Sunday, May 31, 2020

Jaga Malam

 “Syukurlah, akhirnya Dokter Edi menambah perawat juga,” cerita suster Gita padaku. 
Aku tersenyum mendengarnya. Ada nada lega dalam ucapan suster Gita. Begitu juga yang kurasakan. Akhir-akhir ini kami memang kewalahan menghadapi banyaknya pasien yang dirawat di rumah sakit ini. Walau aku seorang dokter jaga, tapi aku bisa melihat para perawat yang kewalahan melayani pasien. Aku tidak bisa membantu mereka, karena pekerjaanku tak lebih sedikit dari pekerjaan mereka.
Beberapa kali para pasien dan keluarganya komplen karena kurangnya pelayanan perawat. Tentu saja hal itu terjadi karena saat bertugas tak jarang suster itu hanya berdua melayani tiga puluh pasien di ruangan. aku juga ikut bersyukur, akhirnya direktur rumah sakit kami menambah personil perawat. Kuharap setelah ini, tidak ada keluhan lagi dari para pasien.

“Bagiamana mau ngasih pelayanan maksimal, yang dinas hanya dua orang. Yang minta perhatian tiga puluh orang lebih,” gerutu salah satu suster beberapa waktu lalu. Sepertinya bukan pasien saja yang mengeluh. Para suster pun mengeluh, karena mereka tidak bisa maksimal memberikan pelayanan kepada pasien. 
Syukurlah semuanya berakhir. Dalam minggu ini, beberapa perawat baru sudah mulai bertugas. Mereka di sebar di hampir semua ruangan. Walau mereka masih dalam masa orientasi, setidaknya kehadiran mereka sangat membantu.
Malam ini, aku bertugas menjaga ratusan pasien di rumah sakit ini. Memberikan instruksi yang benar jika salah satu perawat melaporkan keluhan pasien padaku. Dengan membaca basmalah, aku mulai membaca laporan rekanku siang tadi. Kubaca dengan teliti semua laporan itu. tidak ada kejadian khusus. Terdapat dua orang pasien yang meninggal hari ini. Satu karena kecelakaan dan meninggal di UGD. Satu lagi karena gagal jantung, meninggal di ICU.
“Oke, saya keliling dulu ya,”  aku pamit pada suster Gita yang bertugas di UGD malam ini. Aku melambaikan tangan pada dokter Santi yang sedang sibuk memeriksa pasien baru. 
Baru saja aku meninggalkan ruang UGD, tiba-tiba suster Gita meneriakiku. “Dokter Nia, ada telepon nih!” 
 Untung saja aku belum begitu jauh meninggalkan UGD. Kulangkahkan kakiku menuju meja telepon.
“Dengan Dokter Nia di sini, ada yang bisa saya bantu?” tanyaku setelah meletakkan gagang telepon di telinga kananku.
“Dokter, ini Silvi, dari ruangan internis. Tekanan darah Pak Haryadi drop. Tujuh puluh per lima puluh. Tadi sudah dikasih obat, tapi masih belum naik juga,” ucap suster di seberang telepon. 
“Baik, saya ke sana ya Silvi,” sahutku menutup telepon. Kudengar ucapan terima kasih dari suster Silvi sebelum telepon kuletakkan. Menurut laporan, rekanku jaga siang sudah memberikan obat oral untuk menaikkan tekanan darah Tn Haryadi. Kurasa obat itu belum bekerja secara maksimal. Aku bergegas ke ruang internis. Kusambar buku laporan yang harus kubawa ke setiap ruangan saat berkeliling ruangan melihat kondisi pasien nanti.
“Saya ke ruang internis ya Gita,” ucapku pada suster Gita. Ini biasa kami lakukan untuk memberitahu posisi kami. Karena tidak mungkin malam-malam suster meminta informasi untuk memanggil kami lewat suara paging. Setiap meninggalkan ruangan, pasti kami pamit dengan mengatakan ruangan berikutnya yang akan kami kunjungi. Dengan begitu, jika ada pasien yang membutuhkan bantuan kami, suster bisa mencari kami ke ruangan yang dimaksud.
“Siap Dok! Hati-hati ya, ini malam jumat loh,” goda Suter Gita. Aku tersenyum kecut. Selalu saja ada lelucon dari mereka jika kami bertugas di malam jumat. Aku sendiri juga bingung, entah sejak kapan rumor malam jumat itu adalah malam yang sangat menyeramkan. Aku sering tidak peduli dengan rumor itu. Alhamdulillah selama ini aku baik-baik saja.
“Di mana pun pasti makhluk gaib ada. Hanya saja, kita tidak bisa melihat mereka. namun mereka bisa melihat kita,” ujarku ketika suatu hari seorang suster menceritakan hal yang sama.
“Lagian, nggak hanya di malam jumat juga kayaknya deh. Kalau Allah mengizinkan mereka memperlihatkan diri mereka pada kita, malam, siang, atau kapan pun pasti bisa. Aku pernah juga bertemu sama makhluk itu, tapi bukan malam jumat,” sahut dokter Santi waktu itu. 
 Aku sepakat dengan dokter Santi. Tapi aku berharap Allah tidak mengizinkan mereka untuk memperlihatkan diri padaku. Walau bagaimana pun rasanya tidak seorang pun yang siap bertemu dengan makhluk dari dunia lain kan?
 Sayangnya rumor itu makin berkembang menurut versi mereka masing-masing. Apalagi bangunan rumah sakit ini memang sudah cukup tua. Dan di bangun di bekas tanah kuburan. Sehingga rumor itu makin kuat berhembus, seolah sudah menjadi makanan sehari-hari para pekerja rumah sakit ini. Ditambah model bangunan rumah sakit ini masih meniru model bangunan zaman Belanda. Dengan koridor panjang untuk menghubungkan antara satu ruangan dengan ruangan lain. Menambah kesan sunyi mencekam rumah sakit ini.
“Ada juga pasien yang datang minta diisikan termosnya. Waktu saya selesai mengisi termos dan ingin memberikan padanya, taunya pasien itu sudah tidak ada.” Begitu versi petugas pantri. Huh! Ada-ada saja. Aku melangkahkan kakiku sambil memasukkan tangan ke kantong jasku. Malam ini begitu dingin. Tadi sore hujan cukup deras, masih menyisakan gerimis hingga saat ini.
Hembusan ingin menerpa jilbabku. Entah kenapa bulu halus di tengkukku merinding, begitu terkena hembusan angin. Kurasa pasti aku kedinginan. Kurapatkan jasku sambil melangkah cepat. Kuharap hal ini bisa mengusir hawa dingin yang menusuk tulang. Suasana begitu sepi ketika aku melewati koridor menuju ruang internis. Di samping kanan dan kiriku terdapat taman dengan berbagai tanaman. Siang hari taman ini terlihat sangat indah. Entah kenapa malam ini taman itu terlihat muram dan temaram.
Tiba-tiba samar-samar kudengar suara tangisan pilu. Aku tidak tahu dari mana tangisan itu berasal. Pikiranku melayang kepada perkataan suster Gita tadi. Mungkinkah kali ini mereka sedang menguji keimananku?  Walau sedikit merinding, aku berusaha menenangkan diri.

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung. ^_^