Siapa nama gebetan, lo?” tanya Rani antusias padaku.
“Ryan,” jawabku singkat. Saat itu kami sedang menikmati sore di kamar asrama. Aku adalah salah satu siswa di sekolah perawat kesehatan. Kami memang tinggal di asrama untuk mempermudah belajar. Karena kegiatan sekolah kami yang sangat padat.
Sore itu aku dan Rani teman satu bed-ku sedang ngerumpi tentang gebetan kami ketika kami di SMP dulu.
“Trus, kenapa lo nggak jadian sama dia?”
“Dia sudah punya pacar.” Aku merapikan buku-bukuku. Ryan yang kusukai memang sudah memiliki kekasih. Dialah salah satu alasan kenapa aku memilih melanjutkan sekolah di SPK ini. Aku tidak ingin melihatnya lagi. Aku sengaja menghindarinya agar aku bisa melupakannya. Apa enaknya menyukai seseorang dengan cara seperti ini? Bertepuk sebelah tangan? Mungkin begitulah pepatah yangtepat untuk kisahku.
Lagi pula mungkin lebih baik begini. Aku bisa melanjutkan sekolahku dan menggapai cita-citaku tanpa harus memikirkan seorang cowok.
“Sekarang dia di mana?” tanya Rani lagi.
“Masih di sekolahnya lah.”
“Iya. Maksudku, sekolahnya di mana? Mau kubantu untuk merebutnya dari pacarnya nggak?” Rani menatapku bersemangat.
Aku mengernyitkan dahi mendengar perkataan Rani. Merebut Ryan dan pacarnya? Bagaimana caranya? Apa aku setega itu? Eh tapi asyik juga kali ya? Kami sudah dua tahun terpisah. Siapa tahu dia sudah putus dengan pacarnya. Apalagi aku pernah melihat Ryan mencariku ke asrama waktu aku masih kelas satu dulu. Saat itu aku tidak berani menemuinya karena aku masih dalam masa pengawasan sekolah dan kakak kelas. Jika aku salah sedikit saja, aku bisa kena DO.
“Nggak usahlah. Lagi pula pasti dia sudah melupakanku.” Aku meletakkan buku-bukuku di rak buku. Lalu meregangkan tubuhku dengan menarik kedua lenganku ke atas. Besok ada ulangan Mikrobiologi. Pelajaran yang paling kusukai. Aku baru saja selesai belajar ketika Rani bertanya tentang Ryan.
“Aku yakin, pasti dia belum lupa sama kamu, Na. Ayolah... aku pastikan kamu bisa pacaran dengannya.” Rani menatap mataku dengan tatapan yakin. Beberapa saat aku mencari kesungguhan di matanya. Sepertinya Rani bersungguh-sungguh. Aku mengenal Rani adalah cewek yang sudah beberapa kali berhasil menaklukkan hati cowok. Kupikir nggak ada salahnya mencoba saran Rani. Apalagi aku belum pernah pacaran sama sekali. Rasanya ingin juga merasakan pacaran seperti anak-anak lain.
“Bagaimana caranya?” tanyaku lirih.
“Nggg... pakai ini aja.” Rani menunjuk buku agendaku. Agenda berwarna cokelat dengan motif keramik. Agenda itu kubeli ketika aku masih di SMP dulu. Aku menyukainya karena Ryan juga menggunakan agenda yang sama persis dengan agenda itu. Aku pernah melihat Ryan membawa agendanya sewaktu dia berangkat sekolah dulu.
Ryan sebenarnya kakak kelasku. Dia ketua Osis, walau tak begitu tampan, tapi keramahan dan keceriaannya membuat Ryan disukai banyak wanita. Diam-diam aku menyukainya karena satu alasan lagi. Dia sangat pintar. Selalu rangkin satu.
“Pakai ini? Maksudnya gimana?” tanyaku penasaran.
“Coba lihat! Kamu menulis alamat Ryan di sini. Tapi kamu tidak menulis alamatmu kan?” Rani menunjuk biodata pemilik agenda. Ada alamat Ryan tertera di bagian alamat yang bisa dihubungi.
