Monday, March 29, 2021

Imam Kecil Amru bin Salamah


     Sejak tadi Amru memperhatikan kegiatan orang-orang yang sedang mempelajari Al Qur’an di rumah Rasulullah SAW. Amru duduk di dekat jalan menuju rumah Rasulullah SAW 

     “Aku juga mau belajar seperti mereka, tapi bagaimana caranya ya?” Tanya Amru dalam hati. Tak lama menunggu, Amru melihat beberapa orang keluar dari rumah Rasulullah SAW.  

      “Sepertinya pengajian itu sudah selesai” batin Amru, bergegas Amru berdiri dari duduknya dan menghampiri salah satu dari orang yang sudah berjalan meninggalkan rumah Rasulullah SAW. 

      “Assalmualaikum Pak, bolehkah saya bertanya?” 

      “Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh, apa gerangan yang hendak kamu tanya Amru?” jawab si Bapak sambil memegang pundak Amru. 

      “Saya ingin sekali belajar Al Qur’an seperti Bapak, tapi saya malu datang ke rumah Rasulullah SAW, karena saya masih kecil, umur saya baru 7 tahun Pak, sahut Amru malu-malu. Sejenak bapak yang ditanya Amru terdiam. 

 Lalu beliau berkata sambil tersenyum,“Hmm, kalau begitu, bagaimana kalau saya saja yang  mengajarimu tentang Al Quran yang baru saja kami pelajari.”  

     Amru kecil tentu saja senang mendengarnya. “Asyik! Terima kasih ya Pak. Saya mau sekali belajar pada bapak,” teriaknya girang.  

“Baiklah, kalau begitu, ayo kita belajar di sana,” ajak bapak itu penuh semangat sambil menunjuk sebuah pohon kurma.  Beberapa saat kemudian Amru sudah terlihat serius memperhatikan pelajaran yang di ajarkan oleh Bapak itu di bawah pohon kurma. 

     Amru memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Setelah Amru mengerti , si Bapak meminta Amru untuk mengulangi hafalan itu. Subhanallah! Amru berhasil mengulangnya. Dengan wajah gembira Amru berterima kasih kepada si Bapak.   

        Mereka berdua kembali ke rumah mereka masing-masing. Di perjalanan menuju rumah, Amru terus membaca hafalan AlQuran yang baru dipelajarinya. 

        Sejak saat itu, Amru selalu menunggu orang-orang yang baru selesai mengikuti pengajian di rumah Rasulullah SAW. Setiap orang-orang itu selesai mengaji, Amru selalu meminta mereka mengajarkan untuknya. Kabar ini akhirnya sampai ke telinga Rasulullah SAW. Beliau meminta Amru belajar langsung pada beliau. Tak terkira senangnya hati Amru bin Salamah. Dia pun bersemangat belajar AlQuran pada Rasulullah bersama para sahabat. 

       Suatu hari, kaum muslimin berhasil menaklukkan kota mekah dari orang kafir Quraisy. Pada saat itu mereka belum punya pemimpin atau yang biasa di sebut Imam. Dengan kebingungan, para kaum muslimin mendatangi Rasulullah SAW, dan menanyakan siapa sebaiknya yang akan menjadi pemimpin mereka. 

     Rasulullah SAW menjawab, “Ajukanlah orang yang paling banyak hafalan Al Qurannya.” 

     Kaum muslimin pun sibuk mencari siapa orang yang paling banyak hafalan Al Qur’an nya.  Mereka mendengarkan beberapa penghafal Al Quran membacakan hafalannya, Akhirnya pilihan mereka jatuh kepada Amru bin Salamah, karena dari para hafidz itu, Amru bin Salamah-lah yang paling banyak hafal Al Quran. 

      “Ya Rasulullah, kami menemukan anak ini sebagai orang yang paling banyak hafal Al Quran, bagaimana pendapat Tuan?” 

      Karena anak itu memenuhi syaratku, maka segeralah kalian mengangkatnya sebagai imam bagi kalian semua,” jawab Rasulullah SAW dengan tegas. Dengan gembira dan bangga warga muslim mekah, menobatkan  Amru bin Salamah menjadi pimpinan mereka.       

       Subhanallah ! Kecil-kecil Amru sudah jadi Imam ya, bagaimana dengan kita, dan hafalan Al Qur’an kita?  

*** 

                                                                    

Tahukah kamu bahwa saat ini ada beberapa anak seusiamu sudah hapal AlQuran. Salah satunya bernama Muhamad Husein  Bin Thaba thaba’i. Ia hafal AlQuran saat berusia 7 tahun. Saat itu juga dia sudah mendapat gelar doktor honoris causa dari Hijaz college Islamic University Inggris karena hafal dan faham AlQur'an. 

