Wednesday, December 30, 2020

Cerita Bunda Nay dan Tetangga


          


  Suara Mang Karjo tukang sayur keliling terdengar memanggil ibu-ibu di blok A Perumahan Bidara Mas. Nanda sedang main game saat itu. Tiba-tiba dia ingat kalau tadi Bunda berpesan tolong panggil Bunda jika Mang Karjo lewat.

            “Bunda… Mang Karjo udah datang tuh!” teriak Nanda dari ruang keluarga. Dia masih asyik dengan gadgetnya. Ditunggunya suara Bunda menjawab seruannya. Ternyata Bunda belum menjawab. Nanda pun bangkit dari sofa dan berjalan ke kamar. Dia melihat Bunda sedang shalat Dhuha.

            Nanda menunggu Bunda selesai shalat sambil main game Among Us di tab-nya. “Mang Karjo sudah datang tuh Bun,” ujarnya ketika melihat Bunda sudah selesai berdoa. 

            “Oke, makasih ya, Nak,” Bunda bergegas melipat mukenanya. Selanjutnya beliau mengenakan jilbab marun dan berjalan keluar rumah. Tak lupa Bunda mengenakan masker kain berwarna marun juga. Masker itu diambil Bunda dalam kotak khusus tempat masker bersih siap pakai. Kotak tersebut terletak di atas meja ruang tamu. Sengaja beliau meletakkan di sana untuk memudahkan anggota keluarga mengambil masker jika ingin keluar rumah.

            “Bismillahi la yadhurru maasmihi syaiun fil ardhi walaa fissamaai. Wahuas saamiiul aliim.” Tambahan doa Bunda setelah membaca doa keluar rumah. Doa tambahan ini memang baru dibaca Bunda Nay setiap hendak keluar rumah sejak pandemi mewabah di Bekasi, kota mereka.

            Bunda Nay berjalan santai ke arah motor sayur Mang Karjo. Seperti biasa, Mang Karjo memarkir motornya di depan rumah Bude Mini. Menurut Mang  Karjo, di sana lebih adem. Karena di depan rumah Bude Mini ada pohon mangga yang cukup rimbun.

          Bunda Nay melihat sudah ada tiga orang tetangganya di sana. Dua menit berjalan, Bunda Nay sampai di sana. Beliau menyapa tetangganya dengan salam. 

            “Wah Bunda Nay rajin banget, masih pakai masker aja keluar rumah,” sapa Bu Dora, salah satu tetangga Bunda Nay.

            “Oh ini, kayaknya sudah jadi kebiasaan saya Bu Dora. Bu Dora mana maskernya?” goda Bunda Nay. Karena hanya dia yang mengenakan masker. Ibu-ibu lain tidak mengenakan masker. Sedangkan Mang Karjo hanya meletakkan maskernya di dagu.

            “Nggak perlulah Bunda Nay. Kita kan di sini aman-aman aja. Insyaallah nggak ada yang kena corona,” jawab Bu Dora sambil memilih sayuran yang akan dibelinya.

            “Aamiin…” ucap Bunda Nay tulus. Beliau berharap agar Allah melindungi warga kompleknya dan seluruh masyarakat lain agar terhindar dari corona. 

            “Lagian kita sudah capek-capek makai masker, cuci tangan, jaga jarak, eee malah orang-orang masih santai aja. Bahkan yang paling parah saya dengan berita ada perawat yang melakukan perbuatan asusila dengan pasien covid19 di Wisma Atlet. Bagaimana Allah mau mengusir virus ini, orangnya banyak yang berbuat maksiat begitu,” celetuk Bude Mini, tetangga Bunda Nay yang lain.  

            “Astaghfirullah…” serentak suara Ibu-ibu yang sedang berbelanja beristighfar. Bunda Nay sebenarnya juga sudah membaca berita itu dari media online. Sungguh hatinya hancur membaca berita tersebut. Ditambah lagi berita-berita sebelumnya yang tak kalah membuat terkejut.  

            “Kita hanya bisa berdoa dan berusaha agar keluarga kita terhindar dari hal seperti itu ya Bude. Ayo sama-sama kita bertobat agar Allah menjaga negara kita dari kehancuran moral. Kita awali dari keluarga kita dulu, jika setiap keluarga berdoa dan bertobat pada Allah, insyaallah akan Allah ijabah doanya ibu-ibu,” ucap Bunda Nay.

            “Hanya itu senjata terakhir kita Bunda Nay. Hanya bersabar, shalat dan berdoa,” tambah Bu Dora.

            “Sama memperbanyak sedekah ibu-ibu. Nih mumpung pada ngumpul di sini, sekalian saya mau ngasih tahu ya ibu-ibu. Insyaallah nanti di masjid kita, akan diselenggarakan Jumat Berbagi. Nah targetnya nanti akan kita bagikan sembako untuk warga RW kita dan RW tetangga yang terdampak covid ini Bu. Barangkali Ibu-ibu semua mau ikut bersedekah, meringankan beban mereka.” Bude Mini menyerahkan proposal yang dibawanya kepada Ibu-ibu yang sedang berbelanja sayur di Mang Karjo.

            “Huuu… bisa aja Bude Mini ini!” seru Bu Husna sambil menepuk lembut pundak Bude Mini diiringi tawa ibu-ibu yang sedang berbelanja sayur.

            “Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui namanya ini Bu,” jawab Bude Mini kalem. “Biar gak sering-sering keluar rumah, ya kan Bunda Nay?”

            Bunda Nay tersenyum sambil menggangguk. Walau senyumnya tidak terlihat, tapi matanya yang menyipit saat tersenyum seolah sudah memberitahu ibu-ibu komplek kalau dia setuju dengan pendapat Bude Mini.

            “Ayo Ibu-ibu, insyaallah sedekah juga bisa menolak musibah yang akan menimpa kita,” ajak Bunda Nay. Bunda Nay mengeluarkan uangnya dari dompet dan memberikannya pada Bude Mini. Mang Karjo ikut juga bersedekah diikuti ibu-ibu lain yang sedang berbelanja.

            “Semoga sedekah saya yang tak seberapa ini bisa menghindari saya dari musibah corona dan musibah lainnya ya Bude,” ujar Mang Karjo sambil menyerahkan uangnya ke Bude Mini. Ibu-ibu lainnya serentak mengaminkan. Allahumma aamiin ya Allah… [NS]

Tuesday, December 29, 2020

Obrolan Bunda dan Nanda



            Pagi ini Bunda dan Nanda sedang menyantap sarapan mereka di ruang keluarga. Abang dan kakak sedang tidak di rumah. Abang masih di boardingnya di Bogor. Sedangkan Kakak, masih di Malang, karena Kakak mahasiswa di Universitas Brawijaya. Sedangkan Bapak sudah berangkat kerja sejak pukul 6.00. 

            Keluarga Nanda jarang sekali makan bersama di meja makan. Mereka lebih suka sarapan, makan siang dan makan malam di ruang keluarga. Entah sejak kapan hal itu dimulai. Mereka mengambil nasi dan lauk dari meja makan, lalu membawa makanan tersebut ke ruang keluarga dan duduk bersama di sana sambil makan. 

            Kadang Bunda ikut membawa lauk dan sayur ke ruang keluarga agar anak dan suaminya lebih mudah jika ingin menambah sayur dan lauk. Di ruang keluarga itu ada karpet dan sofa. Nah mereka duduk melingkar setengah lingkaran di atas karpet tersebut. Ohya, ada televisi dan rak penuh buku juga di ruang keluarga mereka. 

            Biasanya setelah shalat subuh dan membaca Al Quran, Bunda menyalakan televisi. Beliau memilih chanel siaran langsung dari Makkah Al Mukarramah. Lantunan muratal mulai terdengar di rumah mereka menemani Bunda menyiapkan sarapan. Saat itu dulu, semua anggota keluarga sudah bersiap berangkat sekolah dan bekerja. Tapi saat ini hanya ada Nanda, Bunda dan Bapak di rumah. 

            Di tengah pandemi covid19 yang sudah hampir setahun ini, Nanda tidak bersiap untuk sekolah di pagi hari. Jadi kegiatan setelah subuhnya berganti menjadi main game di tab. Bunda mengingatkan Nanda agar main game di tab-nya cukup 2 jam saja. Nanda setuju dengan Bunda.

            “Bun, apakah Allah tidak mendengar doa kita bun?” celetuk Nanda ketika menyendok nasi goreng ke mulutnya.

            “Kenapa Nanda berpikir begitu?”

            “Karena virus corona sudah hampir setahun menyerang dunia. Kita selalu berdoa agar Allah menghentikan penularan virus ini. Tapi kayaknya orang yang kena virus ini makin banyak, Bun.”

