Tidak ada yang perlu ditakutkan, gumamku dalam hati. Aku mempercepat langkah. Koridor menuju ruang internis terasa makin jauh dari biasanya. Entah kenapa, malam ini, perasaanku dihantui rasa takut. Apalagi gerimis yang membasahi Bukittinggi, kotaku, semakin membuat suasana terasa mencekam. Padahal saat ini masih pukul 11.00 malam.
Tok... tok... tok... suara sepatuku memecah kesunyian malam. Angin malam yang cukup kencang kembali menampar tubuhku. Seiring kepergian angin itu, aku mencium aroma kembang sedap malam. Bulu halus di tengkukku berdiri. Setahuku, tidak ada kembang sedap malam yang ditanam disekitar koridor ini. Ah sudahlah, jangan berpikiran macam-macam Nia. Aku memaksa diri untuk menghilangkan rasa takut. Untunglah dua menit kemudian aku sampai di ruang internis. Suasana sepi masih melingkupi ruangan ini. Sepertinya semua pasien sudah tertidur pulas. Aku masuk ke ruang perawat. Ruang perawat juga terlihat sepi. Kulihat hanya satu suster yang sedang sibuk menulis laporan.
“Bagaimana dengan tekanan darah Pak Haryadi?” tanyaku pada suster yang terlihat asyik menulis laporannya. Suster itu menghentikan pekerjaannya, dan menatapku.
“Masih tujuh puluh per lima puluh dokter,” sahutnya sambil berdiri. Dia mengambil medical record milik Tn Haryadi. Aku tidak mengenal suster ini. Mungkin suster baru, batinku. Aku tidak bisa berkenalan dengannya saat ini. Mungkin nanti setelah memeriksa Tn Haryadi.
“Ayo kita lihat suster,” ajakku. Aku tidak tahu namanya, karena tidak ada name tag di dadanya. Suster baru itu segera mengikutiku dengan membawa stateoskop dan tensi meter. Kamar Tn. Haryadi terletak persis di depan ruang perawat. Suster baru itu membuka pintu kamar dan masuk ke dalamnya. Aku mengiringi langkahnya. Begitu masuk kamar, kulihat istri Tn Haryadi sedang memegang tangan suaminya dengan raut wajah cemas.
“Selamat malam Bu, saya Dokter Nia, dokter jaga malam ini. Saya mau memeriksa bapak dulu ya Bu,” ujarku memperkenalkan diri. Ibu Haryadi tersenyum sambil mengangguk. Aku menghampiri Tn Haryadi.
Tn Haryadi terlihat tidur dengan gelisah. Kesadarannya masih ada, jadi aku belum bisa memindahkannya ke ruang ICU. Menurut rekan sejawatku yang jaga siang tadi, tekanan darah Tn Haryadi tadi siang, baik-baik saja. Baru mulai drop sore tadi. Ditambah perdarahan dari lambungnya yang masih ada. Sehingga dia masih menjalani transfusi darah karena HB-nya rendah.
Kadar HB rendah ini juga bisa menjadi penyebab tekanan darahnya turun. Aku bergegas mengukur tekanan darah pasienku. Benar saja, tekanan darahnya masih 70/50 mmhg. Kuukur denyut nadinya. Walau agak lemah, denyut nadi itu berdetak cepat. Sekitar 100 kali permenit. Nafasnya pun terlihat tersengal walau sudah menggunakan oksigen tambahan.
“Kasih Dopamin ya,” perintahku pada suster baru. “Berapa beratnya?” tanyaku lagi. Suster baru buru-buru membuka medical record Tn Haryadi.
“Enam puluh kilo dokter,” sahutnya. Aku langsung memintanya memberikan obat penaik tekanan darah itu sesuai takaran berat badan pasienku.
“Berapa kali hari ini Pak Haryadi BAB?” tanyaku lagi. Suster baru itu melihat kembali ke medical recordnya.
“Tiga kali dokter.”
“Masih cair dan berwarna hitam?” tanyaku lagi.
“Masih.”
“Ya sudah, masukkan Dopaminnya menggunakan Syiring Pump aja ya,” pintaku. Aku pun pamit pada istri Tn Haryadi.
Aku segera mencuci tanganku di wastafel begitu selesai memeriksa Tn Haryadi. Lalu kembali ke ruang perawat untuk membubuhkan instruksiku tadi di medical recordTn Haryadi. Tak kulihat suster baru di ruangan itu. Mungkin sedang minum di belakang, batinku.
“Dokter Nia sudah datang, ayo kita periksa Pak Haryadi,” ajak suster Silvi yang tiba-tiba datang dari arah kamar pasien lain.
“Sudah dari tadi kali, jeng,” sahutku sambil tertawa kecil. Aku membuka medical record Tn Haryadi dan mencatat insruksiku tadi di lembar dokter.
“Loh, kok nggak manggil saya?” kata suster Silvi bingung dan sedikit kecewa.
“Saya nggak melihat kamu tadi. Jadi sama suster baru itu saja. Toh sama saja kan?” ucapku enteng.
“Suster baru? Suster baru yang mana Dok? Nggak ada suster baru di sini,” sahut Suster Silvi dengan wajah pucat. Mendengar penjelas suster Silvi, kontan membuatku terlonjak kaget bercampur takut.
“Masa sih! Jangan nakutin ah Silvi,” ucapku gugup.
“Benar dokter. Saya jaga malam berdua sama Reni. Tadi saya di kamar 309, mengganti infus. Reni ke apotik, mengambil obat untuk pasien lain,” sahut suster Silvi meyakinkanku.
“MasyaAllah... ,” gumamku dengan wajah pucat. Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya untuk mengurangi rasa terkejutku. Perasaan takut dan merinding menghampiriku. Mungkin kamu mengantuk Nia, jadi kamu pikir ada suster baru di sini, batinku berusaha menenangkan diri.
“Jadi apa yang harus saya kerjakan nih?” pertanyaan suster Silvi membuyarkan lamunanku.
“Pasang Dopamin dengan syiring pump,” gumamku lemah. Aku bergegas menyelesaikan instruksiku di lembar dokter. Kulihat Suster Silvi membaca instruksiku setelah mengambil syiring pump di ruang tindakan keperawatan. Lalu dia mengambil dopamin di laci obat. Selanjutnya tanpa banyak bertanya, dia segera masuk ke kamar Tn Haryadi untuk memasang syiring pump. Tidak terlihat kesan takut di wajahnya. Sepertinya dia sudah sangat terbiasa dengan hal ini.
Benarkah tadi aku ditemani suster dari dunia lain? Wallahu’alam. Membasahi lidahku dengan zikir adalah satu-satunya cara yang bisa kulakukan untuk mengurangi rasa shock-ku.
***
Catatan : Dopamin à obat injeksi untuk menaikkan tekanan darah.
Syiring Pump à alat elektrik untuk memasukkan obat ke tubuh pasien
melalui selang infus.
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. ^_^