Selesai sudah ulangan semester kali ini. Aku bergegas menuju kamarku dan mengempaskan badanku di atas kasur. Teman-temanku yang lain menyusulku di belakang. Beberapa temanku yang lain sudah masuk kamar lebih dulu.
“Merdeka!” teriak mereka satu persatu ketika masuk kamar.(Kayak abis perang aja) Kami tinggal di asrama. Satu kamar berukuran 12 x 6 Meter ini terdapat 10 tempat tidur bertingkat. Di dinding sebelah kiri terdapat dua puluh pintu lemari berukuran 1,5 x 1x 0,5 Meter, menjulang hingga ke langit-langit kamar. Panjang lemari nyaris mendekati pintu kamar kami.
“Kita harus merayakan hari ini nih!” ujar Nila sambil melepas jilbabnya. Rasanya ujian hari ini cukup membuat kepala kami berasap. (Kompor kaliiii berasap :P)
“Ayo! Kita main truth or dare aja yuk!” usulku buru-buru duduk. Suzi, Meli, Oce, Iles dan Nila menghampiriku.
“Ayo!” seru mereka kompak. Konco dekatku itu sudah melepas jilbab mereka masing-masing. Aku ikut melepas jilbab. Lalu aku berjalan menuju lemari. Aku mengambil buku dan pulpen. Kami juga menyimpan buku-buku di sana.
“Oke, aku bikin dulu ya. Ada yang mau main lagi nggak?” teriakku ke seantaro kamar. Aku melepaskan pandangan mataku ke semua tempat tidur. beberap temanku sudah ada yang terlelap atau sengaja pura-pura tidur. atau mungkin sedang mengkhayal tentang pacar mereka.
“Hoi! Ada yang mau ikutan nggak?” Teriak Suzi dengan suara cemprengnya mengulangi pertanyaanku. Tak ada yang menyahut.
“Kita main berenam aja.” Putusnya. Kami pun mengangguk setuju. Nila, Suzi dan Oce duduk di kasur Suzi. Aku, Iles dan Meli duduk di kasurku. Kami terlihat serius menunggu permainan ini dimulai. (Eaaa... seriuuuus :P)
Aku mulai menulis tulisan truth di kertas sebanyak 3 buah. Lalu kubuat juga dare 3 buah lagi di kertas yang lain. Aku menggunting kertas-kertas itu dengan ukuran sama besar.
“Ayo kita mulai!” aku selesai membuat lintingan 6 buah kertas itu. Lalu bak emak-emak pejabat yang akan mengundi arisan, aku memasukkan lintingan itu ke dalam gelas. Selanjutnya menutup gelas itu dengan kertas yang lebih besar dan mengikatnya menggunakan karet gelang.
“Kita suit dulu deh.” Ajak Nila. Kami pun menurut. Kami menyodorkan tangan kanan masing-masing.
“Gambreng!”
“Suzi duluan!” teriak kami serentak. Sudah terbayang apa yang akan kami lakukan pada Suzi. Suzi terlihat pias. Wajahnya pucat. Keringat dingin mengalir di jidatnya. (Emang abis ngliat hantu? :P) Sepertinya dia tidak siap jika harus melakukan suatu hal yang menguji keberaniannya atau membuka aibnya. Tapi siapa yang peduli. Pegitulah permainan ini. Games yang dibuat sedemikian rupa agar kalian jujur, berani dan malu-maluin.
Aku mengocok lintingan kertas. Lalu kutuang kocokan itu. satu lintingan kertas keluar. Oce buru-buru mengambil lintingan dan membukanya. “Truth!” teriaknya bersemangat. Kami semua menyeringai. Suzi makin pias. Sesaat kemudian pertanyaan pun muncul dari mulut kami bagaikan petasan banting.
“Pacar lu sekarang siapa Zi?” serang Nila. Nila memang paling hobi mengorek dan mencari tahu nama pacar teman-temanku. Doi selalu minta dikenalin pada pacar kami.
“Masih yang dulu. Lu kan udah tahu.”
“Kayaknya lu punya gebetan baru deh.” Kali ini Oce yang nanya.
“Nggak ada. Ah pertanyaan lu semua basi ah. Yang lain dong!” tantang Suzi. Kayaknya temanku ini sudah merasa di atas awan, karena dia tidak perlu memberikan jawaban yang paling tidak mau dijawabnya. Dalam hatinya selalu berdoa agar aku dan teman-temanku tidak menanyakan satu hal itu padanya. Hal yang selalu disembunyikannya pada semua orang.
“Kemarin gua kehilangan tape rekorder, lu lihat nggak siapa yang ngambil?” tanyaku polos.
“Eaaaa... Ratuuuu... “ jitakan teman-temanku mendarat mulus di kepalaku. Aku meringis sambil nyengir.
“Kan aku cuman nanya. Kalo Suzi nggak tahu juga nggak apa-apa.”
“Kita udah ngebahas itu kemareeen. Masa lu nanya begitu lagi di games ini.” Meli mencubit gemas pipi chubby-ku. “Giliran gua yang nanya. Lu tadi pagi buang pembalut di mana Zi?”
“Hah! Lu kok nanya kayak gitu sih. Ya di tong sampah lah!” sahut Suzi dongkol. Sepertinya kesal banget ditanya pertanyaan nggak penting kayak gitu. Jitakan teman-temanku pun mendarat manis di jidat Meli.
“Ah, gua cuman nanya. Secara gua yang piket hari ini. Tadi pagi gua nyaris nggak bisa masuk kelas, gegara ada pembalut yang ngegeletak manis di kamar mandi. Gua disuruh Bu Ira buangin ntu pembalut ke tong sampah.” Jelas Meli jengkel. Bu Ira, guru asrama kami memang terkenal galak dan disiplin luar biasa.
