“Hoi, keluar kalian dari situ!”
teriak satpam pada kami. Satpam berwajah sangar itu bergegas menghampiri kami.
“Ayo... buruan!” teriakku pada
teman-temanku. Kami pun bergegas mengenakan pakaian. Jangan sampai satpam itu
memarahi kami. Saat ini aku dan teman-temanku sedang berenang di kolam renang
PT Timah Belitung. Kolam renang ini hanya boleh digunakan oleh anak-anak
tertentu saja. Tentunya anak-anak
karyawan PT Timah dan anak-anak dari keluarga mampu lainnya.
Anak-anak desa seperti teman-temanku
tidak pernah diizinkan berenang di sana. Kami berlari menjauh dari kolam
renang. Sebenarnya, sebagai anak pengusaha di Belitung ini, aku bisa berenang
di kolam renang milik PT Timah ini. Sayangnya aku mengajak teman-temanku, anak-
anak warga Kampung Baru untuk berenang di sana.
Akhirnya inilah yang terjadi. Satpam
PT Timah itu marah begitu melihat kami berenang di sana. Mereka mengusir kami.
Mereka mengira aku termasuk anak-anak dari kampung nelayan itu. Aku sendiri
juga bingung, kenapa anak-anak dari kampung nelayan tidak diizinkan berenang di
sana.
Namaku Basuki Tjahaja Purnama.
Ayahku Indra Tjahaja Purnama dan ibuku Burniati Ningsih. Orangtua dan temanku
memanggilku dengan panggilan Ahok. Aku adalah anak sulung dari 4 bersaudara.
Dua saudaraku laki-laki dan satu perempuan. Aku lahir di Manggar, Belitung
Timur pada tanggal 29 Juni 1966. Karena orangtuaku berdarah Tionghoa, maka mereka juga memberi nama Tionghoa untukku yaitu Zhōng Wànxié / 鍾萬勰.
Ketika
kecil, kehidupan di desaku di Belitung, cukup sulit. Sebenarnya tidak demikian
denganku. Ayahku yang pengusaha sudah memberikan kehidupan lebih dari cukup
bagi keluarga kami. Ayahku selalu mengingatkanku untuk berbagi dengan anak-anak
di kampung nelayan.
“Kita harus selalu membantu orang
yang mengalami kesusahan,” demikian setiap hari ayahku menanamkan pesan itu di
kepalaku. Sehingga aku sudah terbiasa bermain dan bergaul dengan anak-anak
kampung itu. Bahkan aku sekolah di Sekolah Dasar Negeri 3 Gantung, Belitung
Timur, bersama dengan mereka. Walau ayahku sanggup menyekolahkanku di sekolah
swasta yang lebih baik.
“Kita ke rumahku saja yuk!” ajakku
setelah kami sukses melarikan diri dari kolam renang itu.
“Ayolah. Kering rasanya
tenggorokanku,” sahut Busyani sahabat karibku. Ada beberpa orang temanku yang
lain juga saat itu. kami pun akhirnya pulang ke rumahku. Sampai di rumah, aku
mengambil air minum dari kulkas.
“Nih, minumlah,” ucapku sambil
memberikan botol air putih dingin pada Busyani. Dengan sigap Busyani meraih
botol itu dan menuangkan airnya ke gelas. Lalu dia memberikan botol itu pada
temanku yang lain. Mereka menenggak habis air dingin itu seperti orang yang
tidak menemukan air berpuluh hari.
“Segar sekali rasanya. Bolehlah
tambah lagi minum ini Hok,” pinta Busyani sambil mendorong botol kosong padaku.
Aku bergegas ke dapur dan mengambil botol air dingin yang masih penuh di kulkas.
Aku kasihan melihat teman-temanku yang kehausan setelah kami berlari dari kolam
renang tadi.
“Rasanya kenyang sudah perut kami
minum air. Terima kasih ya,” ujar temanku itu setelah menghabiskan beberapa
gelas air. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Sebenarnya usiaku lebih muda
dari usia mereka sekitar dua sampai tiga tahun. Karena sebagai anak kampung
nelayan, mereka umumnya membantu orangtua mereka sebelum memutuskan untuk
sekolah.
Jadi mereka masuk sekolah setelah
usia mereka lebih dari cukup. Karena mereka membantu orangtua mereka bekerja
sebagai nelayan. Sedangkan aku, usia tujuh tahun, sudah bersekolah. Ayahku
ingin agar aku cepat mengenyam pendidikan, agar aku bisa sekolah lebih tinggi
nanti. Jadi teman-temanku berusia lebih tua satu atau dua tahun dariku.
Meskipun usia kami terpaut beberapa tahun, tapi tinggi dan berat kami tidak
jauh berbeda.
Yang membedakanku dengan mereka,
hanya warna kulit dan mataku saja. Aku berkulit kuning langsat, sedangkan
mereka sawo matang. Aku bermata sipit, dan mereka bermata besar. Tapi aku tidak
pernah membedakan teman. Aku nyaman bermain dan bergaul dengan semua
teman-temanku.
“Ayolah kita belajar,” ajak Busyani
setelah kami lelah bermain. Busyani adalah sahabat dekatku. Usianya lebih tua
dua tahun dariku.
“Ajari aku berhitung ya,” pintaku.
Aku tahu, Busyani sangat pintar dalam pelajaran berhitung, atau pelajaran
matematika.
“Iya. Kamu memang harus pintar
berhitung. Karena sebagai anak tauke,
suatu hari nanti kamu akan jadi tauke juga. Jadi kalau tak bisa berhitung,
rugilah kamu,” ujar Busyani menggodaku. Aku hanya tertawa mendengar ucapannya.
