“Umua baru 35 tapi bantuak urang umua 50,” gerutu Sutan Palindih pada Leni istrinya. Leni tersedak, ia segera mengambil gelas yang sudah berisi air dan langsung meminumnya sampai habis. Malam itu mereka sedang makan malam. Entah ini kali keberapa suami Leni itu melontarkan kata-kata pedas seperti itu. Perempuan berdarah Minang ini menarik napasnya.
Padahal tadi ketika suaminya pulang dari kantornya, tak ada pertengkaran diantara mereka. Begitu Leni mengeluh tentang ibu-ibu komplek perumahan mereka yang sering berutang di warungnya, ujung-ujungnya Sutan Palindih pasti akan melontarkan pernyataan yang sama. Mengomentari umurnya yang masih 35 tahun, namun terlihat seperti ibu-ibu yang sudah berumur 50 tahun.
Leni bukannya tidak menyadari akan kekurangannya yang satu ini. Setiap habis mandi dan mematut diri di depan cermin, ia sedih melihat wajahnya yang dipenuhi noda hitam akibat penuaan dini. Badannya juga tidak selangsing dulu. Seperti sebelum ia menikah dengan Sutan Palindih. Tapi apa dayanya, kesibukannya mengurus 3 anaknya, rumah tangganya serta sebuah warung di depan rumahnya itu telah membuatnya lupa untuk merawat diri sendiri.
“Ambo bukannyo ndak nio manjago badan Uda. Ambo sudah ikut senam di sanggar Mbak Andien. Ambo juga sudah beli bedak yang katanya membuat wajah lebih muda di salon Mbak Fatima. Tapi muka dan badan ambo masih saja seperti ini,“ sahut Leni lemah. Ia juga bingung kenapa usahanya untuk membuat badannya lebih langsing dan membuat kulitnya lebih cerah selalu saja gagal.
“Tentu saja kau tidak berhasil, kau datang ke situ hanya sesekali saja. Bedaknya pun tak kau pakai tiap hari,” sembur Sutan Palindih. Leni semakin tersudut.
“Ambo sibuk di warung , makanya ambo tidak bisa ke sanggar itu tiap hari,“ Ia berusaha membela diri.
“Semua orang juga sibuk, tapi kenapa mereka bisa menjaga badannya. Lagipula apa hubungannya kesibukan kau dengan memakai bedak? Memakai bedak saja kau tak rutin, bagaimana muka kau akan terlihat bersinar seperti si Fatima dan Si Andien itu,“ sahut Sutan Palindih geram, ia kesal sekali jika perkataannya disahuti istrinya seperti itu.
“Baiklah Uda, besok Ambo ke sanggar Mbak Andien lagi,“ Leni mengalah. Ia tidak ingin ribut dengan suaminya. Ia selalu ingat pesan Apak ketika ia menikah dulu, “Suamimu yang bertanggung jawab terhadapmu dunia akhirat, jadi kau harus patuh padanya. Dia sudah menjadi tuanmu sekarang. Apak hanya ingin mendengar yang baik-baik saja dari kalian, tolong kau ingat itu.“
Pernyataan Apak itulah yang membuat Leni mengikuti semua perintah suaminya. Apapun yang terlontar dari mulut sutan Palindih adalah titah baginya yang tidak akan pernah dilanggarnya. Banyak sudah perintah Sutan Palindih yang kadang tidak sesuai dengan keinginan Leni. Matanya menerawang mengingat perintah suaminya 5 tahun yang lalu.
“Sebaiknya kau tidak usah bekerja lagi, kau urusi saja anak-anak di rumah,” pinta Sutan Palindih waktu itu. Walau kaget dengan permintaan itu, Leni memutuskan berhenti dari pekerjaannya sebagai teller di salahsatu bank swastadi Jakarta.
Setelah itu ia berkutat dengan rumah tangganya dan merawat anak-anaknya. Ia berusaha mencari kegiatan dengan membuka warung kecil di depan rumahnya. Sebenarnya Sutan Palindih keberatan jika Leni membuka warung.
“Lumayan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari dan menambah cicilan rumah Uda, lagi pula ambo bingung mau melakukan apa setelah anak-anak berangkat sekolah.” Demikian Leni beralasan. Sutan Palindih akhirnya setuju, dengan syarat ia tidak akan pernah melayani para pembeli.
