Sore itu aku dan
beberapa anggota karang taruna desa sedang sibuk mempersiapkan acara buka puasa
bersama. Seperti tahun sebelumnya, kami mengadakan acara buka bersama dengan
memasak sendiri makanan untuk berbuka. Aku sebenarnya hanya pendatang di desa
ini. Karena sehari-hari aku tinggal di kota Bukittinggi. Aku datang ke desa ini
karena desa ini adalah tempat tinggal nenekku.
Setiap minggu, aku mengunjungi beliau. Walau hanya
sesekali aku ke sini, tapi masyarakat desa ini cukup mengenalku. Jadi mereka juga sering mengajakku terlibat dalam
kegiatan yang mereka lakukan.
“Apalagi yang mau dikerjakan Tek Ayu?” tanyaku setelah
semua bahan masakan selesai disiapkan. Aku baru saja selesai memotong sayur dan
mengupas bumbu untuk dihaluskan.
“Kayaknya sudah semua,” ucap Tek Ayu, salah satu pengurus
karang taruna. Dia terlihat serius mengaduk sepanci besar ayam gulai yang sudah
hampir matang.
Di sudut lain, kulihat beberapa anggota karang taruna
cowok sedang menyalin nasi yang sudah matang. Halaman Sekolah Dasar yang
terletak di depan masjid ini, sudah berubah menjadi dapur umum. Sungguh pengalaman
yang sangat mengesankan setiap tahunnya. Apalagi, ini tahun pertamaku untuk
terlibat langsung dalam proses memasak dan meyiapkan hidangan buka puasa ini.
Tahun lalu, mereka memintaku untuk merapikan tikar di
masjid. Jadi, betapa senangnya aku mendapat kehormatan ini.
“Kamu rapikan daun aja ya Nel. Susun memanjang di atas
tikar itu. Jangan lupa dilap dulu ya!” perintah Tek Ayu.
“Oke,” sahutku bersemangat. Aku pun segera mengambil daun
pisang yang disandarkan ke dinding salah satu kelas di SD ini. Ada puluhan daun
pisang berjejer di sana. Daun pisang itu sudah dilayukan dengan meletakkannya
sebentar di atas nyala api, agar tidak robek saat nasi dan lauk diletakkan di
atasnya.
Aku lalu mengelap daun-daun itu. Tak lama kemudian,
pekerjaanku selesai. Daun-daun pisang itu sudah berjejer manis di sepanjang
koridor sekolah. Aku memandang puas hasil kerjaku. Kulirik jam di pergelangan
tanganku. Pukul 18.00. Setengah jam lagi, waktu berbuka akan tiba. Jadi sebaiknya
aku mulai meletakkan nasi dan lauknya di atas daun pisang ini. Aku berdiri dan
segera menghampiri Tek Ayu yang sedang memasak.
“Tek, daun sudah kususun tuh. Nasinya mau diletakkan
sekarang nggak?” tanyaku.
“Boleh. Bilang sama Uda Budi ya. Biar dia mengangkat
keranjang nasi ke sana,” sahut Tek Ayu. Aku mengangguk. Bergegas kutemui Uda
Budi yang sudah selesai menyalin nasi ke keranjang.
“Uda Budi, daunnya sudah rapi. Nasinya mau diletakkan
sekarang kan?” tanyaku hati-hati.
“Oh oke,” sahut Uda Budi, ketua karang taruna desa ini. Dia
mengajak salah satu temannya untuk
mengangkat keranjang nasi. Mereka bergegas menuju tikar dan daun yang sudah
kusiapkan. Aku mengikutinya dari belakang.
Ketika sampai di tempat daun yang kujejerkan tadi, tiba-tiba
Uda Budi terdiam
“Siapa yang menata daun ini?” gumamnya.
“Aku, Da,” sahutku bangga.
“Oh, Nelfi ya?” ujarnya tersenyum. Lalu sesaat kemudian
Uda Budi dan temannya terbahak. Suara tawa mereka membuat beberapa orang
lainnya menghentikan kegiatan mereka dan menatap Uda Budi. Aku jadi bingung.
“Kenapa?” Tanya Tek Ayu menghampiri kami. Lalu uda Budi
menunjuk daun yang sudah kutata. Tek Ayu menatap daun itu. Lalu dia pun
tertawa. Aku mulai tidak enak hati. Ada apa dengan daun-daun itu? Apanya yang
lucu?
“Aduh Nel! Bagaimana mau meletakkan nasi di sini? Harusnya
kamu buang dulu tulang daun ini!” ujar Tek Ayu sambil menunjuk tonjolan di
tengah daun pisang yang kutata tadi.
“Oh… pantesan aku tadi merasa ada yang salah dengan daun
ini,” gumamku dengan muka merah. “Maafkan aku ya Tek. Aku akan potong tulang
daun ini,” ujarku dengan sangat malu. Rasanya semua mata memandangku dengan
pandangan jahil. Entah di mana akan kusimpan mukaku ini. Tapi aku harus
bertanggung jawab dengan pekerjaanku. Segera kupotong tulang daun pisang itu
dengan tangan gemetar. Gemetar menahan malu dan mungkin juga menahan lapar. []
FF 597 kata
sekarang jadi lebih tau ya mbak
ReplyDeletebetul mbak Lidya. hehehe.... ^_^
ReplyDelete