Thursday, January 30, 2020

Susilo Bambang Yudhoyono

Namaku Susilo Bambang Yudhoyono. Orangtuaku biasa memanggilku dengan panggilan Sus. Aku adalah anak tunggal dari bapak R Soekotji dan Ibu Sitti Habibah. Walau aku anak tunggal, tapi aku diharuskan orangtuaku untuk bekerja keras dan disiplin sejak kecil 
Apalagi ayahku, beliau adalah salah satu prajurit TNI. Beliau mendidikku sangat disiplin. Sedangkan Ibuku, karena beliau adalah anak pendiri Pondok Pesantren Tremas, beliau mendidikku dengan lemah lembut. Jadi, aku dibesarkan oleh orangtua yang tegas dengan didikan islam yang sangat kuat. 

Ketika aku bersekolah di Sekolah RakjatGajahmada (saat ini SDN Baleharjo 1), aku tinggal bersama pamanku. Yaitu paman Sasto Suyitno. Beliau seorang lurah di desa Ploso Pacitan. Aku tinggal bersama paman di rumah beliau yang tidak begitu besar. Tapi halamannya sangat luas. Aku diajarkan hidup prihatin agar aku bisa berempati dengan kehidupan rakyat kecil.  
Karena menurut ayahku, dalam darahku juga mengalir darah biru. Maksudku, ayahku memiliki silsilah keturunan dari Hamengkubowono 2. Untuk itulah, ayah dan ibu serta pamanku mendidikku hidup prihatin dan kerja keras, agar aku tidak sombong. Agar aku terbiasa hidup sederhana. 
Aku lahir di sebuah kota kecil yang sejuk di Jawa Timur. Tepatnya desa Pacitan pada tanggal 9 September 1949. Saat itu, ayahku sedang bekerja keras membela negara Indonesia.  Karena beberapa tahun sebelumnya, Bung Karno, presiden Republik Indonesia, baru saja mendeklarasikan kemerdekaan negara kita. Saat itu masih terjadi perang di beberapa daerah yang membuat ayahku harus terus berjaga bersama pasukannya. 
“Besar nanti, kamu mau jadi apa Nak?” tanya ibu ketika sore itu kami duduk di ruang tamu.  
“Aku mau jadi tentara seperti bapak Bu,” sahutku bersemangat. Tadi di sekolah aku mendapat pengetahuan tentang Tentara Republik Indonesia. Apalagi saat itu, sudah dibuka Akademi Militer Nasional (AMN) di Malang. Rasanya tak sabar aku melanjutkan sekolah ke SMP lalu mendaftar di AMN. 
“Wah, bagus itu! Ibu dukung cita-citamu itu. Kamu harus rajin belajar ya Nak,” pesan Ibu. Aku mengangguk setuju. Malamnya, ketika hendak tidur, aku sering berangan-angan untuk menjadi presiden Repulik Indonesia, suatu hari nanti. 
“Sus, ayo sekolah,” ajak teman-temanku suatu pagi. Hari itu, hujan turun sangat deras. Di luar halaman rumah kami, air sudah menggenang setinggi betisku. Kalau sudah begini, aku biasanya agak malas berangkat sekolah. Karena, kadang-kadang sampai di sekolah, pasti pakaianku basah. 
“Aku nggak masuk sekolah hari ini ya. Sekolahan pasti banjir. Kita pasti nggak akan belajar,” sahutku dengan malas. Akhirnya beberapa temanku memutuskan untuk ikut tidak sekolah. Tapi aku tidak selalu begini. Aku kadang memaksakan diri juga berangkat sekolah. Karena aku juga takut ketinggalan pelajaran. 
Apalagi, kadang guru kami suka menyetrap kami yang sering tidak masuk sekolah ketika banjir. Aku malu kalau sering-sering disetrap. 
Orangtuaku sering membelikan aku buku dan majalah anak-anak. Jadinya aku suka membaca buku dan majalah. Aku suka juga melukis dan bernyanyi. Aku sering menggambar ketika pulang sekolah. Nilaiku di sekolah alhamdulillah selalu bagus. 
Kadang karena sangat suka membaca, aku terpikir untuk mencoba menulis. Aku pun mencoba menulis puisi dan cerpen. Puisi dan cerpenku itu, kukirim ke majalah anak yang sering dibelikan orangtuaku. Bagiku membaca itu bukan saja menambah pegetahuanku, tapi juga bisa menghiburku. Selain itu, akujuga suka bermain peran atau wayang.  
Setelah tamat SR, aku melanjutkan sekolahku ke SMP Pacitan. Aku mengikuti berbagai kegiatan di sekolah. Walau aku banyak mengikuti kegiatan di sekolah, alhamdulillah nilai-nilaiku selalu bagus. 
Ketika SMA, aku ikut membantu guruku membangun sekolah kami. Waktu itu sekolah kami masih berupa kelas sederhana. Karena itu setelah jam pelajaran usai, kami bersama guru-guru dan kepala sekolah, membangun kelas sedikit demi sedikit secara bergotong royong. 
Aku dan teman-temanku mengangkut pasir dan batu untuk membangun kelas kami yang baru. Suatu hari, Pak Naryo, guruku, mengatakan sebuah kalimat penyemangat padaku. Saat itu kami sedang keletihan mengangkut batu-batu dan pasir. Beliau berdiri dan menyemangati kami. 
“Tidak ada yang tidak bisa kamu lakukan. Dengan berusaha, pasti kamu bisa dan harus bisa!” demikian ucap Pak Naryo padaku. Kata-kata beliau itu tak akan pernah kulupakan sampai kapanpun. Jika aku mengalami sesuatu yang menurutku susah untuk kukerjakan. Pasti aku ingat pesan Pak Naryo. Jika sudah mengingat pesan itu, aku kembali bersemangat hingga aku pun bisa menaklukkan hal yang tadi kupikir susah. 
Saat SMA juga aku bergabung bersama grup band sekolah. Aku juga masuk klub olahraga, yang paling kusuka adalah olah raga voli dan bela diri. 
*** 


0 comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung. ^_^