“Sebaiknya kau tutup saja warung itu,“ demikian perintah Sutan Palindih beberapa waktu lalu. Leni hanya diam, tidak mungkin itu dilakukannya. Ketika itu Sutan Palindih melihat nilai rapor anak-anak mereka merosot. Padahal Leni sudah meminta anaknya untuk les di rumah Ibu Nurmala, tetangga mereka.
“Ibu Nur gimana sih, saya sudah bayar mahal-mahal, tapi nilai anak-anak saya masih saja rendah! Bu Nur mau dibayar berapa biar nilai anak saya jadi tinggi sih!” semburnya kepada Bu Nurmala. Leni mendatangi rumah Bu Guru itu sesaat setelah melihat nilai rapor anak-anaknya.
“Uni, saya sudah mengajari anak Uni. Mereka anak pintar. Saya juga bingung kenapa nilai mereka jadi rendah?” Bu Nur memelas.
“Kalau mereka pintar harusnya mereka juara kelas dong!” sahut Leni sengit. Ia masih tidak terima dengan nilai anaknya. Ia merasa sudah mengeluarkan uang cukup banyak demi anak-anaknya itu.
“Sabarlah dulu Uni, mungkin kita bicarakan baik-baik dengan mereka. Saya pernah mendengar kalau Remon ingin Uni yang mengajarinya belajar. Waktu itu anak-anak Uni bercerita di sini. Kebetulan saya sedang di kamar mengambil buku latihan. Ketika saya kembali saya tak sengaja mendengar cerita mereka itu.” Jelas Bu Nur panjang lebar. Leni tertegun, mungkinkah anak-anaknya butuh perhatiannya?
“Tapi kenapa mereka memilih cara ini untuk mendapatkan perhatianku,“ gumam Leni. Ia buru-buru berlalu dari rumah Bu Nur tanpa sepatah katapun. Bu Nur memandang kasihan melihat perempuan itu.
*****
“Remon bangunlah Nak, sudah azan,“ Leni memangunkan sulungnya. Ia baru saja pulang dari pasar membeli sayuran untuk dijualnya kembali. Sebelum subuh diusahakannya untuk segera kembali ke rumah guna melakukan shalat subuh berjamaah di mushalla.
“Hhh..., iya Mak,“ Remon mengeliat. Ia segera membuka matanya. Ia tidak mau membuat ibunya menjadi marah karena ia tidak mau bangun. Leni tersenyum, ia berjalan ke samping tempat tidur di sisi yang lain. “Doni, bangun Nak,” ujarnya sambil mengelus rambut Doni. Bungsunya mengeliat dan berganti arah tidur. Leni mengelus rambut Doni lagi. Kali ini disertai ciuman di kepala Doni. Doni mengeliat lagi. Ia merasakan dinginnya pipi ibunya yang sempat menyentuh telinganya tadi. Anak itu segera bangun dan mengucek matanya.
“Kalian berwudhulah dulu, Amak mau membangunkan Weni ya,” Leni berjalan meninggalkan kamar kedua putranya itu. Kamar Weni di samping kamar Remon dan Doni. Leni membuka pintu kamar Weni, ternyata Weni sudah bangun dan sedang mengenakan mukenahnya. Leni tersenyum anak perempuannya itu untunglah sudah terbiasa dengan bangun subuh.
“Ayo Doni, sudah azan tuh,” terdengar suara Remon memanggil adiknya. Beriringan mereka menuju pintu rumah. Leni, Sutan Palindih dan Weni sudah duduk menungu di teras rumah mereka.
“Cepat pakai tangkelek[1] kalian,” perintah Sutan Palindih kepada kedua bocah itu. Mereka menggangguk dan segera mengenakan bakiak. Setelah itu mereka sekeluarga berjalan menuju mushalla yang tidak begitu jauh dari rumah.
“Treng…treng.., treng.. treng…,” Koor bakiak mereka itu memecah kesunyian subuh. Sebagian warga komplek yang masih tertidur lelap. Suara itu seperti membelai tidur mereka.
“Ondeh mandeh.. pakak talingo ambo!” tiba-tiba suara seseorang menghentikan langkah anak-beranak itu. Serentak mereka menoleh ke rumah Uda Young yang berada di sebelah kanan mereka. “Apa kalian tidak bisa pakai sandal biasa saja!?“
“Maksud Uda apo?“ sahut Leni bingung. Setiap hari mereka ke mushalla melewati rumah Young dan rumah warga lainnya, tak pernah ada komplen sebelumnya.
