Pernahkah seseorang meludah di depan Anda tanpa alasan yang jelas? Aku
pernah mengalaminya. Pengalaman yang takkan pernah kulupakan. Pengalaman yang
mengingatkanku untuk selalu bersabar.
Siang ini begitu panas, aku bergegas menuju rumah. Tiba-tiba seorang
wanita berusia sekitar 35 tahun meludah di depanku. Aku terkejut dan segera
menghindar. Kupikir wanita itu tidak sengaja melakukannya. Wanita itu adalah
salah satu tetanggaku. Aku tidak mempedulikan kelakuan wanita dan segera berlalu dari hadapannya..
Keesokan harinya hal itu terjadi lagi. Wanita dengan rambut keriting itu
meludah lagi di depanku untungnya aku tidak terkena cipratan ludahnya. Kali ini
keningku berkerut. Tidak mungkin dia tidak sengaja melakukan ini. Ada apa
dengan wanita ini? Kenapa dia meludah sewaktu aku lewat di depannya?
Berbagai pikiran buruk muncul di
kepalaku. Segera kusingkirkan pikiran buruk itu. Mungkinkah dia sedang kesal
padaku? Kalau iya, kenapa? Aku masih ingin berbaik sangka tentang perilaku
wanita ini. Mungkin saja dia memang tidak sengaja melakukannya.
Selanjutnya, setiap aku bertemu dan berpapasan dengannya, dia masih saja
melakukan hal itu padaku. Akhirnya aku tidak tahan untuk bertanya. “Saya
perhatikan setiap hari Mbak meludah di depan saya. Maksud mbak apa ya?” aku
berusaha merendahkan intonasi suaraku. Wanita itu melotot dan menatap nanar
pada saya. Ia menyahut, “suka-suka saya, ludah-ludah saya!”
Sungguh kesal aku mendengar kalimatnya yang membingungkan itu. Tapi
karena tidak ingin ribut, akupun meninggalkan wanita itu. Aku pernah mendengar
dari tetangga lainnya, bahwa wanita itu memang sering mencari gara-gara dengan
orang lain. Bahkan dia juga sering bertengkar mulut hingga jambak-jambakan
dengan orang lain hanya karena masalah sepele.
Untuk menghindari kejadian ini terulang lagi, akupun tidak lewat di
depan rumahnya, tapi mencari jalan lain yang jaraknya lebih jauh dari rumahku. Ternyata
wanita itu megikutiku ke manapun aku berjalan. Dia sengaja mengikutiku agar
kami berpapasan, lalu meludah di depanku.
“Cuih!” dia mulai beraksi. Secepat kilat aku menghindar,” weits ! Gak kena!” ujarku sambil menjulurkan
lidah. Kali ini aku ingin memberi sedikit perlawanan. Dia terlihat kesal,
matanya yang besar melotot padaku. Aku tersenyum dan segera berlalu dari
hadapannya. Dia terlihat sangat gusar dengan perlawananku ini.
Sampai di rumah , kuceritaan hal ini pada kakekku. “Kamu tidak perlu
meladeninya. Jika kamu meladeninya, berarti kamu tidak lebih baik dari dia.”
Demikian Kakek memberi petuah.
Kata-kata kakek itu kusimpan dalam hati. Sejak itu, aku tidak mempedulikan
wanita itu lagi. Kubiarkan saja dia meludah ketika aku berpapasan dengannya. Toh
ludahnya juga tidak mengenai bajuku. Hingga akhirnya dia berhenti sendiri dari
kebiasaannya itu.
Lalu ketika suatu kali kami berpapasan lagi, dia menghampiriku. Bukan
untuk meludah tapi untuk minta maaf. Dia mengatakan bahwa dia menyesal sudah
melakukan hal bodoh itu.
Betapa leganya aku. Ternyata dengan menahan
diri seperti saran kakekku, aku berhasil membuat dia menyadari kesalahannya.
Akupun tidak perlu membuang energi untuk berdebat dengannya.
“Tidak seharusnya saya bersikap begitu,” ujarnya tulus. Aku tersenyum.
“Nggak apa-apa Mbak. Saya sudah memaafkan Mbak kok. Saya hanya tidak ingin
ribut.” Aku membalas ketulusannya. Sejak itu hubungan kami semakin membaik.
Petuah kakek ini kuingat sepanjang masa. Jika ada seseorang yang
menjengkelkanku, dan saat itu aku ingin membalasnya, maka petuah kakek ini
berhasil meredam kemarahanku.
Ternyata dengan bersabar, banyak yang bisa
kita selamatkan. Menyelamatkan perasaan orang-orang terdekat kita. Andai saja
waktu itu aku membalasnya dengan hal serupa, tentunya keluarga besar kami akan
jadi gunjingan di antara para tetangga.