dia mematikan telponnya, dan sedih karena sang penelpon yang saya kenal itu
ternyata tidak seperti yang selama ini saya bayangkan. Orang yang selama ini
baik dalam pikiran saya, karena saya memang baru mengenalnya kurang lebih
setahun ini, ternyata tidak bisa mengontrol marahnya sehingga harus berteriak
teriak di telepon hanya untuk masalah sepele karena ketiadaan guru.
Tentu saja saya tidak bisa
meninggalkan tukang yang bekerja di rumah saya. Pertama karena saya harus
memberikan upah si tukang karena sudah selesai memperbaiki atap rumah saya yang
bocor. Kedua karena tidak ada orang lain yang bisa saya titipkan untuk menjaga
rumah saya karena masih ada tukang di dalam rumah.
Saya tidak akan bisa memberikan
jawaban yang tepat pada suami jika beliau bertanya kenapa saya meninggalkan
rumah, padahal ada tukang yang sedang bekerja? Mana tanggung jawab saya sebagai
istri sebagai penjaga amanah dan harta suaminya?
Saya lalu menelon kepala TPA.
Lalu saya jelaskan kalau saya tidak bisa datang. Beliau dengan santun menjawab
bahwa beliau yang akan menggantikan saya ke TPA. Alhamdulillah... lega rasanya
hati saya mendengar jawaban beliau. Jawaban yag sangat kontras dengan seseorang
yang baru saja menelepon saya tadi.
Saya teringat sebuah hadist Rasululah
SAW. , janganlah marah.. sesungguhnya
setan bersama orang yang marah, jika kamu marah maka bersegeralah berwudhu.
Karena api (syetan) akan lenyap bila di lawan dengan air (wudhu). Semoga Allah
memaafkan teman saya yang menelepon tadi dan semoga saya juga bisa lebih mengontrol
marah dengan cepat-cepat berwudhu ketika marah. Aamiin... Seperti yang diperintahkan ALlah dalam surat Al Imran ayat 134 :
134. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan marahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. |
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. ^_^