“Suara bakiak kalian itu sudah membuat ambo tidak bisa tidur. Biasonyo Ambo diam se, kini Ambo dak tahan lai, pakak talingo ambo mandanga suaro tangkelek tu tiok subuah!” Uda Young menghampiri mereka. Alisnya terangkat, keningnya berkerut , matanya melotot. Leni melihatnya seperti monster yang siap memakan keluarga mereka hidup-hidup.
“Saba Uda , ancak wak sumbayang ka musajik dulu[2],” sutan Palindih menyabarkan Young yang masih bujangan walaupun umurnya sudah kepala 4 . Di tangan kanan Young masih terselip bantal guling. Sepertinya laki-laki perlente ini memang selalu rapi di manapun ia berada. Bahkan pagi itu ia masih saja mengenakan kaos bukan piyama.
“Saba-saba! Ambo sudah bersabar selama ini! Setiap hari kalian anak beranak lewat jalan ini dengan suara bakiak itu! Apa kalian pikir ini jalan nenek moyang kalian !? Banyak yang terganggu dengan suara bakiak kalian. Mereka tak mengatakannya bukan karena mereka suka, tapi karena mereka tidak mau ribut samo kalian!” Udo Young benar-benar naik pitam. Ia baru pulang dari pekerjaannya jam 3 pagi. Ia belum tidur sama sekali, ketika ia mencoba untuk tidur, suara bakiak keluarga Leni mengusiknya.
“Eh Uda Young! harusnyo Uda bersyukur, kami sudah membangunkan Uda untuk shalat subuh. Jangan suka tidur kalau sudah subuh, nanti rejeki dipatuk ayam,” balas Leni sengit. Ia tidak terima dibentak-bentak seperti itu. Sejak kemarin ia ingin melampiaskan kekesalan karena sudah dimarahi suaminya. Kebetulan pagi ini ada yang ngajak berantam. Leni bisa melampiaskan kemarahannya itu.
“Alah mah, dak lamak didanga urang,[3]“ Sutan Palindih menyabarkan istrinya. Ia tahu tabiat Leni, jika sudah marah pasti mulutnya merepet seperti petasan banting. Leni tak peduli lagi waktu dan tempat jika sedang marah. Memang kepada Sutan Palindih Leni tidak pernah membantah, tapi jika ada orang lain yang menyinggungnya dengan cara kasar seperti tadi, maka Leni akan membalasnya dengan kasar juga.
Leni terdiam, perintah suaminya adalah titah baginya. Ia menundukkan wajahnya menahan semua amarahnya. Emang si Young ini gak bisa ngasih tau baik-baik apa, batinnya.
“Maafkan kami Uda, besok kami tidak akan mengenakan bakiak ini lagi ke mushalla,“ Sutan Palindih menjabat tangan Young. Young sebenarnya sedikit syok dengan semburan Leni tadi. Dia tidak menyangka Leni bisa bicara segitu kerasnya. Untunglah suaminya segera menenangkan Leni. Young malu juga jika ada warga yang melihat mereka bertengkar di kesunyian subuh ini. Bisa-bisa warga menuduhku beraninya sama perempuan aja, batin Young.
“Ya sudah, ambo hanya berharap suara Bakiak itu jangan terlalu terdengar. Kan bisa berjalan tanpa harus menyeretnya,” jawab Young sambil membalikkan badannya. Ia ingin meneruskan tidurnya.
Sutan Palindih mengangguk setuju. Mereka pun berjalan menuju mushalla. Remon, Weni dan Doni sebenarnya tadi ketakutan. Mereka tak menyangka ibu mereka bisa sehisteris itu. Mereka bersembunyi dibelakang ayah mereka. Tapi ketika ibu mereka sudah terlihat tenang, mereka mulai mendekati Leni dan melanjutkan perjalanan ke mushalla.
“Maafkan Ambo Da,“ Leni tertunduk di sepanjang perjalanan ke mushalla. Ia menyesal telah kehilangan kendali di depan anak-anaknya.
“Di rumah saja nanti kita bicarakan,“ mereka masuk ke dalam mushalla dan segera melakukan shalat subuh berjama’ah yang sudah dimulai.