            Bunda tersenyum. “Bunda rasa Allah sedang menolong kita sayang.”

            “Loh, kenapa Bunda berpikir begitu?” Nanda menelan nasi goreng yang ada di mulutnya lalu dia memandang Bunda dengan wajah penasaran.

            “Coba Nanda pikir, sejak ada virus ini, kita jadi lebih bersih kan? Kemana-mana pakai masker sehingga kita tidak menghirup debu atau virus yang tidak seharusnya masuk ke saluran napas kita. Lalu kita juga sering cuci tangan atau kita malah jadi sering berwudhu. Wudhu itu aja sudah menambah pahala kita. Jadi kita dapat bersihnya dan dapat pahala juga.”

            “Tapi kan beda Bun. Ini kesannya kan kita terpaksa memakai masker dan berwudhu atau cuci tangan.”

            “Insyaallah kalau kita niatkan karena Allah, kita lama-lama akan nyaman menjalankannya. Awalnya memang seperti terpaksa sih. Sama seperti kita melakukan shalat, puasa, sedekah, zakat dan lainnya. Itu awalnya pasti seperti terpaksa kan? Tapi lama-lama karena kita sudah biasa melakukannya, jadinya sudah tidak terpaksa lagi. Kita malah merasa ada yang kurang kalau tidak melakukannya.”

            “Tapi kayaknya kalau pakai masker kemana-mana itu juga nggak ada tuntunan dalam Al Quran dan hadist kan Bun?”

            “Benar sayang. Kalau pakai masker ini kan sarannya jika kita keluar rumah saja kan? Nah kalau kita di dalam rumah dan kita sehat, tidak perlu pakai masker. Kecuali kalau kita kena flu atau batuk, baru pakai masker di rumah. Nah tuntunan dalam hadist kan sebaiknya kita lebih baik berada di dalam rumah kecuali ada pekerjaan di luar rumah.”

            “Memang ada hadist seperti itu bun?”

            “Ada Nak, wanita dan anak-anak itu sebaiknya di rumah saja. Bunda lupa perawi hadistnya. Tapi Bunda pernah baca kurang lebih maknanya seperti itu.”

            “Aku pikir itu kan jadi melanggar hak asasi manusia untuk bernapas secara bebas bun?”

            “Justru itu melindungi hak asasi manusia karena menjaga manusia itu dari tertular virus ini. Karena virus ini menyebarnya melalui droplet kan. Makanya kita harus pakai masker jika berada di luar rumah. Tapi jika tidak ingin pakai masker, ya tetap di rumah saja. Insyaallah lebih aman di rumah kan?”

            Nanda terdiam. Murid kelas 4 SD itu mencerna kata-kata Bundanya. “Tapi kan jadinya aku nggak bisa main Bun. Itu kan hak aku juga main sama teman-temanku.” Nanda tiba-tiba ingat pelajaran hak dan kewajiban yang baru dia pelajari di kelas 4 ini.

            “Betul sayang, untuk itu Allah menyuruh kita bersabar. Sabar itu pahalanya banyak loh,” Bunda tersenyum memandang wajah cemberut putrinya.

            “Aku sudah bersabar Bun. Tapi banyak juga anak-anak lain yang masih main bebas dan nggak pakai masker tuh. Mereka juga belum tentu sering-sering mencuci tangan.”

            Bunda tersenyum lagi. “Tadi kan Bunda sudah bilang, sabar itu banyak pahalanya kan? Mungkin saja anak-anak itu tidak tahu ada pahala sabar. Nanda kan sudah tahu, makanya Nanda bersabar kan sayang?” Bunda mencubit pipi gembil Nanda. Nanda tersenyum malu. 

            “Ternyata begitu ya Bun?”

            “Betul sayang. Kita berbaik sangka aja terhadap ketentuan Allah ini ya. Kita juga harus berbaik sangka terhadap orang-orang yang belum bisa bersabar dalam ujian ini. Insyaallah semua ketentuan Allah ini ada hikmahnya.”

            “Tapi kenapa ya Bun, aku baca di internet orang-orang di negara tempat virus ini pertama ditemukan sudah bebas seperti biasa tuh Bun. Mereka sudah pesta-pesta dan kumpul-kumpul lagi. Mereka bahkan akan merayakan tahun baru dengan berbagai kegiatan dan pesta. Mereka juga banyak yang nggak pakai masker dan nggak jaga jarak juga. Apa Allah lebih memilih mendengar doa mereka daripada doa kita?” 

            “Loh kok begitu lagi pemikiran anak Bunda?” Bunda tersenyum sambil mengacak poni Nanda. 

            “Aku cuman pengen tahu aja Bun?”

            “Bunda tadi bilang kita berbaik sangka sama ketentuan Allah kan sayang? Jadi kita berpikir aja kalau Allah sedang menolong kita agar tidak berbuat maksiat jika keluar rumah. Contohnya kita tidak perlu ikut-ikutan berpesta, bisa saja saat berpesta itu ada maksiat di sana. Jadi kondisi sekarang ini menahan kita untuk tidak berbuat seperti itu kan?”

            “Tapi selama ini kita kan juga nggak pernah berpesta Bun? Kenapa kita juga ikut merasakan dampaknya?” 

            “Ujian Allah itu menimpa semua orang sayang. Nah bagi orang beriman, mereka akan bersabar dengan ujian ini. Saat ini Allah melihat kesungguhan kita beriman pada ketentuanNya, Nak. Allah sudah berjanji kan, setiap ada kesulitan, pasti ada kemudahan. Ingat kisah Nabi Ibrahim, beliau tetap yakin Allah menolong beliau walau beliau dibakar di api yang menyala oleh raja Namrudz.”

            “Demikian juga dengan Nabi Musa, yang tetap yakin bahwa Allah akan menolong beliau ketika berada di depan laut sedangkan ada Firaun dan tentaranya yang akan menyerang mereka. Allah akan menurunkan pertolonganNya di saat yang tepat, sayang. Jadi kita harus bersabar ya, Nak. Insyaallah segera Allah hentikan penularan virus ini.” Bunda mencium kepala Nanda. Beliau memeluk Nanda dengan lembut. Nanda mengangguk paham. Hanya doa dan sabar yang harus dilakukannya saat ini.

            Bunda bersyukur Nanda bisa menahan diri untuk tidak main di luar rumah selama beberapa bulan ini. Ketika Nanda sangat ingin keluar rumah, Nanda pun bersedia mengenakan masker. Dan menjaga jarak dengan temannya. Serta sering mencuci tangan. Bertemu temannya itu juga hanya sesekali dilakukan Nanda jika dia kangen sekali pada temannya yang juga tetangganya. [NS]

Friday, December 11, 2020

Sabar dan Syukur

Bismillahirrahmanirrahim
Sama seperti cuaca yang selalu berubah silih berganti. Kadang cuaca cerah, kadang berawan, kadang mendung. Tapi di setiap perubahan cuaca itu ada keindahan tersendiri. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya.
Demikian juga dengan "cuaca" kehidupan kita. Kadang cerah ceria, kadang berawan duka yang mungkin juga berselimut mendung kesedihan. Tapi setiap cuaca kehidupan itu juga Allah sediakan keindahan atau hikmah tersendiri untuk kita.
Tidak bahagia berlebihan ketika cuaca kehidupan cerah ceria, tidak sedih berkepanjangan ketika cuaca kehidupan diselimuti mendung kelabu. Tetap di pertengahan dalam sikap syukur atas semua yang Allah berikan.
Carilah hikmah keindahan di setiap cuaca kehidupan yang menghampiri. Semoga Allah selalu meridhai dan memberkahi kita. Aamiin...

Friday, November 20, 2020

Bahasa Planet

        

            Beberapa hari ini Lili dibuat bingung mendengar percakapan teman-temannya. Mereka berbicara seperti menggunakan bahasa yang tidak pernah Lili dengar sebelumnya. Lili menyebutnya bahasa planet.

            “Kalian lagi ngomongin apaan sih?” tanya Lili penasaran pada Lusi dan Tata yang sedang mengobrol. Tapi kedua temannya itu hanya tersenyum, tidak mau menjawab pertanyaan Lili. Lili pun berlalu meninggalkan mereka. 

            “Aneh! Kenapa mereka bicara dengan bahasa yang tidak dimengerti orang lain? Apa mereka sedang membicarakan aku?” gumam Lili sambil menuruni tangga menuju lantai dasar.

            Setelah berada di lantai dasar, Lili kembali mendengar Romi dan Syufra mengobrol dengan Bahasa yang sama. Lili jengkel mendengarnya. Romi kan saudaranya, dia juga bisa bicara menggunakan bahasa planet itu. Kenapa hanya Lili yang tidak paham.