 

 Catatan : Cerpen ini ditulis tahun 2014. Semoga bermanfaat ya... ^_^

 

Sunday, March 28, 2021

Ulang Tahun Emma

      
               Emma bersedih. Dia termenung di kamarnya. Pesta ulang tahunnya akan diadakan malam ini. Papa sedang bertugas di Medan, sementara mama masih di kantornya. Padahal mereka telah berjanji akan berusaha hadir di acara ulang tahun Emma. Beberapa hari yang lalu Emma juga sudah mengajak teman-temannya datang ke rumah. Menghadiri pesta ulang tahunnya. 
            “Kenapa sih Mama dan Papa belum pulang?” gumamnya lirih. Ia memandangi baju pesta yang sudah dikenakannya. Meskipun semua persiapan pesta ulang tahunnya sudah siap. Tapi tanpa kehadiran kedua orang tuanya, bukanlah pesta ulang tahun yang diharapkannya.
            “Sudahlah Emma, Tante juga bisa kan mendampingi Emma meniup lilin nanti,” Tante Weni menenangkan Emma. Beliau adalah adik papa. Papa dan mama menitipkan persiapan ulang tahun Emma kepada Tante Weni.
           “Iya sih Tante, tapi aku maunya papa dan mama hadir di acara ulang tahunku,” Emma menahan tangisnya. Ia menyesal kenapa tidak mengikuti saran mama. Mama menyarankan pesta ulangtahunnya hari minggu saja. Walau lewat 3 hari dari tanggal lahirnya. Tapi Emma memaksa ingin mengadakan pesta itu hari Kamis ini. Pas di tanggal lahirnya. Hasilnya terpaksa seperti ini, mama dan papa tidak bisa cuti, karena jadwal kerja mereka sangat padat.
         “Keluar yuk, teman-temanmu sudah datang,” Tante Weni memegang lengan Emma. Emma masih diam dan tidak mau beranjak dari kursi di kamarnya.
         “Emma.., teman-teman sudah ngumpul nih,” teriak Sita sahabatnya dari luar kamar. Sita melongok di pintu kamar Emma. Ia masuk dan menghampiri Emma.
         “Kamu kenapa, kok kelihatannya sedih?” tanya Sita khawatir.
          “Ah, enggak kok. Ya udah, ayo kita mulai acaranya,” Emma berusaha tersenyum. Ia berjalan keluar kamar diiringi Sita. Di ruang keluarga sudah hadir semua teman-temannya. Mereka terlihat senang dan gembira. Harusnya aku tidak boleh bersedih, batin Emma. Kalau ia bersedih di pestanya, bagaimana dengan teman-temannya? Emma menarik napas panjang, lalu dihembuskannya kencang. Setelah itu ia tersenyum dan bergabung bersam teman-temannya.
         “Terima kasih sudah datang di acara ulang tahunku,” ujar Emma ketika acara pestanya dimulai. Tepuk tanganpun riuh terdengar. Acara pesta dimulai. Pertama acara tiup lilin dan potong kue diiring lagu selamat ulang tahun. Dilanjutkan dengan games yang sudah dipersiapkan Tante Weni untuk Emma dan teman-temannya.
      Semua anak terlihat menikmati games itu. Suara musik yang mengiringi games membuat mereka berteriak kegirangan. 
           “Sekarang gamesnya untuk lima orang. Kelima peserta berjalan sambil menari mengitari 4 kursi ini, diiringi musik. Jika musik berhenti, kalian harus segera duduk. Yang tidak mendapatkan tempat duduk berarti kalah dan harus keluar dari permainan. Tante akan mengambil satu kursi setelah itu. Demikian seterusnya hingga tersisa satu kursi. Yang berhasil duduk di kursi, itulah pemenangnya dan akan tante kasih hadiah.” Jelas Tante Weni. 
      “Aku..,aku Tante.., aku...,” terdengar teriakan teman-teman Emma berebutan ingin mengikuti games itu. Tante Weni dan Emma, memilih lima orang. Setelah itu gamespun dimulai. Musik dinyalakan, dan merekapun berjalan sambil menari mengitari 4 kursi yang sudah disiapkan. Sementara teman-teman yang lain mengikutinya sambil meneriakkan jogoan mereka masing-masing. Tiba-tiba musik berhenti. Mereka berebutan duduk. Teriakan teman-teman Emma semakin bergemuruh. 