****
“Uni Leni, ngapain pagi-pagi udah bengong..!“ suara Mak Jampi tetangganya membuyarkan lamunan Leni. Leni bingung dengan keputusannya semalam. Ia idak bisa meluangkan waktunya untuk senam dan merawat diri di salon kecantikan. Leni berpikir, jika ia pergi ke sanggar senam itu, siapa yang akan menjaga warungnya.
“Eh Mak Jampi…” Leni gelagapan. “Ini pesenan pinangnya,” Leni mengeluarkan bungkusan pinang yang di pesan Mak Jampi kemarin.
“Saya lihat Uni Leni lagi ada masalah ya,” tebak Mak Jampi. Wanita cantik dengan dandanan khasnya mengenakan kebaya encim ini dikenal warga sebagai ahli herbal. Mak Jampi telah banyak menyelesaikan masalah warga komplek Perumahan Bumi Makmur itu.
“Mending minta ramuan dari Mak Jampi saja Uni,” saran Ziah beberapa hari yang lalu. Tapi Leni belum sempat konsultasi ke rumah Mak Jampi. Padahal Mak Jampi sering menitip pinang padanya. “Untuk pasien saya, biar tambah keset,“ demikian ujar Mak Jampi setiap Leni bertanya untuk apa. Leni bingung apa maksud perkataan Mak Jampi itu. Tapi ia malas bertanya.
“Mak Jampi, boleh saya konsultasi gak, tapi kalo bisa di sini saja ya,” Tiba-tiba Leni berpikir harus berkonsultasi saat itu juga dengan Mak Jampi.
“Boleh, asal Uni Leni gak keberatan banyak orang yang mendengar masalah Uni,” Mak Jampi melirik ibu-ibu yang sudah berdatangan ingin membeli sayur.
“Hayo! Uni Leni mau konsul apa sama Mak Jampi?” tanya Ziah menyelidik. Gadis itu sering berutang di warung Leni. Leni tersenyum kecut. Tidak mungkin rasanya untuk berkonsultasi di antara penghuni komplek ini. “Nanti saya ke rumah Mak Jampi aja deh,“ putusnya.
“Saya tunggu loh ya,” senyum Mak Jampi. Ia berlalu dengan membawa pinang pesanannya. Sebelumnya diserahkannya selembar uang sepuluh ribuan kepada Leni. Leni mengangguk,” iya Mak Jampi, ma kasih ya,” sahutnya sambil melayani Ziah yang minta dibungkuskan 1 ons cabe.
“Uni, pete-nya dua papan ya,” pinta Monika tang selalu berbelanja bersama Ziah. Leni menggangguk dan mengambilkan petai untuk Monika.
“Saya sudah Uni, tolong di hitung,“ Ziah memberikan semua sayuran yang sudah dipilihnya kepada Leni. Leni mengambil sayuran itu dan memasukkannya ke dalam kantong kresek,“Semuanya sepuluh ribu,” ujarnya.
“Biasa ya Uni, dicatat dulu aja,” senyum Ziah sambil mengambil kantong belanjaannya.
“Ondeh mandeh Ziah... lah banyak utang kau, yang dulu belum dibayar. Kini mau ngutang lagi.“ Leni menarik kembali kantong belanjaan Ziah. Ia tidak mau Ziah berutang lagi hari ini.
“Uni, saya belum gajian. Minggu depan saya bayar deh…“ Ziah berusaha menenangkan Leni. Wajah Leni sudah memerah. Mulutnya maju dua senti. Hidungnya kembang kempis seperti banteng yang siap menyeruduk orang. Wanita yang selalu menutup kepalanya dengan selendang itu sudah siap menyemburkan kemarahannya.
“Dak bisa! Harus kau bayar sekarang, apa kau tak tahu, berapalah keuntungan ambo! Ambo harus memutar uang itu lagi untuk modal. Kalau kau berutang terus kapan ambo berangkat haji!“ Perempuan yang selalu mengenakan baju lengan panjang dan sarung batik itu, sudah tidak bisa mengendalikan emosinya. Ibu-ibu lain yang sedang berbelanja hanya mematung memperhatikan Ziah dan Leni.
“Lagi dapet kali,“ bisik salah satu dari mereka.
“Bukan.. pasti karena tadi pagi habis didamprat Uda Young,“ timpal yang lain.