            “Kalian ngomongin apa sih? Kok bahasanya aneh gitu?” tanya Lili kepada Syufra dan Romi.cer

            “Ngobrol biasa aja kok. Kamu jangan di sini dong. Ini kan obrolan anak laki-laki. Kamu nggak boleh tahu. Pergi sana!” jawab Syufra sambil mendorong bahu Lili. Lili kesal mendengar ucapan temannya itu. Dia makin penasaran dengan bahasa yang digunakan teman-temannya. Untuk mengurangi kesalnya, Lili pergi ke kantin di depan sekolah mereka. Dia memilih untuk jajan permen gulali kesukaannya.   

            “Iginigi kegembagaligian uguagangnyaga,” ujar Ni Ena saat memberi kembalian uang Lili. 

            “Hah! Ni Ena juga bisa ngomong pakai Bahasa planet itu?” Tanya Lili penasaran.

            “Uni jadi terbiasa, anak-anak pada ngomong begitu sih. Kenapa? Lili nggak paham ya? Biasanya kalau Uni ngomong gitu, anak-anak balas lagi dengan cara ngomong yang sama,” tanya Ni Ena pemilik warung.

            “Iya, aku nggak tahu, kayaknya baru hari ini aku mendengar mereka berbicara begitu. Ajarin dong Ni!” 

            “Gampang kok. Tinggal ditambahkan huruf G dan huruf vocal yang sesuai dengan suku kata yang kita ucapkan aja. Memang sih ngomongnya jadi agak lama. Tapi seru aja dengarnya. Kayak semacam Bahasa sandi gitu,” jelas Ni Ena.

            “Ya udah, ajarin Lili ya Ni,” Lili menatap Ni Ena penuh harap.

            “Ya udah. Lili sekarang mau ngomong apa? Gini aja, kalau uni nanya Lili mau ke mana? Itu ngomongnya jadi gini Trigisaga magaugu kege maganaga.”

            Lili menyimak ucapan Ni Ena sembari mengikutinya. Beberapa kali dia mencoba berbicara dengan Bahasa itu tentunya dengan kata-kata baru. Hingga sepuluh menit kemudian, dia pun mahir menggunakan Bahasa planet itu.

            “Asyik! Magakagasigih yaga Nigi Egenaga,”  Lili melonjak kegirangan. Dia berlari menuju kelasnya sambil menyanyikan lagu Bintang Kecil menggunakan bahasa yang baru dipelajarinya.

            Ketika Lili sampai di kelas, bel tanda istirahat usai pun berdering. Dia terlihat sangat gembira karena menguasai Bahasa baru seperti teman-temannya. Lili masih saja melantunkan lagu Bintang Kecil dengan menggunakan bahasa planet-nya. 

            Jam pelajaran terakhir adalah jam pelajaran kesenian. Bu Epi masuk kelas dan meminta anak-anak untuk bernyanyi bergantian di depan kelas. Lili pertama kali menunjuk tangan. Dia tak sabar untuk memperdengarkan pada Bu Epi nyanyi baru yang dia kuasai.

            Bu Epi pun mempersilahkan Lili menyanyi di depan kelas. Dengan bersemangat Lili menyanyikan lagu Bintang Kecil versi baru.

            “Bigintagang kegecigil digi lagangigit yagang bigirugu….”

            Bu Epi menatap Lili dengan bingung. Sedangkan teman-teman Lili menahan tawa. Mereka takut tertawa lebar karena khawatir Bu Epi marah. 

            “Lili kok nyanyinya gitu?”

            “Ini lagu Bintang Kecil versi terbaru Bu,” jawab Lili serius. Bu Epi terbahak melihat wajah serius Lili. 

            “Oke, tapi kali ini Lili nyanyinya pakai lagu yang versi lama aja ya. Ibu nggak ngerti soalnya.”

            Lili menggangguk. Dia mencoba untuk menyanyikan lagu Bintang Kecil versi asli. Sayangnya dia lupa lirik aslinya, karena sedari tadi dia sudah terbiasa menyanyikan lagu Bintang Kecil versi baru. Bu Epi pun memakluminya. Beliau memberi tepuk tangan dan menyuruh Lili kembali duduk di bangkunya. Pelajaran bernyanyi pun dilanjutkan dengan penampilan teman-teman lainnya. ^_^

Wednesday, November 18, 2020

Pulpen Hilang

Pagi itu murid-murid SD Inpres Bukit Cangang sudah mulai banyak yang hadir di sekolah. Jam pelajaran belum dimulai. Beberapa anak terlihat berlarian di halaman. Sebagian ada yang main di kelas mereka di lantai dua. 

            Devi dan teman-temannya juga sudah berada di kelas mereka. Jam dinding di kelas masih menunjukkan angka 7.25 wib. Sekitar 5 menit lagi menuju bel sekolah berdering. Di kelasnya Devi mengobrol bersama teman-teman perempuannya. Sementara itu beberapa anak laki-laki terlihat asyik bermain sentil pulpen.

            Salah satunya Jon dan Amin. Mereka meletakkan pulpen di atas meja, lalu menyentil pulpen mereka ke pulpen lawan hingga pulpen itu jatuh. Jika pulpen lawan jatuh, berarti anak yang menyentil adalah pemenangnya. Mereka bermain di meja tengah paling depan agar leluasa bergerak dan mencari celah untuk menyentil pulpen. Meja itu persis berada di depan meja guru.

            Tak lama berselang, bel sekolah pun berdering. Sebagian murid kelas empat itu sudah duduk manis di kursi mereka masing-masing. Sedangkan Jon dan Amin masih asyik dengan permainan mereka. 

            “Bu Lela datang. Bu Lela datang!” Seru Tomi kepada teman-temannya. Beberapa anak yang masih berdiri dan mengobrol segera duduk manis. Demikian juga dengan Jon dan Amin, mereka segera berlari ke tempat duduk mereka.

            Ketukan suara sepatu Bu Lela, guru matematika mereka terdengar tak jauh dari pintu kelas. Lalu wajah serius Bu Lela pun terlihat memasuki kelas. Entah kenapa setiap Bu Lela yang mengajar, semua murid kelas empat ini selalu terlihat serius. 

            Kelas pun dimulai dengan membaca doa. Mereka menyimak penjelasan Bu Lela dengan sungguh-sungguh. Sebelum kelas berakhir Bu Lela memberikan tugas perkalian kepada mereka. 

            “Kerjakan sekarang halaman lima belas ya. Halaman enam belas untuk pe er,” pesan Bu Lela sebelum meninggalkan kelas. Seisi kelas menjawab,” Iya Bu,” dengan serentak.

            Setelah Bu Lela keluar kelas, kelas kembali riuh. Devi bertanya pada Yosa tentang perkalian delapan yang cukup sulit. Demikian juga dengan Elfi, dia bertanya kepada Sinta. Hampir semua anak riuh dengan tugas mereka. 

            “Kamu yang mengambil pulpenku kan?” tiba-tiba teriakan Jon terdengar membuat seisi kelas melihat ke arahnya. Keriuhan tadi menjadi hening seketika. Jon berteriak pada Amin yang duduk di belakangnya.

            “Aku nggak ngambil pulpenmu. Kan tadi waktu Bu Lela masuk kita ngambil pulpen masing-masing!” jawab Amin kesal.

            “Aku nggak sempat mengambil pulpenku, karena suara sepatu Bu Lela sudah dekat pintu!” ujar Jon dengan suara masih tinggi. Teman-temannya yang lain mulai menenangkan Jon. 

            “Coba kamu cari dulu di bawah meja,” saran Hengki dan Tomi. 

            “Sudah. Dari tadi juga sudah  kucari di bawah meja, tapi nggak ada,” jawab Jon jengkel. “Aku yakin dia yang ngambil nih!” tambah Jon sambil menunjuk Amin.

            Amin tidak terima dituduh sebagai pencuri pulpen. Tangannya mengepal hendak memukul Jon. Devi melihat hal itu. Dia sangat takut kalau teman-temannya berkelahi.

            “Amin, kamu bantu Jon aja nyari pulpennya,” ajak Devi sembari menenangkan Amin. 

            “Ayo kawan-kawan, bantu Amin mencari pulpen Jon yang hilang,” ajak Cory dan Yosa. Teman-teman lain pun setuju. Mereka menghentikan pekerjaan mereka dan mulai mencari ke kolong meja masing-masing.

            “Ini ada di sini!” teriak Ade yang bertubuh kurus. Dia memperlihatkan sebuah pulpen di tangannya. Semua mata memandang pada Ade.

