“Rudi, bantu ibu
untuk berkemas yuk,” pinta Ibu pagi itu. Walau aku anak ke empat dari delapan
bersaudara. Bapakku Alwi Abdul Jalil Habibie dan ibuku R.A. Tuti Marini
Puspowardojo. Mereka sangat menyayangi kami anak-anaknya. Dalam beberapa hal,
mereka berdua kurasa sangat menyayangiku. Mungkin karena aku anak laki-laki
pertama dalam keluargaku.
“Berkemas? Kita akan ke mana Bu?”
tanyaku bingung.
“Kita akan pindah dari Pare-pare Nak.
Insyaallah dalam pekan ini, kita pindah ke Larrae’,” sahut Ibu. Aku bingung
mendengar perkataan ibu ini. Kenapa kami harus pindah? Tapi aku tidak berani
bertanya lebih banyak. Kulihat Ibu diam, itu artinya pasti ada sesuatu yang
dipikirkan Ibu.
Aku berpikir, mungkinkah kami pindah
ke Larrae’ karena situasi di Pare-pare yang akhir-akhir ini begitu mencekam?
Entahlah. Saat ini, tentara Jepang sudah sampai di kota kelahiranku. Kurasa,
pasti karena itu kami terpaksa pindah dari kota kelahiranku ini.
Sebagai seorang anak, aku harus berusaha
membuat ibu dan ayahku tidak banyak pikiran. Aku pun mengikuti perintah Ibu.
Aku bersama saudaraku mengemasi barang-barang kami. Buku-buku yang dibelikan
ayahku, kusatukan ke dalam kardus. Lalu aku membantu kakakku mengemasi barang
lain.
Pada hari yang sudah ditentukan,
keluarga kami pun pindah ke desa Larrae’, kecamatan Palaro, kabupaten Barru.
Aku memulai kehidupan baru dan berkenalan dengan teman-teman baru di sana. Saat
itu usiaku enam tahun.
Tak sulit bagiku untuk beradaptasi.
Karena aku memang suka sekali berteman. Teman-teman baruku sangat baik. Mereka
mengajakku main di sungai
“Kamu bisa berenang kan Rudi?” tanya
mereka suatu hari. Teman-teman, orangtua dan saudaraku memanggil Rudi jika
menyebut namaku. Mereka memanggilku dengan panggilan Rudi karena namaku adalah
Baharuddin Jusuf Habibie. Aku lahir di Pare-pare, Sulawesi Selatan pada tanggal
25 Juni 1036. Waktu itu negara Indonesia, termasuk kota kelahiranku dijajah
oleh Belanda.
“Tentu saja aku bisa berenang,”
sahutku bersemangat. Akhirnya, kami pun berenang di kali yang tak jauh dari
rumah kami. Rasanya seru balapan renang bersama teman-temanku di tempat tinggal
baru ini.
Kurasa hari-hariku di Larrae’ sama
saja dengan di Pare-pare. Aku sekolah, bermain bersama teman-teman, mengaji, membantu
ibu, membaca dan melakukan kegiatan lainnya. Salah satu kesukaanku adalah
balapan kuda. Aku mempunyai seekor kuda hitam yang kupanggil dengan La Bolong. Setiap
bertanding, aku ditemani kuda hitamku itu. La Bolong sangat cepat. Aku sangat
menyayanginya.
“Ayo Rudi!” demikian pekikan
orang-orang menyemangatiku ketika di arena balapan kuda. Aku semakin bersemangat memacu kudaku. Kususul
beberapa kuda yang tadi mendahuluiku. Saat ini aku sedang ikut pacuan kuda. Aku
memang sangat suka berkuda. Seringkali aku memenangkan balapan kuda ini.
“Ayo La Bolong, kita menangkan lagi
pertandingan ini!” seruku pada La Bolong sambil mengusap lehernya yang panjang.
La Bolong mengerti dengan permintaanku. Dia pun memacu larinya lebih kencang.
Kami sudah jauh meninggalkan kuda-kuda yang lain.
“Sedikit lagi kita akan menang La
Bolong,” seruku bersemangat. Di ujung sana, garis finish sudah terlihat. La
Bolong berlari bagai angin. Dan kami pun akhirnya memenangkan pacuan kuda ini.