Tak jarang kami membuat Bu Ira kebingungan dengan tingkah kami. Kami sering mendapat hukuman hormat jemuran selama setengah jam jika sudah melakukan kesalahan kecil. Kalau kesalahannya besar, seperti membolos, maka hukumannya lebih parah. Kami harus menyiapkan makan siang semua guru tiap hari.
Kalau kalian pikir menyiapkan makan siang itu gampang, kalian salah besar. Menyiapkan makan siang guru, khususnya untuk Bu Wardah, merupakan tantangan paling susah. Kalian harus meletakkan sendok dan garpu di sebelah kanan piring. Gelas berisi air putih di sebelah kiri piring. Mangkok berisi nasi tepat di depan piring. Mangkok lauk di depan sendok dan garpu. Mangkok sayur di depan gelas. Dan selusin aturan lainnya. Kalau kutulis di sini pasti nggak akan cukup.
Jika ada yang salah meletakkan barang-barang itu, maka hukuman berikutnya sudah menanti. Membersihkan semua kamar mandi yang ada di asrama. Hiiiiyyyy jijai deh.
“Sekarang giliran gua. Kemarin waktu pacar lu datang, dia bawa apa Zi?” tanya Iles. Iles memang selalu ingin tahu tentang barang bawaan tamu kami. Pikirnya kalau makanan kan bisa dibagi dan dimakan rame-rame.
“Sekarang giliran gua. Kemarin waktu pacar lu datang, dia bawa apa Zi?” tanya Iles. Iles memang selalu ingin tahu tentang barang bawaan tamu kami. Pikirnya kalau makanan kan bisa dibagi dan dimakan rame-rame.
“Nggak bawa apa-apa. Cuman bawa cinta dan hatinya untukku,” ujar Suzi sumringah. Gayanya bak putri raja yang baru saja bertemu pangerannya. Matanya bersinar membayangkan sang pujaan hati. Senyumnya merekah seolah pangerannya ada di depan matanya.
“Eaaa... makan tuh cinta!” Meli melempar bantal ke Suzi biar tuh anak sadar, saat ini dia sedang di kamar bersama teman-temannya.
“Yeee... nggak kena!” Suzi berkelit. Perang bantal pun hampir terjadi. Beberapa temanku yang sedang tiduran di kasur mereka masing-masing menatap dongkol pada kami.
“Ayo kita lanjutin lagi,” ajak Iles. Kami berlima gambreng lagi untuk menentukan peserta berikutnya.
“Ratu!” teriak teman-temanku ketika aku kalah gambreng. Iles langsung mengocok lintingan kertas di gelas. Selanjutnya bisa ditebak, kertas lintingan yang keluar dari gelas buru-buru diambil Oce.
“Dare!” teriak Oce girang. Senyum penuh misteri terlukis di wajahnya.
“Gini aja, kita kompakan aja meminta Ratu melakukan sesuatu. Hanya satu tantangan, setelah itu kita lanjutkan gamesnya gimana?” tanya Nila. Ah tentu saja aku senang. Jika hanya satu tantangan, aku pasti berani melakukannya.
“Ah, nggak seru, tadi aku ditanya lima orang, masa Ratu cuma dikasih satu tantangan?” sahut Suzi kesal. Nila, Iles, Meli dan Oce segera meraih pundak Suzi, mereka membisikkan sesuatu pada Suzi. Aku menangkap ada aroma pengkhiatan di sini. Kenapa mereka bisik-bisik di depanku?
“Woi! Kenapa kalian bisik-bisik?” aku ikut merapat. Tapi sayangnya mereka sudah selesai dengan rencana mereka.
“Oke, kita sepakat Lu, ngerjain satu tantangan aja.” Ucap Iles dengan nada misterius.
“Asyik! Oke! Apa tantangannya?” aku senang ternyata mereka kompak menyayangiku dengan memberikan satu tantangan.
“Gini tantangannya, lu masuk ke kamar Bu Ira, trus lu ambil Ipod gua yang disita Bu Ira kemarin. Gampang kan?” sahut Nila dengan wajah polos.
“Hah! Yang bener aja Lu! Masa gua disuruh ngambil Ipod Lu! Bisa mati gua dihukum bersihin kamar mandi se asrama!” Aku bergidik membayangkan hukuman yang akan kuterima.
“Nggak mungkinlah... Bu Ira kan sayang sama Lu. Lu tinggal bilang aja kalau Ipod itu milik Lu yang gua pinjem. Beres kan?”
“Nggak bisa begitu juga. Meski pun Bu Ira sayang sama Gua, tapi dia tahu , kalau Ipod itu punya Lu,” aku makin bingung. Tantangan seperti ini tak pernah terlintas dalam pikiranku. Kupikir mereka benar-benar menyayangiku dengan memberi satu tantangan saja. Taunya tantangan gila ini mengalahkan seribu tantangan yang pernah mereka berikan padaku. Huft! Mau tak mau aku harus melakukan tantangan ini jika aku tidak mau dibilang pengecut.
“Oke, aku akan ke kamar Bu Ira. Tapi aku tidak bisa menjamin kalau Ipod itu akan kembali.” Putusku berusaha tegar.
“Nah gitu dong. Yang penting Lu udah nyoba dear,” Iles membelai punggungku seolah memberi semangat. Aku makin dongkol. Aku mengenakan jilbabku lagi dengan mulut manyum dua senti. Lalu berjalan menuju kamar Bu Ira yang terletak di dekat gerbang asrama. Lima temanku membuntutiku sampai di taman asrama. Setelah itu mereka bersembunyi dan melihatku dari kejauhan.
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. ^_^