Aku ingat Ryan menuliskan alamat itu di agendaku waktu kami sedang mengikuti kursus Bahasa Arab dulu. Aku sendiri hanya menulis namaku saja di sana. Aku tak berpikir akan menuliskan alamatku di agenda itu. Tapi Ryan menambahkan alamatnya di agendaku. Rasanya sangat bahagia ketika Ryan menulis alamatnya di agendaku.
“Nggg... iya. Trus bagaimana caranya?”
“Gini. Aku kirim surat ke alamat Ryan ini. Kubilang aku menemukan agendanya di sebuah kafe. Nah, aku minta dia untuk menemuiku jika dia ingin agendanya kembali. Nanti kami akan mengantar agenda itu ke elo. Selanjutnya terserah elo berdua deh,” jelas Rani bersemangat.
Aku mencerna penjelasan Rani. Sepertinya ini menarik. Baiklah akan kucoba saran Rani. Setidaknya aku bisa kembali melihat senyum manis Ryan. Syukur-syukur bisa bicara tentang kami. Ah aku jadi bersemangat.
Rani akhirnya menjalankan misinya. Dia menulis surat pada Ryan. Dia berpura-pura menemukan agendaku yang hanya ada alamat Ryan di sana sesuai dengan skenario yang kami buat.
Umpan Rani pun ditangkap Ryan. Ryan bersedia menemui Rani di kafe tempat Rani menemukan agenda itu. Mereka janji ketemuan saat kami libur di hari Minggu.
“Na, akkhirnya kamu akan ketemu gebetanmu! Semangat ya! Aku akan ke rumahmu setelah ketemu dia di kafe. Jadi tunggu kami di rumahmu, Ok?” ujar Rani bersemangat.
Seperti biasa, setiap Minggu mulai pukul 7.00, kami seisi asrama diizinkan untuk keluar asrama sampai pukul 17.00. Aku sudah mempersiapkan acara pertemuan dengan Ryan itu sejak semalam. Pagi ini aku akan bergegas pulang ke rumah. Lalu membuat cemilan dan mengajak Ryan dan Rani untuk makan siang di rumahku.
“Ingat, ya Na. Kita pura-pura nggak kenal. Biar skenario kita nggak ketahuan,” pesan Rani sebelum berangkat. Aku mengangguk. Dan bergegas naik angkot menuju rumahku. Dalam perjalanan ke rumah, aku berdoa agar semuanya lancar dan aku mendapatkan happy ending. Setidaknya aku dan Ryan bisa bercerita seperti saat kami di Osis dulu.
Angkot yang kutumpangi berjalan pelan. Aku merutuki sopir yang sengaja berhenti mencari penumpang. Padahal dia tahu kalau hari minggu pagi, penumpang pasti sedikit. Jadi tak ada gunanya juga menunggu penumpang di setiap persimpangan.
“Kiri, Pak,” aku memutuskan turun dari angkot setelah setengah jam berada di dalamnya. Padahal jika hari biasa, hanya butuh lima belas menit untuk sampai ke rumahku. Ini baru setengah perjalanan saja, aku sudah membuang waktu selama setengah jam. Lebih baik aku berjalan kaki atau bahkan berlari ke rumahku.
Jangan sampai Rani dan Ryan kelamaan menungguku di rumah. Karena hanya ada kakekku di sana. Pasti kakek tidak akan meminta mereka menunggu. Karena kakek tidak menyukai teman laki-laki yang berkunjung ke rumah.
Aku berlari setelah menyeberangi jalan raya yang masih sepi. Kususuri trotoar menuju rumahku dengan keringat yang mulai bercucuran di keningku. Tadi aku lupa menanyakan jam berapa Rani akan ke rumahku. Seingatku dia hanya mengatakan bahwa dia akan menemui Ryan di depan kafe tempat agendaku ditemukan. Lalu mereka akan mengantarkan agenda itu ke rumahku.
