Pintu kamar Bu Ira tertutup. Aku berdoa semoga Bu Ira sedang keluar, sehingga aku tidak perlu menyelesaikan tantangan gila ini. ketika aku mendekat, ternyata kulihat jendela kamar Bu Ira sedikit terbuka. Itu artinya dia ada di dalam kamar. Aku menarik napas mengumpulkan kekuatan. Lalu perlahan kuketuk pintu kamar Dewi Penjagal itu. Begitu julukan yang diberikan teman-temanku pada Bu Ira.
“Assalamualaikum Bu Ira,” sapaku setelah mengetuk pintu. Bu Ira tidak menyahut. Sepertinya wanita paruh baya ini sedang tidur. Aku lega. Kuintip keberadaannya di jendela. Kasurnya berhadapan langsung dengan jendela. Aku memang harus melakukan itu agar teman-temanku tidak berpikir aku berbohong nanti.
“Ya Allah! Bu Ira!” teriakku ketika melihat Bu Ira tergeletak di karpet kamarnya. Di sampingnya terlihat gagang telepon. Kurasa dia pasti baru mendengar kabar buruk melalui telepon seseorang. Aku berteriak memanggil teman-temanku.
“Hoooiii! Cepetan ke sini! Bu Ira perlu bantuan nih!” teriakku sekencang-kencangnya. Sebelum teman-temanku keluar dari persembunyian mereka, aku berusaha membuka pintu. Ternyata pintu itu dikunci dari dalam. Aku yang mengkhawatirkan Bu Ira, buru-buru mendobrak pintu dengan badanku. Sayangnya badanku yang kecil tidak cukup kuat untuk mendobrak pintu itu.
“Ada apa Ratu?” lima temanku sudah di dekatku.
“Ayo dobrak pintu ini! Bu Ira pingsan!” teriakku panik.
Tanpa disuruh kedua kali, teman-temanku pun mendobrak pintu itu beramai-ramai. Beberapa anak kelas satu dan dua yang kamarnya dekat kamar Bu Ira, segera berhamburan keluar kamar ketika mendengar teriakanku.
“BRAK!” pintu berhasil kami dobrak. Kami terhuyung masuk ke kamar Bu Ira karena pintu yang terbuka secara paksa. Buru-buru aku memegang nadi Bu Ira. Nadinya lemah, aku mengambil botol parfum di lemari riasnya. Kudekatkan botol parfum yang sudah terbuka ke hidung Bu Ira. Beberapa detik kemudian kulihat tangan Bu Ira bergerak. Lalu dia pun bersin.
“Huuaatsiii!” kami mundur sebelum kena sembur. Lalu dia menatap lemah pada kami.
“Ada apa? Kenapa kalian di sini?” ujarnya lemah.
“Maaf Bu, kami terpakasa masuk, tadi saya lihat, ibu pingsan.” Ujarku. Iles buru-buru memberikan teh manis hangat pada Bu Ira. Dia menyeduh teh itu sesaat ketika aku membantu Bu Ira tadi. Nila, Oce , Suzi dan Meli mengipasi Bu Ira, agar oksigen bisa masuk ke paru-paru Bu Ira sebanyak mungkin.
Bu Ira berusaha untuk duduk, sayangnya badannya masih lemah, dia kembali berbaring di karpet. “ Makasih ya Ratu. Untung kalian datang.” Ujarnya lemah.
“Ayo Bu, kami bantu berbaring di kasur,” ajakku. Kami berenam menggotong tubuh Bu Ira ke atas kasur.
“Ibu harus segera ke kampung ibu. Tadi kakak ibu menelepon, dia mengatakan bahwa si Kuni meninggal.” Ujarnya sedih, setetes air mata menetes di sudut matanya.
“Innalillahi wainna ilaihi raajiuun,” koor kami serempak. Kami bisa merasakan kesedihan Bu Ira.
“Kami ikut berduka ya Bu. Apa ibu mau kami antar?” tanyaku. Iles, Oce, Meli, Nila dan Suzi menunjuk dirinya sambil melihat padaku, agar mereka yang mengantar. Karena kami hanya boleh keluar asrama sekali seminggu. Rasanya mengantar teman yang sakit atau siapa pun yang sakit ke rumah mereka, merupakan kepuasan tersendiri karena bisa menghirup udara luar asrama di hari selain hari Minggu.
“Iya, tolong antar ibu ya. Dua orang saja. Yang lainnya tolong awasi anak-anak asrama. Jangan sampai mereka keluar asrama saat ibu tidak di sini.” Sahut Bu Ira lagi.
“Baik Bu,” ujarku. Saya bagi tugas dulu ya Bu. Ibu istirahat sebentar. Saya akan mencarikan taksi untuk mengantar kita ke kampung Ibu.” Ujarku tersenyum. Aku nyaris berteriak senang. Aku salah satunya yang akan pergi mengantar Bu Ira ke kampungnya. Sudah terbayang segarnya aroma udara luar asrama di pikiranku.