           “Yah.. Gina tidak dapat kursi, berarti kamu kalah,” seru Emma. Lalu gamespun berlanjut. Suara teman-teman Emma semakin riuh meneriaki jagoan mereka masing-masing. Ketika kursi terakhir tinggal, hanya ada dua peserta yang tersisa. Mereka kembali berjakan sambil menari mengitari kursi. Hingga mereka memperoleh satu pemenang. Tante weni mwmbwrikan hadiah untuk Katya yang berhasil menang. 
           Zap! Tiba-tiba listrik di rumah Emma padam. Semua anak berteriak ketakutan. 
          “Tenang-anak-anak!” terdengar suara Tante Weni di tengah suara ketakutan mereka. “Sebentar tante ambil lampu emergensi dulu,” tambah Tante Weni. 
        “Yah.. gimana nih..” Emma hampir menangis. Kesedihannya tadi sudah berkurang, tapi kenapa harus mati lampu ketika ia sedang merayakan hari ulangtahunnya.
        “Kriing...,” “whuaa...!” suara telepon rumah mengagetkan Emma dan teman-temannya. Perlahan Emma berjalan menuju meja telepon. 
          “Halo! Bisa bicara dengan Emma?” terdengar suara seorang anak dari ujung telepon. 
         “Iya, saya sendiri, ini siapa?” Emma bingung, siapa yang menelponnya. Semua temannya hadir di sini. Apalagi Emma tidak begitu mengenal suara di telepon itu.
          “Aku Lusi, hanya ingin mengucapkan selamat ulang tahun kepadamu,” ujar suara anak perempuan itu. Seolah ia sudah mengenal Emma cukup lama.
          “Oh terima kasih, sudah ya, listrik di rumahku lagi mati nih,” Emma meletakkan gagang telponnya.
          “Tunggu Emma, bisakah kamu melihat keluar rumah sebentar?” 
         “Maksud kamu apa?” Emma mulai kesal.
        “Aku ingin kamu keluar rumahmu sebentar saja. Aku menunggumu di luar rumah.”
        “Hhh..., Baiklah,” Emma mendengus kesal. Ia segera mengembalikan gagang teleponnya. Sementara itu Tante Weni sudah menyalakan lampu emergensi. Teman-teman Emma juga sudah tidak berisik seperti tadi lagi.
          “Baiklah anak-anak, kita lanjutkanb acara kita ya,” Tante Weni kembali berdiri di tengah teman-teman Emma.
           “Sebentar Tante, ada yang menelponku tadi, dia memintaku keluar rumah.” Emma berjalan menuju pintu. Tante Weni mengikuti Emma dari belakang. Teman-teman Emma penasaran ingin tahu apa yang sedang terjadi. Merekapun berbondong  mengikuti Emma.
          HAPPY BIRTHDAY EMMA, WE LOVE U terlihat tulisan seperti itu di halaman rumah. Tulisan yang disusun dengan lilin yang menyala. Indah sekali, Emma hampir tidak percaya dengan yang baru saja di lihatnya. Ada mama dan papa tersenyum sambil membentangkan tangan mereka. Seorang anak perempuan sebayanya berdiri di samping mama. 
        “Mama , Papa!” Emma berlari dan menghambur ke dalam pelukan orang tuanya. 
        “Selamat ulang tahun  sayang. Maaf Mama dan Papa telat ya. Ini Lusi, Mama minta tolong dia menelponmu tadi. Lusi tetangga baru kita,” mama menunjuk rumah sebelah.
       “Hai, selamat ulang tahun  ya, tadi kebetulan aku duduk di teras, aku lihat Papa dan Mamamu sibuk mamasang dan menyalakan lilin. Aku mengajukan diri membantu mereka.” Lusi tersenyum senang.
        “Oh, terima kasih ya,” Emma memeluk Lusi.
        “Wow! Keren!” suara teman-teman Emma takjub melihat deretan lilin yang menyala itu. 
       Tak lama kemudian lampupun menyala kembali. “Jadi tadi yang  tadi mematikan lampu itu Mama dan Papa ya,” tebak Emma. Karena ia melihat lampu rumah Lusi dan tetangga lainnya masih menyala. Mama dan papa mengangguk sambil tersenyum. “Ma kasih ya Ma, Pa,” Emma berjanji tidak akan berburuk sangka lagi terhadap mama dan papanya.
     Alhamdulillah, ternyata hari ini adalah hari ulang tahun yang sangat mengesankan.

catatan : Cerpen yang saya tulis November 2011 lalu. Sayang disimpan di file. Masih culun idenya. ^_^