Kulirik jam di pergelangan tanganku. Pukul 7.40! Ya ampun! Rani sudah berangkat sejak pukul 7.00 tadi. Aku berangkat setengah jam kemudian, karena mengenakan jilbab cukup lama. Aku ingin terlihat lebih cantik dengan jilbab yang kukenakan.
Aku mempercepat langkahku. Saat ini aku sudah masuk ke komplek rumahku. Hanya butuh lima menit jalan kaki saja sudah sampai di rumah. Semoga Rani belum ke rumah, doaku dalam hati.
“Namira?” tiba-tiba seseorang menyapaku. Suara yang sangat kukenal. Suara yang sudah lama tak kudengar. Suara yang kurindukan. Suara Ryan! Aku menatap Ryan yang sedang berdiri di depanku. Aku tadi memang memperhatikan jalan saja. Jadi tidak memperhatikan orang-orang di sekitarku. Ada Rani di sebelah Ryan. Ryan tersenyum padaku.
Sejenak aku tergugu. Apa yang harus kulakukan? Aku berusaha tersenyum setelah kaget beberapa saat.
“Tadi, saya baru mengantar agenda Namira yang ketinggalan di kafe. Rani yang menemukannya. Karena agenda itu bukan milik saya, saya ajak Rani ke sini untuk mengembalikan agenda itu pada Namira. Ternyata Namira nggak di rumah. Jadi kami titipkan ke kakek,” ujar Ryan.
Aku hanya terdiam. Kupandangi Rani dan Ryan bergantian. Untung kesadaranku cegera pulih.
“Oh. Iya, makasih. Mampir dulu yuk!” ajakku segera. Jantungku berdegup kencang. Kuharap Ryan tidak menyadari kegugupanku ini. Sepertinya Rani terlihat sangat santai. Dia menepati janjinya dengan pura-pura tidak mengenalku.
“Nggak usah. Terima kasih saja sama Rani. Kami ingin jalan-jalan sebelum Rani kembali ke kotanya,” ujar Ryan.
Rani kembali ke kotanya? Maksudnya apa? Bukankah Rani tadi mengatakan akan mengajak Ryan ke rumahku dan kami akan mengobrol di rumahku. Lalu dia akan meninggalkan Ryan di rumahku. Kenapa begini sekarang? Ryan ingin menghabiskan waktu bersama Rani? Skenario macam apa ini?
Kulirik Rani untuk meminta penjelasannya. Kuharap itu hanya ide Ryan saja dan Rani tidak menyetujuinya. Tapi begitu mataku menatap mata Rani, kulihat senyum licik mengembang di bibirnya. Senyuman yang tak pernah kuperhatikan selama ini.
Kusimpulkan Rani ingin mengambil kesempatan itu untuk merebur Ryan dariku. Ah tidak bukan merebut, karena kami bahkan belum pernah pacaran. Rani menang. Dia berhasil menarik Ryan ke pelukannya. Baiklah! Aku kalah. Karena aku begitu mudah percaya padanya.
“Baiklah. Terima kasih sudah mengembalikan agenda saya,” ujarku lirih. Mereka berjalan meninggalkanku. Dengan sisa tenaga, aku berjalan menuju rumah. Samar-samar kudengar gelak tawa mereka. Entah apa yang sedang mereka bicarakan.
Kamu tahu kenapa Papa nggak mau kamu pacaran? Karena kamu pasti akan sering merasakan sakit di dadamu. Sakit karena tingkah pacarmu. Kamu akan kehilangan energimu karena memikirkannya. Lebih baik energi itu kamu gunakan untuk mengeluarkan kreativitasmu. Kamu akan berhasil. Banyak lelaki yang mengantri untuk menjadi suamimu kelak. Kata-kata Papa terngiang di telingaku.
“Maafkan Namira, Pa. Papa benar. Nggak seharusnya Namira kehabisan energi memikirkan orang yang tidak pantas Namira pikirkan. Namira janji nggak akan pernah pacaran. Hanya akan ada pernikahan saja suatu hari nanti.”
***
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. ^_^