Tuesday, July 8, 2014

Menata Daun Pisang



 
            
Sore itu aku dan beberapa anggota karang taruna desa sedang sibuk mempersiapkan acara buka puasa bersama. Seperti tahun sebelumnya, kami mengadakan acara buka bersama dengan memasak sendiri makanan untuk berbuka. Aku sebenarnya hanya pendatang di desa ini. Karena sehari-hari aku tinggal di kota Bukittinggi. Aku datang ke desa ini karena desa ini adalah tempat tinggal nenekku.
            Setiap minggu, aku mengunjungi beliau. Walau hanya sesekali aku ke sini, tapi masyarakat desa ini cukup mengenalku. Jadi  mereka juga sering mengajakku terlibat dalam kegiatan yang mereka lakukan.
            “Apalagi yang mau dikerjakan Tek Ayu?” tanyaku setelah semua bahan masakan selesai disiapkan. Aku baru saja selesai memotong sayur dan mengupas bumbu untuk dihaluskan.

            “Kayaknya sudah semua,” ucap Tek Ayu, salah satu pengurus karang taruna. Dia terlihat serius mengaduk sepanci besar ayam gulai yang sudah hampir matang.
            Di sudut lain, kulihat beberapa anggota karang taruna cowok sedang menyalin nasi yang sudah matang. Halaman Sekolah Dasar yang terletak di depan masjid ini, sudah berubah menjadi dapur umum. Sungguh pengalaman yang sangat mengesankan setiap tahunnya. Apalagi, ini tahun pertamaku untuk terlibat langsung dalam proses memasak dan meyiapkan hidangan buka puasa ini.
            Tahun lalu, mereka memintaku untuk merapikan tikar di masjid. Jadi, betapa senangnya aku mendapat kehormatan ini.
            “Kamu rapikan daun aja ya Nel. Susun memanjang di atas tikar itu. Jangan lupa dilap dulu ya!” perintah Tek Ayu.
            “Oke,” sahutku bersemangat. Aku pun segera mengambil daun pisang yang disandarkan ke dinding salah satu kelas di SD ini. Ada puluhan daun pisang berjejer di sana. Daun pisang itu sudah dilayukan dengan meletakkannya sebentar di atas nyala api, agar tidak robek saat nasi dan lauk diletakkan di atasnya.
            Aku lalu mengelap daun-daun itu. Tak lama kemudian, pekerjaanku selesai. Daun-daun pisang itu sudah berjejer manis di sepanjang koridor sekolah. Aku memandang puas hasil kerjaku. Kulirik jam di pergelangan tanganku. Pukul 18.00. Setengah jam lagi, waktu berbuka akan tiba. Jadi sebaiknya aku mulai meletakkan nasi dan lauknya di atas daun pisang ini. Aku berdiri dan segera menghampiri Tek Ayu yang sedang memasak.
            “Tek, daun sudah kususun tuh. Nasinya mau diletakkan sekarang nggak?” tanyaku.
            “Boleh. Bilang sama Uda Budi ya. Biar dia mengangkat keranjang nasi ke sana,” sahut Tek Ayu. Aku mengangguk. Bergegas kutemui Uda Budi yang sudah selesai menyalin nasi ke keranjang.
            “Uda Budi, daunnya sudah rapi. Nasinya mau diletakkan sekarang kan?” tanyaku hati-hati.
            “Oh oke,” sahut Uda Budi, ketua karang taruna desa ini. Dia  mengajak salah satu temannya untuk mengangkat keranjang nasi. Mereka bergegas menuju tikar dan daun yang sudah kusiapkan. Aku mengikutinya dari belakang.
            Ketika sampai di tempat daun yang kujejerkan tadi, tiba-tiba Uda Budi terdiam
            “Siapa yang menata daun ini?” gumamnya.
            “Aku, Da,” sahutku bangga.
            “Oh, Nelfi ya?” ujarnya tersenyum. Lalu sesaat kemudian Uda Budi dan temannya terbahak. Suara tawa mereka membuat beberapa orang lainnya menghentikan kegiatan mereka dan menatap Uda Budi. Aku jadi bingung.
            “Kenapa?” Tanya Tek Ayu menghampiri kami. Lalu uda Budi menunjuk daun yang sudah kutata. Tek Ayu menatap daun itu. Lalu dia pun tertawa. Aku mulai tidak enak hati. Ada apa dengan daun-daun itu? Apanya yang lucu?
            “Aduh Nel! Bagaimana mau meletakkan nasi di sini? Harusnya kamu buang dulu tulang daun ini!” ujar Tek Ayu sambil menunjuk tonjolan di tengah daun pisang yang kutata tadi.
            “Oh… pantesan aku tadi merasa ada yang salah dengan daun ini,” gumamku dengan muka merah. “Maafkan aku ya Tek. Aku akan potong tulang daun ini,” ujarku dengan sangat malu. Rasanya semua mata memandangku dengan pandangan jahil. Entah di mana akan kusimpan mukaku ini. Tapi aku harus bertanggung jawab dengan pekerjaanku. Segera kupotong tulang daun pisang itu dengan tangan gemetar. Gemetar menahan malu dan mungkin juga menahan lapar. []

FF 597 kata

2 comments:

Terima kasih sudah berkunjung. ^_^