            “Kamu yang menyembunyikan ya?” tuduh Jon pada Ade.

            “Nggak, aku menemukannya di bawah meja guru. Mungkin tadi jatuh waktu kamu selesai main,” jawab Ade takut-takut. 

            “Iya kayaknya jatuh ke bawah meja guru. Tadi aku mendengar suara pulpen jatuh, tapi karena Bu Lela sudah masuk, aku nggak memperhatikan ke mana jatuhnya pulpen itu,” ucap Devi. Devi baru menyadarinya. Kebetulan meja Devi adalah meja yang dijadikan tempat main oleh Jon dan Amin tadi. 

            Tanpa basa-basi lagi, Jon segera mengambil pulpennya dari tangan Ade. Dia harus mengerjakan tugas matematika segera.

            “Kamu nggak makasih sama Ade, Jon?” ucap Cory. 

            “Makasih ya,” ujar Jon lirih. Ade mengangguk sambil tersenyum. Kelas pun kembali tenang. Semua murid kembali mengerjakan tugas yang diberikan Bu Lela. 

Hufft… syukurlah tidak terjadi perkelahian, gumam Devi. Alhamdulillah…  ^_^

                                                                        ***                        

Sunday, November 15, 2020

Misteri Batu Besar

 

            “Kita jangan lewat sana ya Nel. Ada ular gede di bawah batu itu,” kata Vivi. Nelfi terkejut mendengar ucapan Vivi itu. Dia punya trauma dengan ular. Dia sangat takut melihat ular. Karena dulu, ketika dia TK ada ular cukup besar masuk ke rumah mereka. orangtua Nelfi panik dan hampir celaka ketika mencoba menangkap ular itu.

            “Siapa yang bilang?” tanya Nelfi penasaran. Siang itu murid SD Inpres Bukit Cangang baru pulang sekolah. Mereka semua berlarian menuju rumah masing-masing. Ada yang rumahnya di depan sekolah, ada juga yang rumahnya berjaran 2 KM dari sekolah. Tak terlihat wajah Lelah di mata mereka. Mereka senang sekali setelah setengah hari bersekolah. 

            “Tata dan teman-teman lain. Tadi mereka cerita begitu,” jelas Vivi. Nelfi memperhatikan batu besar yang dimaksud Vivi. Sekilas batu itu memang terlihat misterius. Letaknya di pinggir jalan pertigaan. Batu itu sangat besar, seukuran setengah rumah. 

            Tapi Nelfi tak percaya begitu saja. Kenapa baru hari ini dia mendengar cerita tentang batu itu? Padahal mereka sekolah di sana kan sudah hampir 4 tahun. Selama ini tak pernah terdengar ada cerita tentang batu yang di bawahnya merupakan sarang ular besar.

            “Aku sering cari buah beri di sana bareng kawan-kawan lain. Nggak pernah ketemu ular tuh,” sanggah Nelfi.

            “Ya udah kalau nggak percaya, yang penting aku sudah kasih tau kamu. Kalau nanti tiba-tiba kamu ketemu ular besar, jangan nyalahin aku ya,” Vivi berlari di jalan menuju rumahnya. Rumah Nelfi dan Vivi searah. Mereka sering bertemu di jalan dan berangkat atau pulang bareng. Kadang ada Yuli, Yusi dan kawan lainnya. Tak jarang juga mereka bertemu Romi dan Fadil yang juga searah dengan mereka.

            “Hei! Tungguin Vi!” Nelfi pun mengejar sahabatnya itu. 

            “Aku percaya kok. Aku ngomong kayak gitu biar aku nggak takut,” jelas Nelfi setelah berhasil mengiringi langkah Vivi.

            “Makanya tadi kamu harusnya ikut ngobrol sama kita di luar perpus. Kamu sih asyik baca buku di perpus, jadinya kamu nggak percaya sama cerita itu. Tata aja kalau mau ngaji lewat sana, dia pasti lari katanya,” gerutu Vivi.

            “Iya… iya… maaf deh. Tapi kok kita selama ini nggak pernah dengar ceritanya ya?” tanya Nelfi lagi. Vivi mengangkat bahunya tanda tak tahu.

            “Hei! Lagi cerita apa?” tiba-tiba suara seseorang mengagetkan mereka. Nelfi dan Vivi serentak menoleh. Ada Romi ternyata di belakang mereka.

            “Itu tentang batu besar yang di dekat sekolah. Katanya ada sarang ular di bawahnya,” jelas Vivi.

            “Oh itu. Aku pernah juga mendengar ceritanya. Tapi kemarin kutanya ke Ni As yang di warung. Katanya ada ular atau nggak sih dia nggak tahu. Cuman, memang orang tua melarang anak-anak lewat sana karena jalan itu berbahaya. Coba saja kamu lihat, batunya kan gede banget tuh. Nah letak batunya juga agak miring. Padahal jalan itu kan menurun? Jadi para orang tua khawatir batunya bergeser dan menggelinding menimpa orang yang lewat di sana,” jelas Romi.

            “Ooo… ternyata itu sebabnya. Nah kalau gitu kita memang harus jangan lewat sana ya. Biar nggak ketimpa batu besar itu,” ucap Nelfi lega. Mereka bertiga pun menyeberangi jalan raya menuju rumah mereka. Lega rasanya tidak dihantui ketakutan terhadap ular besar. Kejadian masa TK masih diingatnya hingga sekarang. Ular hitam besar yang sangat susah untuk ditangkap. Hiiiyyy ... ^_^

                                                                                 ***


Kisah Semasa SD yang saya tulis untuk teman-teman SD saya di WAG. Selamat membaca, semoga berkenan ya. ^_^

Thursday, October 29, 2020

Menenangkan Hati Yang Cemas Selama Pandemi

Saat wabah covid19 ini terjadi, perasaan pertama yang menghantui saya adalah rasa cemas, takut dan khawatir. Berbagai pemikiran yang belum tentu akan terjadi, mulai berkembang liar di kepala. Umumnya adalah pikiran buruk yang membuat jantung jadi lebih sering berdebar. Tidur malam jadi sering terbangun dan merasa cemas sepanjang hari.

            Rasanya sangat tidak nyaman. Saya berusaha menenangkan diri dengan berzikir, memperbanyak istighfar, membaca Al Quran agar hati menjadi tenang. Bersyukur Allah selalu mengingatkan saya tentang keberadaanNya. Saat cemas melanda, suatu hari saya mendengar ceramah seorang ustadz di media social. Beliau mengatakan jika kita masih saja cemas meski kita sudah sering berzikir, maka kita harus memperhatikan kembali zikir yang kita ucapkan.

            Sudahkah kita berzikir dari lubuk hati yang paling dalam. Sudahkah kita memohon ampun atas satu persatu dosa yang kita lakukan. Sudahkah kita menyerahkan diri sepenuhnya pada Allah. Karena untuk seorang hamba nilai ketauhidannya kepada Allah masih diragukan jika dia tidak benar-benar menyerahkan diri sepenuhnya pada Allah. 

            Ketika seseorang sakit, maka Allah yang akan menyembuhkan. Dia harus yakin itu, maka kesembuhan akan Allah hadirkan. Ketika musibah datang, itu pasti atas izin Allah, maka dia yakin Allah juga yang akan mengangkat musibah itu. Seorang hamba yang benar tauhidnya pasti sepenuhnya berserah diri pada Allah. Sehingga Allah pun hadir bersamanya.

            Seperti kisah Nabi Ibrahim yang dibakar oleh raja Namrudz. Nabi Ibrahim menyerahkan dirinya sepenuhnya pada pertolongan Allah. Sehingga Allah pun memerintahkan api menjadi dingin dan tidak membuat celaka Nabi Ibrahim. Saat ini, sikap itu yang wajib kita tanamkan dalam hati ketika rasa cemas, khawatir dan takut melanda. Bahwa Allah akan menjaga kita dari hal buruk. 

            Yang paling penting, kita segera bertobat atas semua dosa, memperbanyak istighfar memohon ampunan Allah. Dan berserah diri pada takdir dari Allah. Karena semua yang terjadi di muka bumi dan langit pasti atas izin Allah. Bahkan jika seekor nyamuk menggigit kita pun itu pasti karena izin Allah. 

Jadi hal ini yang harus kita tanamkan dalam hati kita. Bahwa hanya Allah tempat kita bergantung. Perbanyak mengingat Allah dan mohon ampunanNya. 