“Aku kira karena habis dimarahi suaminya tuh,“ tebak yang berbaju merah. Ketiga perempuan itu cekikikan menebak apa penyebab kemarahan Leni pagi itu. Leni masih saja merepet membahas utang Ziah yang belum dibayarnya.
Didampratnya Ziah habis-habisan. Ziah hanya tertunduk malu. Dia memang belum bisa membayar utangnya. Tapi kenapa Leni memakinya di depan orang banyak seperti ini?
“Iya Uni, nanti saya bayar. Sekarang saya benar-benar tidak ada uang,” sahut Ziah menahan malu. Ia bingung harus bagaimana.Tidak mungkin dia pulang begitu saja. Mau balas menjawab, rasanya tak patut juga. Karena banyak sekali orang di sini.
“Sudahlah Uni Leni, pasti Ziah mau membayarnya besok,“ Monika menyabarkan Leni untuk membela Ziah. “Nanti saya akan mengingatkannya.“ Kedua gadis ini memang bersahabat. Walau kadang seperti Tom and Jerry.
“Baiklah, Ambo tunggu sampai besok, jika besok tak kau bayar, Ambo ambil motor butut kau itu,“ ancam Leni. Ziah memang selalu mengendarai motor butut ke kantornya.
“Ih jangan motor saya dong Ni... Motor saya lebih mahal dari utang saya ke Uni.“ Ziah tak bisa membayangkan jika ia kehilangan benda berharga miliknya satu-satunya itu. Apalagi Leni terlalu lebay, jika menyita motornya demi utang yang hanya beberapa ratus ribu saja.
“Nanti saya yang bayar kalo Mbak Ziah gak bayar Uni,“ sela Monika sambil mencubit pinggang Ziah. Ia berharap Ziah tidak memperpanjang urusannya dengan Leni.
“Kalau Monika mau jadi penjamin gini kan enak, ya udah ini bawa sayurnya. Nanti saya catat dan totalkan dengan utang yang lama ya,“ putus Leni dengan suara cemprengnya yang membuat ibu-ibu geleng-geleng kepala. Kedua gadis itu menarik napas lega.
“Makasih Uni,” Monika segera menarik lengan Ziah untuk segera berlalu dari warung Leni.
“Monika! Kau tak belanja!“ teriak leni.
“Dak jadi Uni, ntar aja,“ Monika dan Ziah mempercepat langkahnya.
“Wajahnya sih biasa aja, suaranya... kayak petasan banting, bikin panas kuping aja,“ gerutu Ziah disepanjang jalan.
“Lagian ngapain kamu ladenin sih? Udah tau orangnya begitu, malah diladenin, mending kamu bayar aja deh utang kamu sama dia. Gak enak tadi tetangga pada ngeliatin kamu. Kayak kamu gak punya uang aja buat bayar.“ Monika mengomeli Ziah.
“Iya besok aku bayar, aku pikir dia lupa, kalo dia lupa kan aku gak perlu bayar.“
“Mana mungkin si Padang satu itu lupa. Dia mencatat semua utang warga di sini. Lihat saja catatan utang itu, gak pernah jauh darinya.” Mereka pun masuk ke rumah mereka masing-masing.
****
Siang itu Leni mendatangi rumah Mak Jampi, seperti yang dijanjikannya. Ia menutup warungnya yang agak sepi kalau siang hari. Biasanya jam segitu dimanfaatkannya untuk tidur siang setengah jam. Tapi karena masalahnya ini harus segera diselesaikan akhirnya ia merelakan jam tidur siangnya untuk berkonsultasi dengan Mak Jampi.
“Assalamualaikum... Mak Jampi...” Leni memanggil MakJampi dari halaman rumahnya.
“Walaikumsalam... mari silahkan masuk.“ Mak Jampi keluar menyambut tamunya. Leni tersenyum dan masuk ke dalam rumah Mak Jampi. Kebetulan siang itu tidak ada pasien lain yang sedang berkonsultasi dengan Mak Jampi.
“Mangga pinarak badhe ngersaaken menapa Jeng?” tanya Mak Jampi ketika Leni sudah duduk dihadapannya. Leni terdiam, walau sebenarnya ia malu mengatakan masalahnya, tapi ia harus melakukannya. Sebenarnya ia tidak mau mengunjungi Mak Jampi lebih kepada ia tidak mau masalahnya diketahui orang lain. Ia takut disebut sebagai istri yang membuka aib suaminya jika harus curhat kepada orang lain.