“Iles, tolong jaga Bu Ira dulu ya, aku mau cari taksi.” Perintahku. Iles langsung manyun. Tapi dia tidak menolak perintahku. Aku mengajak temanku yang lain berembuk di luar kamar Bu Ira sambil berjalan keluar asrama mencari taksi di depan sekolah kami.
“Gua ikut ya Ratu sayang...” Nila mulai merayuku.
“Lu mendingan di sini Nila. Lu bisa nyari Ipod Lu yang disita Bu Ira.” Sahutku. Oce, Suzi dan Meli mengangguk setuju. Nila terdiam.
“Bener juga Lu. Oke deh, gua di sini aja. Trus Lu pergi sama siapa?”
“Sama gua ya dear,” kali ini Suzi yang merayuku. Oce dan Meli memandangiku ambil mengedipkan kedua matanya beruaha memohon.
“Gua sama Suzi aja ya. Oce dan Meli, lu bisa jagain anak-anak lainnya. Nah ini kesempatan Lu buat nyari tahu siapa yang buang pembalut di kamar mandi.” Saranku pada Meli.
“Aih... Lu bener banget. Kalau ada Bu Ira, pasti gua nggak akan bisa memaksa mereka mengaku. Secara mereka akan ngadu ke Bu Ira, kalau gua udah nyari kesalahan mereka.” Meli tersenyum senang. Dia sepertinya sudah punya rencana briliant.
“Lah Gua, mau ngapain?” Oce yang cemberut sekarng.
“Lu bantuin cari taper reorder gua ya dear. Cariin juga di kamar Bu Ira. Kali aja Bu Ira yang ngambil tanpa sepengetahuan gua.” Mataku memohon pada Oce. Aku meletakkan dua telapak tanganku di depan dada untuk mempertegas permohonanku.
“Oke deh. Tapi lu bawain oleh-oleh untuk kita ya.” Oce luluh. Aku tersenyum senang.
“Iya, nanti gua bawain deh,” kami pun menemukan kesepakatan. Sebuah taksi lewat di depan sekolah kami. Suzi sudah memberitahu Pak Satpam bahwa Bu Ira perlu taksi karena ada saudaranya yang meninggal. Pak satpam langsung menyetop taksi itu.
***
Beberapa saat kemudian, aku, Suzi sudah duduk manis di dalam taksi bersama Bu Ira. Bu Ira masih terlihat sangat sedih dan shock. Sepanjang jalan kami berusaha menghiburnya. Setengah jam kemudian, kami sudah sampai di rumah Bu Ira. Sebuah rumah yang terbuat dari kayu. Walau sederhana, tapi rumah itu seolah menyimpan beribu kehangatan.***
Kami segera turun dari taksi setelah Bu Ira membayar ongkosnya. Hari sudah sore. Raja siang sudah hampir menyentuh peraduannya. (halah) Para petani di kampung Bu Ira terlihat kembali ke rumah mereka masing-masing. Perasaanku sedikit bingung. Kenapa tak ada seorang pun yang terlihat di rumah Bu Ira ini? Harusnya jika ada yang meninggal, pasti ada warga yang melayat k e rumahnya. Tapi aku menepis pikiranku.
“Ayo masuk anak-anak,” ujar Bu Ira sambil membuka pintu rumah.
Kami pun masuk sambil mengucapkan salam. Bu Ira yang menyahut salam kami. Tak ada seorang pun di rumah itu. Aku memandang Suzi dengan wajah bingung. Suzi mengangkat bahunya tanda tak mengerti. Kami tidak berani bertanya. Kami hanya mengikuti langkah Bu Ira.
“Rumah kakak ibu ada di belakang rumah ini. Mungkin dia sudah mengubur Kuni. Ayo kita ke sana,” Bu Ira melangkah menuju belakang rumahnya melewati dapur. Kami mengikuti langkahnya.
“Ira, kamu pulang? Maaf ya, Kuni sudah saya kubur.” Ucap Kakak perempuan Bu Ira ketika kami berada di depan pitu rumahnya. Umur mereka sepertinya beda setahun atau dua tahun, karena kulihat wajah mereka sama tuanya.
“Iya Kak, nggak apa-apa. Di mana kakak mengubur Kuni?” tanya Bu Ira masih dengan nada sedih. Sesekali dia menyusut ingusnya. Aku dan Suzi hanya mendengarkan percakapan mereka dalam diam.
“Di halaman belakang sana,” Kakak Bu Ira menunjuk halaman belakang rumah mereka. Bu Ira berjalan ke arah tempat yang ditunjuk kakaknya. Kami menngikutinya. Di halaman belakang rumah Bu Ira terlihat rerimbunan pohon mangga dan pohon rambutan. Di antara pohon itu terlihat gundukan tanah. Mungkin di sana kuburan saudaranya itu. Bu Ira bergegas mendekati kuburan itu.
“Selamat jalan ya Kuni. Kuharap kau tenang di sana. Jangan lupakan aku ya,” ucapnya sedih. Di atas pusara itu kulihat sebuah tulisan. Selamat jalan Kuni, ular kami tersayang. Kami akan selalu merindukanmu.
Aku dan Suzi saling berpandangan ketika melihat tulisan itu. Kami hampir tersedak menahan tawa. ^_^
***
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. ^_^