            Hanya dengan begitu hati kita menjadi lebih tenang menghadapi wabah ini dan musibah lainnya. Semoga Allah menjaga kita semua dari wabah covid19. Semoga Allah segera memerintahkan hambanya yang kecil itu untuk segera meninggalkan bumi ini. aamiin… 

 

Sunday, October 25, 2020

Thank's Mak Jampi

  “Umua baru 35 tapi bantuak urang umua 50,” gerutu Sutan Palindih pada Leni istrinya.  Leni tersedak, ia segera mengambil gelas yang sudah berisi air dan langsung meminumnya sampai habis. Malam itu mereka sedang makan malam. Entah ini kali keberapa suami Leni itu melontarkan kata-kata pedas seperti itu. Perempuan berdarah Minang ini menarik napasnya.

             Padahal tadi ketika suaminya pulang dari kantornya, tak ada pertengkaran diantara mereka. Begitu Leni mengeluh tentang ibu-ibu komplek perumahan mereka yang sering berutang di warungnya, ujung-ujungnya Sutan Palindih pasti akan melontarkan pernyataan yang sama. Mengomentari umurnya yang masih 35 tahun, namun terlihat seperti ibu-ibu yang sudah berumur 50 tahun.

             Leni bukannya tidak menyadari akan kekurangannya yang satu ini. Setiap habis mandi dan mematut diri di depan cermin, ia sedih melihat wajahnya yang dipenuhi noda hitam akibat penuaan dini. Badannya juga tidak selangsing dulu. Seperti sebelum ia menikah dengan Sutan Palindih. Tapi apa dayanya, kesibukannya mengurus 3 anaknya, rumah tangganya serta sebuah warung di depan rumahnya itu telah membuatnya lupa untuk merawat diri sendiri.

             “Ambo bukannyo ndak nio manjago badan Uda. Ambo sudah ikut senam di sanggar Mbak Andien. Ambo juga sudah beli bedak yang katanya membuat wajah lebih muda di salon Mbak Fatima. Tapi muka dan badan ambo masih saja seperti ini,“ sahut Leni lemah. Ia juga bingung kenapa usahanya untuk membuat badannya lebih langsing dan  membuat kulitnya lebih cerah selalu saja gagal.

“Tentu saja kau tidak berhasil, kau datang ke situ hanya sesekali saja. Bedaknya pun tak kau pakai tiap hari,” sembur Sutan Palindih. Leni semakin tersudut.

 

“Ambo sibuk di warung , makanya ambo tidak bisa ke sanggar itu tiap hari,“ Ia berusaha membela diri.

             “Semua orang juga sibuk, tapi kenapa mereka bisa menjaga badannya. Lagipula apa hubungannya kesibukan kau dengan memakai bedak? Memakai bedak saja kau tak rutin, bagaimana muka kau akan terlihat bersinar seperti si Fatima dan Si Andien itu,“ sahut Sutan Palindih geram, ia kesal sekali jika perkataannya disahuti istrinya seperti itu.

           “Baiklah Uda, besok Ambo ke sanggar Mbak Andien lagi,“ Leni mengalah. Ia tidak ingin ribut dengan suaminya. Ia selalu ingat pesan Apak ketika ia menikah dulu, “Suamimu yang bertanggung jawab terhadapmu dunia akhirat, jadi kau harus patuh padanya. Dia sudah menjadi tuanmu sekarang. Apak hanya ingin mendengar yang baik-baik saja dari kalian, tolong kau ingat itu.“

             Pernyataan Apak itulah yang membuat Leni mengikuti semua perintah suaminya. Apapun yang terlontar dari mulut sutan Palindih adalah titah baginya yang tidak akan pernah dilanggarnya. Banyak sudah perintah Sutan Palindih yang kadang tidak sesuai dengan keinginan Leni. Matanya menerawang mengingat perintah suaminya 5 tahun yang lalu.

 “Sebaiknya kau tidak usah bekerja lagi, kau urusi saja anak-anak di rumah,” pinta Sutan Palindih waktu itu. Walau kaget dengan permintaan itu, Leni memutuskan berhenti dari pekerjaannya sebagai teller di salahsatu bank swastadi Jakarta.

        Setelah itu ia berkutat dengan rumah tangganya dan merawat anak-anaknya. Ia berusaha mencari kegiatan dengan membuka warung kecil di depan rumahnya. Sebenarnya Sutan Palindih keberatan jika Leni membuka warung.

“Lumayan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari dan menambah cicilan rumah Uda, lagi pula ambo bingung mau melakukan apa setelah anak-anak berangkat sekolah.” Demikian Leni beralasan. Sutan Palindih akhirnya setuju, dengan syarat ia tidak akan pernah melayani para pembeli.  

“Sebaiknya kau tutup saja warung itu,“ demikian perintah Sutan Palindih beberapa waktu lalu. Leni hanya diam, tidak mungkin itu dilakukannya. Ketika itu Sutan Palindih melihat nilai rapor anak-anak mereka merosot. Padahal Leni sudah meminta anaknya untuk les di rumah Ibu Nurmala, tetangga mereka.

          “Ibu Nur gimana sih, saya sudah bayar mahal-mahal, tapi nilai anak-anak saya masih saja rendah! Bu Nur mau dibayar berapa biar nilai anak saya jadi tinggi sih!” semburnya kepada Bu Nurmala. Leni mendatangi rumah Bu Guru itu sesaat setelah melihat nilai rapor anak-anaknya.

            “Uni, saya sudah mengajari anak Uni. Mereka anak pintar. Saya juga bingung kenapa nilai mereka jadi rendah?” Bu Nur memelas.

“Kalau mereka pintar harusnya mereka juara kelas dong!” sahut Leni sengit. Ia masih tidak terima dengan nilai anaknya. Ia merasa sudah mengeluarkan uang cukup banyak demi anak-anaknya itu.

“Sabarlah dulu Uni, mungkin kita bicarakan baik-baik dengan mereka. Saya pernah mendengar kalau Remon ingin Uni yang mengajarinya belajar. Waktu itu anak-anak Uni bercerita di sini. Kebetulan saya sedang di kamar mengambil buku latihan. Ketika saya kembali saya tak sengaja mendengar cerita mereka itu.” Jelas Bu Nur panjang lebar. Leni tertegun, mungkinkah anak-anaknya butuh perhatiannya?

 “Tapi kenapa mereka memilih cara ini untuk mendapatkan perhatianku,“ gumam Leni. Ia buru-buru berlalu dari rumah Bu Nur tanpa sepatah katapun. Bu Nur memandang kasihan melihat perempuan itu. 

                                                *****

            “Remon bangunlah Nak, sudah azan,“ Leni memangunkan sulungnya. Ia baru saja pulang dari pasar membeli sayuran untuk dijualnya kembali. Sebelum subuh diusahakannya untuk segera kembali ke rumah guna melakukan shalat subuh berjamaah di mushalla.

            “Hhh..., iya Mak,“ Remon mengeliat. Ia segera membuka matanya. Ia tidak mau membuat ibunya menjadi marah karena ia tidak mau bangun. Leni tersenyum, ia berjalan ke samping tempat tidur di sisi yang lain. “Doni, bangun Nak,” ujarnya sambil mengelus rambut Doni. Bungsunya mengeliat dan berganti arah tidur. Leni mengelus rambut Doni lagi. Kali ini disertai ciuman di kepala Doni. Doni mengeliat lagi. Ia merasakan dinginnya pipi ibunya yang sempat menyentuh telinganya tadi. Anak itu segera bangun dan mengucek matanya.

            “Kalian berwudhulah dulu, Amak mau membangunkan Weni ya,” Leni berjalan meninggalkan kamar kedua putranya itu. Kamar Weni di samping kamar Remon dan Doni. Leni membuka pintu kamar Weni, ternyata Weni sudah bangun dan sedang mengenakan mukenahnya. Leni tersenyum anak perempuannya itu untunglah sudah terbiasa dengan bangun subuh.

            “Ayo Doni, sudah azan tuh,” terdengar suara Remon memanggil adiknya. Beriringan mereka menuju pintu rumah. Leni, Sutan Palindih dan Weni sudah duduk menungu di teras rumah mereka.

            “Cepat pakai tangkelek[1] kalian,” perintah Sutan Palindih kepada kedua bocah itu. Mereka menggangguk dan segera mengenakan bakiak. Setelah itu mereka sekeluarga berjalan menuju mushalla yang tidak begitu jauh dari rumah.

            “Treng…treng.., treng.. treng…,” Koor bakiak mereka itu memecah kesunyian subuh. Sebagian warga komplek yang masih tertidur lelap. Suara itu seperti membelai tidur mereka.

            “Ondeh mandeh.. pakak talingo ambo!” tiba-tiba suara seseorang menghentikan langkah anak-beranak itu.  Serentak mereka menoleh ke rumah Uda Young yang berada di sebelah kanan mereka. “Apa kalian tidak bisa pakai sandal biasa saja!?“

            “Maksud Uda apo?“ sahut Leni bingung. Setiap hari mereka ke mushalla melewati rumah Young dan rumah warga lainnya, tak pernah ada komplen sebelumnya.