Jika ia ikut senam di sanggar senam Andien, itu hanya sekedar senam saja, ia tak pernah mengeluh kepada Andien kalau ia ingin kurus karena suaminya sudah komplen melihat bentuk badannya. Begitu juga ketika ia membeli bedak dan facial di salon Fatima, ia tidak pernah mengatakan kalau ia nyalon karena sudah dikomplen suaminya. Ia menyimpan sendiri masalah itu.
Tapi kini ia harus mengatakannya karena menurut para warga yang menggunakan jasa Mak Jampi, semua pasien harus menceritakan masalahnya agar Mak Jampi bisa mencarikan jalan keluar yang terbaik bagi permasalahan tersebut.
“Begini Mak Jampi,” Leni mulai bercerita tentang keluhannya. Semuanya diceritakannya tanpa satupun yang terlewat. ”Saya harap Mak Jampi bisa menyimpan cerita saya ini,” tutup Leni di akhir ceritanya.
“Baik Uni Leni, Insyallah rahasia Uni aman sama saya. Masalah Uni bisa terselesaikan dengan ramuan yang bisa Uni bikin sendiri di rumah. Ramuan ini bisa membuat Uni bertambah langsing dan juga kulit muka menjadi lebih cerah. Tapi Uni harus benar-benar menjalankannya. Insyaallah dua bulan Uni sudah melihat hasilnya.”
“Dua Bulan! Benarkah Mak Jampi?” Leni tak percaya mendengar penuturan Mak Jampi. Mudah-mudahan ini memang jalan keluar bagi permasalahannya.
“Begini, nanti Uni makan 5 buah apel dalam sehari. Selama 5 hari. Setelah itu hari ke enam kurangi porsi apel menjadi 2 ditambah dengan 2 macam buah lainnya. Bisa anggur, pisang, pir, pepaya, melon atau buah yang Uni sukai. Pola makan Uni harus diubah menjadi, sarapan dengan 1 buah pisang, 1 apel, 1 iris melon. Jam 11 baru makan nasi. Atau sekalian aja jadi makan siang. Kurangi porsi nasi dari biasanya. Malam makan sebelum jam 7 hanya makan buah dan sayur saja. Minum air hangat sehabis makan makanan yang belemak. Minum air putih harus 2 liter sehari,” jelas Mak Jampi panjang lebar. Ia mencatat semua yang disebutkan Mak Jampi itu.
“Hanya itu Mak Jampi!” Leni tak percaya. “Sepertinya gampang, mudah-mudahan saya bisa mengikuti saran Mak Jampi ini,” Leni menutup catatannya.
"Ohya, kalo uni mau, bikin rebusan air kunyit dan lemon. Lalu minum tiap pagi dan malam. Satu lagi, Uni harus ikhlas, ingatlah, suami Uni komplen itu bukan berarti dia benci, tapi karena dia sayang sama Uni, dia ingin Uni menjadi lebih baik dan lebih memperhatikan diri sendiri,” saran Mak Jampi diakhir konsultasinya.
“Terima kasih Mak Jampi, insyaallah akan saya ingat dan lakukan pesan Mak Jampi itu,” Leni pamit dan meninggalkan amplop yang sudah diisinya selembar uang seratus ribuan dari rumah.
Kalau ada masalah lain, pintu rumah saya terbuka lebar untuk Uni,” Mak Jampi tersenyum mengikuti langkah Leni yang sudah akan meninggalkan rumahnya.
“Matur suwun rawuhipun, mugi-mugi Pangeran paring berkah dumateng panjenengan Jeng,” doa Mak Jampi untuk Leni.
“Terima kasih juga Mak Jampi,” Leni meninggalkan rumah Mak Jampi dengan perasaan lega. Seolah ia baru melepas gunung dari pundaknya. Langkahnya benar-benar ringan menuju rumahnya.
****
“Kita makan di sana saja,” Sutan Palindih menunjuk sebuah restoran bergaya betawi yang terletak di kawasan Kota Tua itu. keluarga mereka sedang menikmati liburan akhir pekan. Hal yang sudah lama tidak mereka lakukan.