“Hebat La Bolong! Kita berhasil,”
ucapku sambil membelai surai La Bolong. Kulihat ayah menghampiriku.
“Bagus Rudi! Kamu menang lagi!” ayah
merentangkan tangannya. Beliau berusaha membantuku untuk turun dari punggun La
Bolong. Sebenarnya aku bisa turun sendiri, tapi, ini hanya sebagai ucapan
selamat dari ayahku. Aku segera membalas pelukan ayah untuk turun dari punggu
La Bolong.
“Apa cita-citamu setelah besar nanti,
Nak?” tanya Ayah ketika kami berjalan menuju tempat pengambilan hadiah.
“Saya mau jadi insinyur Yah,”
sahutku mantap. Beberapa hari lalu kulihat seorang insinyur bertugas di kotaku.
Aku bertanya pada ayah tentang pekerjaan insinyur itu. Ayah menjelaskan padaku,
bahwa insinyur bisa membuat bangunan dan mesin.
“Insinyur yang datang ke kota kita
itu, bisa juga membuat jembatan besar yang melintasi sungai besar untuk
menghubungkan dua desa.” Demikian jawaban ayah waktu itu. sejak itu, aku
bercita-cita akan menjadi insinyur. Akuingin belajar cara membuat jembatan
besar itu.
“Bagus! Ayah senang, jika kelak kamu
berhasil menjadi insinyur. Belajarlah yang rajin ya Nak,” ayah menepuk lembut
pundakku sambil terus berjalan. Aku mengangguk.
“Ayo kita pulang. Ibumu sudah
menyiapkan makanan kesukaanmu di rumah,” ajak Ayah, ketika hadiah balapan kuda
sudah berada di tanganku.
Kami berjalan menuju rumah sambil
memegang tali kekang La Bolong. Sepanjang jalan aku bertanya banyak hal pada
ayahku. Ini salah satu kebiasaanku, suka bertanya hal-hal yang tidak
kumengerti. Aku juga ingin tahu semua
hal. Ayahku selalu bisa menjawab pertanyaanku.
Tapi jika beliau tidak bisa menjawab
pertanyaanku, pasti beliau akan membawakan buku dan memintaku untuk membaca
buku itu. Sejak ayahku membelikan buku, aku jadi suka membaca. Membaca buku,
benar-benar membuatku mengetahui seluruh isi dunia.
“Kamu menang lagi Nak,” tebak ibu
sambil tersenyum begitu kami sampai di rumah. Aku tersenyum bangga sambil
memperlihatkan hadiahku pada ibu.
“Ayo makan! Ada bubur Manado
kesukaanmu di meja makan,” ajak Ibu.
“Asyik!” aku bergegas ke meja makan.
Tentunya, aku sudah membersihkan badanku terlebih dahulu di kamar mandi.
“Wah, ada Barangko dan Sokko juga!”
pekikku senang. Di meja makan kulihat hampir semua makanan kesukaanku tersedia.
Aku melahap bubur Manado dengan ikan asin hingga mangkukku licin.
Ibuku memang sangat mengerti dengan
makanan kesukaan anak-anaknya. Setiap pagi, sebelum berangkat sekolah, kami
sarapan dulu. Beliau kadang menyiapkan nasi goreng atau roti untuk sarapan
kami. Aku terlahir dari keluarga besar. Ada 5 jumlah saudaraku. Dua kakakku
perempuan, lalu aku, adikku Fanni dan adik perempuanku.
Diantara mereka, mungkin aku yang
paling jarang main bersama teman-temanku. Aku lebih suka menghabiskan waktu
dengan membaca. Tapi bukan berarti aku tidak mau bermain. Jika ada teman yang
mengajakku bermain layangan, gundu, mallogo
dan lainnya, aku pasti ikut.
Aku tidak suka menyendiri. Kecuali
saat membaca. Suatu hari ada teman yang menggangguku. Sebenarnya, aku tidak mau
menyakiti siapa pun. Karena aku tidak suka berkelahi. Tapi jika ada yang
tiba-tiba menyerangku, pasti aku akan berusaha membela diri. Seperti yang
pernah kualami. Seorang anak menyerangku, entah karena apa. Aku berusaha
menghindar. Tapi dia terus saja menyerangku.