            “Suara bakiak kalian itu sudah membuat ambo tidak bisa tidur. Biasonyo Ambo diam se, kini Ambo dak tahan lai, pakak talingo ambo mandanga suaro tangkelek tu tiok subuah!”  Uda Young menghampiri mereka. Alisnya terangkat, keningnya berkerut , matanya melotot. Leni melihatnya seperti monster yang siap memakan keluarga mereka hidup-hidup.

            “Saba Uda , ancak wak sumbayang ka musajik dulu[2],” sutan Palindih menyabarkan Young yang masih bujangan walaupun umurnya sudah kepala 4 . Di tangan kanan Young masih terselip bantal guling. Sepertinya laki-laki perlente ini memang selalu rapi di manapun ia berada. Bahkan pagi itu ia masih saja mengenakan kaos bukan piyama.

             “Saba-saba! Ambo sudah bersabar selama ini! Setiap hari kalian anak beranak lewat jalan ini dengan suara bakiak itu! Apa kalian pikir ini jalan nenek moyang kalian !? Banyak yang terganggu dengan suara bakiak kalian. Mereka tak mengatakannya bukan karena mereka suka, tapi karena mereka tidak mau ribut samo kalian!” Udo Young benar-benar naik pitam. Ia baru pulang dari pekerjaannya jam 3 pagi. Ia belum tidur sama sekali, ketika ia mencoba untuk tidur, suara bakiak keluarga Leni mengusiknya. 

            “Eh Uda Young! harusnyo Uda bersyukur, kami sudah membangunkan Uda untuk shalat subuh. Jangan suka tidur kalau sudah subuh, nanti rejeki dipatuk ayam,” balas Leni sengit. Ia tidak terima dibentak-bentak seperti itu. Sejak kemarin ia ingin melampiaskan kekesalan karena sudah dimarahi suaminya. Kebetulan pagi ini ada yang ngajak berantam. Leni bisa melampiaskan kemarahannya itu.

            “Alah mah, dak lamak didanga urang,[3]“ Sutan Palindih menyabarkan istrinya. Ia tahu tabiat Leni, jika sudah marah pasti mulutnya merepet seperti petasan banting. Leni tak peduli lagi waktu dan tempat jika sedang marah. Memang kepada Sutan Palindih Leni tidak pernah membantah, tapi jika ada orang lain yang menyinggungnya dengan cara kasar seperti tadi, maka Leni akan membalasnya dengan kasar juga.

            Leni terdiam, perintah suaminya adalah titah baginya. Ia menundukkan wajahnya menahan semua amarahnya. Emang si Young ini gak bisa ngasih tau baik-baik apa, batinnya.

            “Maafkan kami Uda, besok kami tidak akan mengenakan bakiak ini lagi ke mushalla,“ Sutan Palindih menjabat tangan Young. Young sebenarnya sedikit syok dengan semburan Leni tadi. Dia tidak menyangka Leni bisa bicara segitu kerasnya. Untunglah suaminya segera menenangkan Leni. Young malu juga jika ada warga yang melihat  mereka bertengkar di kesunyian subuh ini. Bisa-bisa warga menuduhku beraninya sama perempuan aja, batin Young.

            “Ya sudah, ambo hanya berharap suara Bakiak itu jangan terlalu terdengar. Kan bisa berjalan tanpa harus menyeretnya,” jawab Young sambil membalikkan badannya. Ia ingin meneruskan tidurnya.

Sutan Palindih mengangguk setuju. Mereka pun berjalan menuju mushalla. Remon, Weni dan Doni sebenarnya tadi ketakutan. Mereka tak menyangka ibu mereka bisa sehisteris itu. Mereka bersembunyi dibelakang ayah mereka. Tapi ketika ibu mereka sudah terlihat tenang, mereka mulai mendekati Leni dan melanjutkan perjalanan ke mushalla.

            “Maafkan Ambo Da,“ Leni tertunduk di sepanjang perjalanan ke mushalla. Ia menyesal telah kehilangan kendali di depan anak-anaknya.

            “Di rumah saja nanti kita bicarakan,“ mereka masuk ke dalam mushalla dan segera melakukan shalat subuh berjama’ah yang sudah dimulai.

                                                            ****

“Uni Leni, ngapain pagi-pagi udah bengong..!“ suara Mak Jampi tetangganya membuyarkan lamunan Leni. Leni bingung dengan keputusannya semalam. Ia idak bisa meluangkan waktunya untuk senam dan merawat diri di salon kecantikan. Leni berpikir, jika ia pergi ke sanggar senam itu, siapa yang akan menjaga warungnya.

“Eh Mak Jampi…” Leni gelagapan. “Ini pesenan pinangnya,” Leni mengeluarkan bungkusan pinang yang di pesan Mak Jampi kemarin.

“Saya lihat Uni Leni lagi ada masalah ya,” tebak Mak Jampi. Wanita cantik dengan dandanan khasnya mengenakan kebaya encim ini dikenal warga sebagai ahli herbal. Mak Jampi telah banyak menyelesaikan masalah warga komplek Perumahan Bumi Makmur itu.

“Mending minta ramuan dari Mak Jampi saja Uni,” saran Ziah beberapa hari yang lalu. Tapi Leni belum sempat konsultasi ke rumah Mak Jampi. Padahal Mak Jampi sering menitip pinang padanya. “Untuk pasien saya, biar tambah keset,“ demikian ujar Mak Jampi setiap Leni bertanya untuk apa. Leni bingung apa maksud perkataan Mak Jampi itu. Tapi ia malas bertanya.

“Mak Jampi, boleh saya konsultasi gak, tapi kalo bisa di sini saja ya,” Tiba-tiba Leni berpikir harus berkonsultasi saat itu juga dengan Mak Jampi.

“Boleh, asal Uni Leni gak keberatan banyak orang yang mendengar masalah Uni,” Mak Jampi melirik ibu-ibu yang sudah berdatangan ingin membeli sayur.

“Hayo! Uni Leni mau konsul apa sama Mak Jampi?” tanya Ziah menyelidik. Gadis itu sering berutang di warung Leni. Leni tersenyum kecut. Tidak mungkin rasanya untuk berkonsultasi di antara penghuni komplek ini. “Nanti saya ke rumah Mak Jampi aja deh,“ putusnya.

 “Saya tunggu loh ya,” senyum Mak Jampi. Ia berlalu dengan membawa pinang pesanannya. Sebelumnya diserahkannya selembar uang sepuluh ribuan kepada Leni. Leni mengangguk,” iya Mak Jampi, ma kasih ya,” sahutnya sambil melayani Ziah yang minta dibungkuskan 1 ons cabe.

“Uni, pete-nya dua papan ya,” pinta Monika tang selalu berbelanja bersama Ziah. Leni menggangguk dan mengambilkan petai untuk Monika.

“Saya sudah Uni, tolong di hitung,“ Ziah memberikan semua sayuran yang sudah dipilihnya kepada Leni. Leni mengambil sayuran itu dan memasukkannya  ke dalam kantong kresek,“Semuanya sepuluh ribu,” ujarnya.

“Biasa ya Uni, dicatat dulu aja,” senyum Ziah sambil mengambil kantong belanjaannya.

“Ondeh mandeh Ziah... lah banyak utang kau, yang dulu belum dibayar. Kini mau ngutang lagi.“ Leni menarik kembali kantong belanjaan Ziah. Ia tidak mau Ziah berutang lagi hari ini.

“Uni, saya belum gajian. Minggu depan saya bayar deh…“ Ziah berusaha menenangkan Leni. Wajah Leni sudah memerah. Mulutnya maju dua senti. Hidungnya kembang kempis seperti banteng yang siap menyeruduk orang. Wanita yang selalu menutup kepalanya dengan selendang itu sudah siap menyemburkan kemarahannya.

“Dak bisa! Harus kau bayar sekarang, apa kau tak tahu, berapalah keuntungan ambo! Ambo harus memutar uang itu lagi untuk modal. Kalau kau berutang terus kapan ambo berangkat haji!“ Perempuan yang selalu mengenakan baju lengan panjang dan sarung batik itu, sudah tidak bisa mengendalikan emosinya. Ibu-ibu lain yang sedang berbelanja hanya mematung memperhatikan Ziah dan Leni.

“Lagi dapet kali,“ bisik salah satu dari mereka.

“Bukan.. pasti karena tadi pagi habis didamprat Uda Young,“ timpal yang lain.