Sudah 3 bulan berlalu dari semenjak Leni berkonsultasi dengan Mak Jampi. Semenjak itu juga Leni rutin mengkonsumsi buah dan sayur yang disarankan Mak Jampi. Sedikit demi sedikit perubahan sudah terlihat di wajah dan badannya. Wajahnya sudah tidak begitu kusam lagi. Berat badannya juga sudah mulai turun meski baru 4 kilo.
Leni juga masih rajin senam di Sanggar Andien, dan tetap memakai produk perawatan wajah dari salon Fatima.
“Uni Leni sebaiknya mencari asisten untuk menjaga warung,” demikian pesan Mak Jampi padanya pada konsultasi berikutnya. “Uni terlalu lelah, sehingga Uni tidak menikmati hidup Uni. Uni Leni harus sering-sering keluar untuk rekreasi atau sekedar mencari udara segar. Jangan hanya berkutat di rumah saja.”
“Baiklah Mak Jampi, saya akan mencoba mencari asisten,” sahut Leni waktu itu. untung saja Geri adiknya bersedia tinggal bersamanya dan menjadi asistennya di warung. Geri baru saja menyelesaikan kuliahnya. Sambil mencari pekerjaan tak ada salahnya ia membantu kakaknya. Sutan Palindihpun setuju dengan keputusan Leni itu.
Masalah Leni satu persatu sudah berhasil diselesaikannya. Ternyata masalah itu datang dari dirinya sendiri, jika ia kembali memikirkan niat awalnya untuk menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya, pastilah ia tidak akan mengalami masalah yang menurutnya rumit ini.
Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Ikhlas menjalani masalah yang menimpa kita, akan membuat masalah itu terselesaikan dengan mudah. Dia sekarang juga sudah tidak gampang marah lagi.
“Mau makan apa?” Sutan Palindih menyerahkan daftar menu yang berbentu foto dalam pigura itu kepada istrinya. Leni melihat foto artis terkenal luar negeri yang disodorkan suaminya. Sebenarnya mereka baru pertama kalinya ke restoran itu. Restoran yang bergaya betawi dengan berbagai ornamen khas betawi lainnya. Di setiap tiangnya ada beberapa foto artis luar negeri Tempo Doeloe. Berwarna hitam putih.
Di belakang foto itu ada pilihan menu dan harganya. “Lucu ya Mak,” Remon memperhatikan Bingkai Foto Menu itu.
“Hah!Harganya mahal bana Uda!” pekik Leni. Mulutnya terngaga melihat harga segelas susu full cream seharga Rp 21. 500,- . Sutan Palindih buru-buru mengambil foto itu, diperhatikannya angka yang tertera di setiap menu.
“Salah masuak tampaik makan wak mah[4],” suaranya bergetar. Wajahnya pucat pasi. Mereka berlima. Jika harga susu saja 20 ribuan, berapa rupiah uang yang harus dikeluarkannya.
“Kalau gitu ambo dak usah makan lah.” Putus Leni.
“Mak, aku laper nih, ayo pesen sandwich aja,” rengek Doni. Anak itu sudah kelaparan dari tadi. Leni melirik harga sandwich,” Rp 50.400.- “ gumamnya. Leni memandang suaminya. Lalu beralih memandang anak-anaknya yang sudah tak sabar ingin makan. Matanya beralih ke pengunjung yang lain.
“Patuiklah maha, urang bule sadonya isi tampaik makan ko mah[5],” ucapnya ketika melihat disekelilingnya ternyata banyak bule dan keluarga mereka.
“Mahal ya Mak. Kalau gitu kita keluar aja yuk,” Remon seperti mengerti dengan kesulitan orangtuanya.
“Yah... kok keluar lagi, aku laper nih..!” rengek Doni dan Weni. Remon lalu membisikkan sesuatu di telinga kedua adiknya.
“Hah! Beneran Uda, ya udah Mak kita keluar aja,” kedua anak itu segera menarik lengan Leni dan Sutan Palindih.
“Kita pesan aja susu full cream ini dulu, gak enak keluar kalo gak mimun apa-apa,” putus Sutan Palindih. Iamemanggil pelayan. Beberapa saat kemudian pesanan mereka datang. Dua gelas susu full cream . Remon dan kedua adiknya berebutan menghabiskan dua gelas susu itu.