“Saya tidak mau berkelahi!” ujarku
pada anak bertubuh besar itu. Tapi anak itu masih saja berniat menyerangku. Aku
bersiap membela diri. Kuperhatikam sekitarku untuk membela diri. Kulihat banyak
pasir di dekatku. Saat anak itu lengah,
kuambil segenggam pasir dan kulempar pasir itu ke mukanya. Mata anak itu
terkena pasir. Ada rasa kasihan menyelinap di hatiku. Aku pun minta maaf dan
kami pun berteman.
Di lain hari, ketika aku dan Fanni,
adikku sedang berjalan, kami di hadang
segerombolan anak lain. Kami pun membela diri bersama. Untungnya Fanni sangat
pemberani, jadi kami bisa membela diri dari kenakalan anak-anak itu. Kami
memang beda usia, tapi badan Fanni hampir sama dengan badanku. Bahkan orang
berpikir kami kembar. Tapi sebenarnya sifat kami tidak begitu sama. Hanya wajah
kami saja yang mirip.
Kegiatanku sore hari, adalah belajar
mengaji pada bapak guru Hasan Alamudi, atau Kapitan Arab. Ayah mewajibkan kami
mengaji setiap hari. Hebatnya, bapak guruku tidak diupah dengan uang. Kami
cukup menimba air dan mencari kayu bakar untuk beliau. Jadi aku sudah terpbiasa
menimba air untuk keperluan sehari-hari guruku itu.
Hingga suatu hari ketika aku sudah
duduk di bangku sekolah setingkat SMP, aku mengalami hari yang paling
menyakitkan dalam hidupku. Selesai shalat isya, ayahku, tiba-tiba sesak napas.
Beliau mengeluh dadanya sakit sekali. Kakakku terkejut melihat wajah ayah yang
pucat. demikian juga denganku dan ibuku. Kami panik. Aku hanya bisa mematung
bingung menyaksikan ayahku yang kesakitan seperti itu.
“Aku harus segera mencari dokter,”
ujar kakakku sambil berlari keluar rumah. Beliau masih menangis. Kulihat ayah
makin pucat, aku membantu ibu memabtu ibu membawa ayah ke tempat tidur. aku
sangat sedih karena tidak bisa melakukan apa pun. Kami semua anak-anaknya mulai
menangis memanggil ayah yang terlihat sangat kesakitan.
Kulihat, tangan ayah udah terkulai
lemah. “Apakah ayah pingsan?” demikian pikiran yang terlintas dalam kepalaku.
Ibuku masih menangis di samping ayah.
Beberapa waktu kemudian, kakakku
datang bersama dokter. Beliau memeriksa ayahku. Wajah dokter itu menegang. Lalu
sedih setelah meraba nadi ayahku.
“Innalillahi wainna ilaihi rajiuun,”
ucap dokter itu lirih. “Ayah kalian sudah kembali ke pada tuhannya dengan
tenang.” Tambahnya.
Kami semua menangis tak percaya.
Rasanya baru kemarin aku bertanya banyak hal pada ayahku. Baru kemarin beliau
menjawab semua pertanyaanku. Baru kemarin beliau membeliaknku buku-buku, untuk
menjawab semua pertanyaanku. Malam ini, beliau sudah kembali pada Allah, Sang
Pemilik jiwa.
Air mataku tak bisa kuhentikan.
Mengalir bagai air sungai dengan diiringi isakan. Aku tidak pernah menangis.
Tapi kali ini, entah mengapa, air mata itu tidak bisa berhenti. Insyaallah, aku
akan menjaga keluarga ini Yah, janjiku dalam hati. Aku adalah anak laki-laki
pertama dalam keluargaku. Saat ini semua tanggung jawab kepala keluarga sudah
berpindah padaku.
“Ya Allah... beri saya kekuatan
untuk melaksanakan tugas yang Engkau berikan pada saya.” Hanya doa yang selalu
kuucapkan di setiap shalatku. [NS]
* dari berbagai sumber
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. ^_^