“Aku kira karena habis dimarahi suaminya tuh,“ tebak yang berbaju merah. Ketiga perempuan itu cekikikan menebak apa penyebab kemarahan Leni pagi itu. Leni masih saja merepet membahas utang Ziah yang belum dibayarnya.

 Didampratnya Ziah habis-habisan. Ziah hanya tertunduk malu. Dia memang belum bisa membayar utangnya. Tapi kenapa Leni memakinya di depan orang banyak seperti ini?

“Iya Uni, nanti saya bayar. Sekarang saya benar-benar tidak ada uang,” sahut Ziah menahan malu. Ia bingung harus bagaimana.Tidak mungkin dia pulang begitu saja.  Mau balas menjawab, rasanya tak patut juga. Karena banyak sekali orang di sini.

“Sudahlah Uni Leni, pasti Ziah mau membayarnya besok,“ Monika menyabarkan Leni untuk membela Ziah. “Nanti saya akan  mengingatkannya.“ Kedua gadis ini memang bersahabat. Walau kadang seperti Tom and Jerry.

“Baiklah, Ambo tunggu sampai besok, jika besok tak kau bayar, Ambo ambil motor butut kau itu,“ ancam Leni. Ziah memang selalu mengendarai motor butut ke kantornya.

“Ih jangan motor saya dong Ni... Motor saya lebih mahal dari utang saya ke Uni.“ Ziah tak bisa membayangkan jika ia kehilangan benda berharga miliknya satu-satunya itu. Apalagi Leni terlalu lebay, jika menyita motornya demi utang yang hanya beberapa ratus ribu saja. 

“Nanti saya yang bayar kalo Mbak Ziah gak bayar Uni,“ sela Monika sambil mencubit pinggang Ziah. Ia berharap Ziah tidak memperpanjang urusannya dengan Leni.

“Kalau Monika mau jadi penjamin gini kan enak, ya udah ini bawa sayurnya. Nanti saya catat dan totalkan dengan utang yang lama ya,“ putus Leni dengan suara cemprengnya yang membuat ibu-ibu geleng-geleng kepala.  Kedua gadis itu menarik napas lega.

“Makasih Uni,” Monika segera menarik lengan Ziah untuk segera berlalu dari warung Leni.

“Monika! Kau tak belanja!“ teriak leni.

“Dak jadi Uni, ntar aja,“ Monika dan Ziah mempercepat langkahnya.

“Wajahnya sih biasa aja, suaranya... kayak petasan banting, bikin panas kuping aja,“ gerutu Ziah disepanjang jalan.

“Lagian ngapain kamu ladenin sih? Udah tau orangnya begitu, malah diladenin, mending kamu bayar aja deh utang kamu sama dia. Gak enak tadi tetangga pada ngeliatin kamu. Kayak kamu gak punya uang aja buat bayar.“ Monika mengomeli Ziah.

“Iya besok aku bayar, aku pikir dia lupa, kalo dia lupa kan aku gak perlu bayar.“

“Mana mungkin si Padang satu itu lupa. Dia mencatat semua utang warga di sini. Lihat saja catatan utang itu, gak pernah jauh darinya.” Mereka pun masuk ke rumah mereka masing-masing.

****

Siang itu Leni mendatangi rumah Mak Jampi, seperti yang dijanjikannya. Ia menutup warungnya yang agak sepi kalau siang hari. Biasanya jam segitu dimanfaatkannya untuk tidur siang setengah jam. Tapi karena masalahnya ini harus segera diselesaikan akhirnya ia merelakan jam tidur siangnya untuk berkonsultasi dengan Mak Jampi.

“Assalamualaikum... Mak Jampi...” Leni memanggil MakJampi dari halaman rumahnya.

“Walaikumsalam... mari silahkan masuk.“ Mak Jampi keluar menyambut tamunya. Leni tersenyum dan masuk ke dalam rumah Mak Jampi. Kebetulan siang itu tidak ada pasien lain yang sedang berkonsultasi dengan Mak Jampi.

“Mangga pinarak badhe ngersaaken menapa Jeng?” tanya Mak Jampi ketika Leni sudah duduk dihadapannya. Leni terdiam, walau sebenarnya ia malu mengatakan masalahnya, tapi ia harus melakukannya. Sebenarnya ia tidak mau mengunjungi Mak Jampi lebih kepada ia tidak mau masalahnya diketahui orang lain. Ia takut disebut sebagai istri yang membuka aib suaminya jika harus curhat kepada orang lain.

Jika ia ikut senam di sanggar senam Andien, itu hanya sekedar senam saja, ia tak pernah mengeluh kepada Andien kalau ia ingin kurus karena suaminya sudah komplen melihat bentuk badannya. Begitu juga ketika ia membeli bedak dan facial di salon Fatima, ia tidak pernah mengatakan kalau ia nyalon karena sudah dikomplen suaminya. Ia menyimpan sendiri masalah itu.

Tapi kini ia harus mengatakannya karena menurut para warga yang menggunakan jasa Mak Jampi, semua pasien harus menceritakan masalahnya agar Mak Jampi bisa mencarikan jalan keluar yang terbaik bagi permasalahan tersebut.

“Begini Mak Jampi,” Leni mulai bercerita tentang keluhannya. Semuanya diceritakannya tanpa satupun yang terlewat. ”Saya harap Mak Jampi bisa menyimpan cerita saya ini,” tutup Leni di akhir ceritanya.

“Baik Uni Leni, Insyallah rahasia Uni aman sama saya. Masalah Uni bisa terselesaikan dengan ramuan yang bisa Uni bikin sendiri di rumah. Ramuan ini bisa membuat Uni bertambah langsing dan juga kulit muka menjadi lebih cerah. Tapi Uni harus benar-benar menjalankannya. Insyaallah dua bulan Uni sudah melihat hasilnya.”

“Dua Bulan! Benarkah Mak Jampi?” Leni tak percaya mendengar penuturan Mak Jampi. Mudah-mudahan ini memang jalan keluar bagi permasalahannya.

“Begini, nanti Uni makan 5 buah apel dalam sehari. Selama 5 hari.  Setelah itu hari ke enam kurangi porsi apel menjadi 2 ditambah dengan 2 macam buah lainnya. Bisa anggur, pisang, pir, pepaya, melon atau buah yang Uni sukai. Pola makan Uni harus diubah menjadi, sarapan dengan 1 buah pisang, 1 apel, 1 iris melon. Jam 11 baru makan nasi. Atau sekalian aja jadi makan siang. Kurangi porsi nasi dari biasanya. Malam makan sebelum jam 7 hanya makan buah dan sayur saja. Minum air hangat sehabis makan makanan yang belemak.  Minum air putih harus 2 liter sehari,” jelas Mak Jampi panjang lebar. Ia mencatat semua yang disebutkan Mak Jampi itu.

“Hanya itu Mak Jampi!” Leni tak percaya. “Sepertinya gampang, mudah-mudahan saya bisa mengikuti saran Mak Jampi ini,” Leni menutup catatannya.

"Ohya, kalo uni mau, bikin rebusan air kunyit dan lemon. Lalu minum tiap pagi dan malam. Satu lagi, Uni harus ikhlas, ingatlah, suami Uni komplen itu bukan berarti dia benci, tapi karena dia sayang sama Uni, dia ingin Uni menjadi lebih baik dan lebih memperhatikan diri sendiri,” saran Mak Jampi diakhir konsultasinya.

“Terima kasih Mak Jampi, insyaallah akan saya ingat dan lakukan pesan Mak Jampi itu,” Leni pamit dan meninggalkan amplop yang sudah diisinya selembar uang seratus ribuan dari rumah.

Kalau ada masalah lain, pintu rumah saya terbuka lebar untuk Uni,” Mak Jampi tersenyum mengikuti langkah Leni yang sudah akan meninggalkan rumahnya.

          “Matur suwun rawuhipun, mugi-mugi Pangeran paring berkah dumateng panjenengan Jeng,” doa Mak Jampi untuk Leni. 

“Terima kasih juga Mak Jampi,” Leni meninggalkan rumah Mak Jampi dengan perasaan lega. Seolah ia baru melepas gunung dari pundaknya. Langkahnya benar-benar ringan menuju rumahnya.   

****

“Kita makan di sana saja,” Sutan Palindih menunjuk sebuah restoran bergaya betawi yang terletak di kawasan Kota Tua itu. keluarga mereka sedang menikmati liburan akhir pekan. Hal yang sudah lama tidak mereka lakukan.