“Yah.. gak ada rasanya!” Weni mengembalikan gelasnya. Wajahnya terlihat lucu. Leni tersenyum, ia sebenarnya ingin tertawa ketika melihat ekspresi Weni ketika meminum susu tanpa gula itu. “Namanya aja susu full cream sayang... ya gak manis lah,” senyum Leni sambil membelai rambut anak gadisnya itu. Setelah susu habis mereka segera meninggalkan restoran itu.
“Remon ngomong apa ke Doni? Kenapa Doni jadi gak mau makan?” tanya Leni ketika mereka memilih makan di kaki lima yang berada di samping restoran tadi.
“Aku bilang kalau makan yang ada di situ dicampur dengan daging babi Mak,” senyum Remon.
“Ondeh mandeh! Remon...Remon...” Leni dan Sutan Palindih tersenyum dan mengelus rambut putranya itu.
Ia senang bisa menikmati liburan bersama anak dan suaminya. Sekarang nilai anak-anaknya sudah kembali bagus. Ia memilih mendampingi anaknya ketika belajar. Karena warung sudah di pegang oleh Geri.
“Sebaiknya panjenengan minta maaf pada mereka,” saran Mak Jampi ketika Leni bercerita Uda Young , Ziah dan Bu Nurmala tiba-tiba tidak mau lagi berbelanja di warungnya.
“Begitu ya Mak Jampi, baiklah, tapi bagaimana caranya?” Leni gengsi jika harus datang ke rumah mereka.
“ Nanti rabu depan Uni Leni datang ke sini lagi ya. Saya akan mengajak Bu Nur, Uda Young, dan Ziah ke sini,” saran Mak Jampi. Leni menggangguk setuju.
Pada hari Rabu itu mereka berempat sudah berkumpul di rumah Mak Jampi. Leni yang merasa masih gengsi hanya mencuri pandang saja kepada ketiga orang yang pernah bersitegang dengannya.
“Ngapain juga si Padang satu ini ke sini?” batin Ziah. Dia tak sudi bertemu dengan orang yang sudah menghinanya di depan khalayak ramai. Demikian juga dengan Young. Dia malah tak melihat sama sekali kepada Leni. Kalau Bu Nur masih berusaha tersenyum kepada Leni meskipun sedikit dipaksakan.
“Maaf loh ya Mbak Ziah, Bu Nur, Uda young dan Uni Leni. Saya sengaja mengumpulkan kalian berempat di rumah saya agar kalaian bisa kembali seperti semula. Tidak diem-dieman kayak anak kecil,” ujar Mak Jampi langsung ke pokok masalah.
“Kok Mak Jampi tahu kami diem-dieman sama Uni Leni?” celetuk Ziah.
“Sebenarnya Uni Leni ingin minta maaf pada panjenengan semua, makanya saya sarankan di rumah saya saja,” jelas Mak Jampi dengan logat jawanya.
“Ya sudah, moggo salaman, dan saling memaafkan, tidak baik sesama saudara sendiri bermusuhan,” Mak Jampi menyolek pundak Leni.
“Eh iya... saya minta maaf atas sikap saya tempo hari ya,” ujar Leni gelagapan. Mukanya merah menahan malu.
“Sudah saya maafkan kok Uni,” Bu Nur memeluk Leni.
“Maafkan saya juga ya Uni Leni,” Ziah ikut memeluk Leni. Mereka bertiga berpelukan seperti Teletubbies .
“Ambo juga sudah memaafkan, apa perlu Ambo memeluk Uni Leni juga? Kalau perlu mari sini kita berpelukan...” canda Uda Young. Ia berjalan menuju ketiga perempuan yang sedang berpelukan itu.
“Eh gak usah Da, bukan muhrim,” teriak mereka serempak.
“Ah... Ambo kira boleh berpelukan,” seringai Uda Young. Mak Jampi, Leni, Ziah dan Bu Nur hanya tersenyum kecut.
“Makasih ya Mak Jampi,” Leni memeluk Mak Jampi setelah dia mengucapkan terima kasih kepada Bu Nur, Ziah dan Uda Young. Mak Jampi tersenyum. Ia senang sudah berhasil lagi memecahkan masalah seseorang atau mungkin masalah beberapa orang, dalam sekali pertemuan.
[1] bakiak
[2] Sabar ya Uda, sebaiknya kita shalat ke masjid dulu
[3] Udah.. gak enak didengar orang
[4] “ Salah masuk restoran kita.”
[5] “Pantesan mahal, bule semua di restoran ini.”
naskah jadul tahun 07-08- 2011