Aku bersyukur dilahirkan dalam
keluarga yang berkecukupan. Sehingga, aku bisa belajar di sekolah dengan
tenang, tanpa harus berpikir tentang biaya makan kami. Tidak demikian dengan
teman-temanku. Kadang mereka harus bekerja membantu orangtua mereka, untuk
memenuhi kebutuhan makan sehari-hari
Suatu hari, setelah menerima rapor,
aku memperlihatkan rapor itu pada ayah. Ayah memandangi nilai-nilaiku dengan
wajah biasa saja. Kupikir ayahku akan bangga karena nilaiku bagus. Ternyata
pikiranku salah.
“Wajar saja nilaimu tinggi dan
bagus, karena kamu makan roti dan keju. Jadi kamu nggak perlu bangga kalau
nilaimu tinggi. Yang hebat itu, jika teman-temanmu memperoleh nilai tinggi.
Karena mereka hanya makan seadanya. Bahkan, mungkin kadang mereka tidak makan.
Ketika nilai mereka tinggi, baru mereka boleh bangga,” ucap ayah sambil
memberikan kembali raporku.
Aku hanya terunduk mendengar ucapan
ayahku. Beliau benar, aku harus lebih giat lagi belajar, begitu yang selalu
kutanamkan dalam hati. Hampir setiap hari saat makan bersama di meja makan,
ayahku menasihati kami agar selalu peduli terhadap orang yang kurang mampu.
Kami memang diwajibkan makan bersama
di meja makan, khususnya makan malam dan sarapan pagi.
“Bapak tidak akan mewarisi harta
untuk kalian. Karena harta itu bisa hilang atau habis. Yang bisa bapak wariskan
adalah pendidikan terbaik untuk kalian. Jika kalian intar dan mempunyai ilmu
yang tinggi, maka ilmu itu tidak akan pernah hilang,” demikian pesan ayahku
beberapa kali ketika kami makan bersama.
Orangtuaku membuktikan janji mereka
itu pada kami. Kami hanya disuruh belajar dan sekolah. Tidak perlu memikirkan
uang sekolah seperti anak-anak lain. Ibuku bahkan menyimpan uang melalui
perhiasan.
“Perhiasan ini akan ibu jual saat
kalian membutuhkannya untuk melanjutkan sekolah,” demikian ujar Ibu ketika
beliau menyimpan perhiasan emasnya di lemari.
Roda kehidupan berputar, kadang di
atas, kadang di bawah. Demikian juga dengan roda kehidupan keluargaku. Suatu
hari, aku pun harus ikhlas membantu orangtuaku bekerja di ladang sebagai buruh
pemetik lada. Aku juga menjual roti keliling kampung untuk mendapatkan sedikit
upah. Untungnya aku tidak harus selamanya menjalani hal itu.
“Nah, kamu tahu kan bagaimana
rasanya hidup susah. Jadi kalau bisa, kamu harus selalu membantu orang –orang
susah. Karena yang mereka rasakan sama dengan yang kita rasakan saat kita
susah.” Jelas ayahku di lain hari.
Aku tidak akan pernah melupakan
pesan ayahku itu. Beliau tidak hanya berpesan seperti itu padaku. Tapi beliau
juga memberikan contoh langsung. Beliau mengajakku membantu orang-orang yang
kurang mampu di sekitar kami. Walau terkadang , sebagai keturunan Tionghoa, aku
sering dikucilkan teman-temanku yang lain. Tapi aku akan selalu mengingat pesan
ayahku.
Pernah suatu kali aku sangat ingin
mengibarkan bendera merah putih saat upacara bendera. Tapi entah kenapa, aku
tidak diizinkan. Mungkin karena aku dari etnis minoritas. Tapi aku tak berkecil
hati, aku berharap, suatu saat nanti, aku bisa membela negara tercinta ini
melalui hal lain.
“Ayo kita ke dokter,” ajak ibuku
suatu hari. Saat itu aku sedang sakit. Aku menolak saran beliau. Aku takut
sekali jika nanti dokter menyuntikku.
“Nggak kok, nggak akan disuntik,”
janji Ibu. Akhirnya aku menurut. Aku pun pergi ke dokter. Ketika dokter
memeriksaku, beliau menggodaku.
“Ahok, disuntik ya?” tanya beliau.
“Nggak. Nggak mau, aku nggak mau
disuntik. Coba aja dokter suntik. Nanti kalau aku sudah besar, aku jadi dokter,
aku juga akan menyuntik dokter,” teriakku. Aku benar-benar takut dokter itu
menyuntikku.
“Hahaha.... nggak kok. Dokter nggak
akan menyuntik Ahok. Tapi janji ya, Ahok harus mimum obat ini sampai habis,”
pinta dokter itu. Lega rasanya mendengar perkataan dokter. Aku buru-buru
menganguk agar dokter itu tidak berubah pikiran. Sedangkan Ibu, hanya tersenyum
melihat tingkahku.
Seperti teman-temanku yang lain, aku
juga suka memancing di sungai. Kami bahkan bisa mendeteksi keberadaan buaya di
sungai tempat kami memancing. Jika di dekat sungai ada kerumuman lalat, bisa
dipastikan itu mulut buaya yang sedang dikerumini lalat. Jadi jangan
sekali-kali mendekati tempat itu. Atau jika di dalam sungai terlihat seperti
batang kayu yang bergerak. Bisa juga dipastikan itu buaya yang sedang berenang.
Sebaiknya harus segera meninggalkan sungai jika melihat hal itu.
Aku suka membaca buku sejak SMP.
Bukan hanya buku pelajaran sekolah, tapi semua buku, termasuk buku cerita dan
ensiklopedia.
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. ^_^