Sudah 3 bulan berlalu dari semenjak Leni berkonsultasi dengan Mak Jampi. Semenjak itu  juga Leni rutin mengkonsumsi buah dan sayur yang disarankan Mak Jampi. Sedikit demi sedikit perubahan sudah terlihat di wajah dan badannya. Wajahnya sudah tidak begitu kusam lagi. Berat badannya juga sudah mulai turun meski baru 4 kilo. 

        Leni juga masih rajin senam di Sanggar Andien, dan tetap memakai produk perawatan wajah dari salon Fatima.

“Uni Leni sebaiknya mencari asisten untuk menjaga warung,” demikian pesan Mak Jampi padanya pada konsultasi berikutnya. “Uni terlalu lelah, sehingga Uni tidak menikmati hidup Uni. Uni Leni harus sering-sering keluar untuk rekreasi atau sekedar mencari udara segar. Jangan hanya berkutat di rumah saja.”

“Baiklah Mak Jampi, saya akan mencoba mencari asisten,” sahut Leni waktu itu. untung saja Geri adiknya bersedia tinggal bersamanya dan menjadi asistennya di warung. Geri baru saja menyelesaikan kuliahnya. Sambil mencari pekerjaan tak ada salahnya ia membantu kakaknya. Sutan Palindihpun setuju dengan keputusan Leni itu.

Masalah Leni satu persatu sudah berhasil diselesaikannya. Ternyata masalah itu datang dari dirinya sendiri, jika ia kembali memikirkan niat awalnya untuk menjadi ibu yang  baik bagi anak-anaknya, pastilah ia tidak akan mengalami masalah yang menurutnya rumit ini.

Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Ikhlas menjalani masalah yang menimpa kita, akan membuat masalah itu terselesaikan dengan mudah. Dia sekarang juga sudah tidak gampang marah lagi.

“Mau makan apa?” Sutan Palindih menyerahkan daftar menu yang berbentu foto dalam pigura itu kepada istrinya. Leni melihat foto artis terkenal luar negeri yang disodorkan suaminya. Sebenarnya mereka baru pertama kalinya ke restoran itu. Restoran yang bergaya betawi dengan berbagai ornamen khas betawi lainnya. Di setiap tiangnya ada beberapa foto artis luar negeri Tempo Doeloe. Berwarna hitam putih.

Di belakang foto itu ada pilihan menu dan harganya. “Lucu ya Mak,” Remon memperhatikan Bingkai Foto Menu itu.  

“Hah!Harganya mahal bana Uda!” pekik Leni. Mulutnya terngaga melihat harga segelas susu full cream seharga Rp 21. 500,- . Sutan Palindih buru-buru mengambil foto itu, diperhatikannya angka yang tertera di setiap menu.

“Salah masuak tampaik makan wak  mah[4],” suaranya bergetar. Wajahnya pucat pasi. Mereka berlima.  Jika harga susu saja 20 ribuan, berapa rupiah uang yang harus dikeluarkannya.

“Kalau gitu ambo dak usah makan lah.” Putus Leni.

“Mak, aku laper nih, ayo pesen sandwich aja,” rengek Doni. Anak itu sudah kelaparan dari tadi. Leni melirik harga sandwich,” Rp 50.400.- “ gumamnya. Leni memandang suaminya. Lalu beralih memandang anak-anaknya yang sudah tak sabar ingin makan. Matanya beralih ke pengunjung yang lain.

“Patuiklah maha, urang bule sadonya isi tampaik makan ko mah[5],” ucapnya ketika melihat disekelilingnya ternyata banyak bule dan keluarga mereka.

“Mahal ya Mak. Kalau gitu kita keluar aja yuk,” Remon seperti mengerti dengan kesulitan orangtuanya.

“Yah... kok keluar lagi, aku laper nih..!” rengek Doni dan Weni. Remon lalu membisikkan sesuatu di telinga kedua adiknya.

“Hah! Beneran Uda, ya udah Mak kita keluar aja,” kedua anak itu segera menarik lengan Leni dan Sutan Palindih.

“Kita pesan aja susu full cream ini dulu, gak enak keluar kalo gak mimun apa-apa,” putus Sutan Palindih. Iamemanggil pelayan. Beberapa saat kemudian pesanan mereka datang. Dua gelas susu full cream . Remon dan kedua adiknya berebutan menghabiskan dua gelas susu itu.

“Yah.. gak ada rasanya!” Weni mengembalikan gelasnya. Wajahnya terlihat lucu. Leni tersenyum, ia sebenarnya ingin tertawa ketika melihat ekspresi Weni ketika meminum susu tanpa gula itu. “Namanya aja susu full cream sayang... ya gak manis lah,” senyum Leni sambil membelai rambut anak gadisnya itu. Setelah susu habis mereka segera meninggalkan restoran itu.

“Remon ngomong apa ke Doni? Kenapa Doni jadi gak mau makan?” tanya Leni ketika mereka memilih  makan di kaki lima yang  berada di samping restoran tadi.

“Aku bilang kalau makan yang ada di situ dicampur dengan daging babi Mak,” senyum Remon.

“Ondeh mandeh! Remon...Remon...” Leni dan Sutan Palindih tersenyum dan mengelus rambut putranya itu.

Ia senang bisa menikmati liburan bersama anak dan suaminya. Sekarang nilai anak-anaknya sudah kembali bagus. Ia memilih mendampingi anaknya ketika belajar. Karena warung sudah di pegang oleh Geri.

“Sebaiknya panjenengan minta maaf pada mereka,” saran Mak Jampi ketika Leni bercerita Uda Young , Ziah dan Bu Nurmala tiba-tiba tidak mau lagi berbelanja di warungnya.

“Begitu ya Mak Jampi, baiklah, tapi bagaimana caranya?” Leni gengsi jika harus datang ke rumah mereka.

“ Nanti rabu depan Uni Leni datang ke sini lagi ya. Saya akan mengajak Bu Nur, Uda Young, dan Ziah ke sini,” saran Mak Jampi. Leni menggangguk setuju.

Pada hari Rabu itu mereka berempat sudah berkumpul di rumah Mak Jampi. Leni yang merasa masih gengsi hanya mencuri pandang saja kepada ketiga orang yang pernah bersitegang dengannya.

“Ngapain juga si Padang satu ini ke sini?” batin Ziah. Dia tak sudi bertemu dengan orang yang sudah menghinanya di depan khalayak ramai. Demikian juga dengan Young. Dia malah tak melihat sama sekali kepada Leni. Kalau Bu Nur masih berusaha tersenyum kepada Leni meskipun sedikit dipaksakan.

“Maaf loh ya Mbak Ziah, Bu Nur, Uda young dan Uni Leni. Saya sengaja mengumpulkan kalian berempat di rumah saya agar kalaian bisa kembali seperti semula. Tidak diem-dieman kayak anak kecil,” ujar Mak Jampi langsung ke pokok masalah.

“Kok Mak Jampi tahu kami diem-dieman sama Uni Leni?” celetuk Ziah.

“Sebenarnya Uni Leni ingin minta maaf pada panjenengan semua, makanya saya sarankan di rumah saya saja,” jelas Mak Jampi dengan logat jawanya.

“Ya sudah, moggo salaman, dan saling memaafkan, tidak baik sesama saudara sendiri bermusuhan,” Mak Jampi menyolek pundak Leni.

“Eh iya... saya minta maaf atas sikap saya tempo hari ya,” ujar Leni gelagapan. Mukanya merah menahan malu.

“Sudah saya maafkan kok Uni,” Bu Nur memeluk Leni.

“Maafkan saya juga ya Uni Leni,” Ziah ikut memeluk Leni. Mereka bertiga berpelukan seperti Teletubbies .

“Ambo juga sudah memaafkan, apa perlu Ambo memeluk Uni Leni juga? Kalau perlu mari sini kita berpelukan...” canda Uda Young. Ia berjalan menuju ketiga perempuan yang sedang berpelukan itu.

“Eh gak usah Da, bukan muhrim,” teriak mereka serempak.

“Ah... Ambo kira boleh berpelukan,” seringai Uda Young. Mak Jampi, Leni, Ziah dan Bu Nur hanya tersenyum kecut.

            “Makasih ya Mak Jampi,” Leni memeluk Mak Jampi setelah dia mengucapkan terima kasih kepada Bu Nur, Ziah dan Uda Young. Mak Jampi tersenyum. Ia senang sudah berhasil lagi memecahkan masalah seseorang atau mungkin masalah beberapa orang, dalam sekali pertemuan.

 

 

 

 

[1] bakiak

 

[2] Sabar ya Uda, sebaiknya kita shalat ke masjid dulu

 

[3] Udah.. gak enak didengar orang

 

[4] “ Salah masuk restoran kita.”

 

[5] “Pantesan mahal, bule semua di restoran ini.”



naskah jadul tahun 07-08- 2011