“Jangan lupa bawa sajadahya Nak.
Kita shalat asar di sana saja nanti,” ujar ayah ketika kami bersiap menonton
pertandingan bola di stadion Mattoangin, Makasar.
“Iya Pak,” sahutku. Aku buru-buru
mengambil dua sajadah di ruang shalat rumah kami. Lalu aku dan ayah pun
berangkat menuju stadion Mattoangin. Aku dan ayahku sangat sering menonton
pertandingan sepak bola PSM (Persatuan
Sepak Bola Makasar) di stadion Mattoangin.
Biasanya kami berangkat setelah shalat zuhur. Tentunya setelah aku
pulang sekolah.
Ayahku sangat menggemari sepak bola.
Hobi ayah yang satu itu menular padaku. Aku jadi sering bermain bola bersama
teman-temanku jika tidak ada pertandingan bola PSM. Kami kadang bermain di
halaman rumahku. Kadang di pekarangan rumah sakit. Bagi kami, main bola terasa
sangat mengasyikkan. Kami bisa sampai lupa waktu jika sudah bermain bola.
“Ayo kita main bola di lapangan
rumah sakit,” ajak teman-temanku suatu sore.
“Ayo!” sahutku dan beberapa temanku
yang lain. Kami membawa bola karet yang sudah sangat lusuh. Kami pun beramai-ramai jalan menuju
pekarangan Rumah Sakit Stella Maris, Makasar.
Sampai di lapangan, kami pun berbagi
tugas. Ada yang menjadi bek kanan, penyerang dan penjaga gawang. Seperti biasa,
aku bertugas sebagai penjaga gawang. Mungkin karena badanku kecil, atau entah
karena alasan apa, teman-temanku memintaku menjadi penjaga gawang. Tapi aku
tidak menolak. Apa pun tugasku dalam sepak bola ini, aku menerima saja. Karena
aku sangat menyukai sepak bola.
Aku pun bersiap menjaga gawang
timku. Kulihat tim lawan sedang menggiring bola ke arahku. Aku memasang
kuda-kuda untuk menangkap bola. Kuharap aku bisa menangkap bola yang sedang
digiring menuju gawangku.
Bola semakin mendekat ke arahku.
Dari jarak cukup jauh, salah satu lawanku menendang bola dengan kencang. Bola
itu melesat tinggi. Kupikir pasti bola itu tidak akan masuk ke gawangku. Tapi
aku melompat untuk menangkapnya. Hanya untuk antisipasi agar bola benar-benar
tidak masuk ke gawangku.
“Prang!” terdengar bunyi kaca pecah.
Aku segera menoleh ke belakangku. Ternyata bola yang ditendang temanku tadi
sudah menghancurkan kaca jendela salah satu ruangan di rumah sakit. Seketika
kami terdiam dengan hati diliputi rasa takut.
“Habislah kita. Ini salahmu! Kenapa
kamu menendang bola terlalu kencang ke arah jendela rumah sakit!” ucap temanky
saling menyalahkan.
Tak lama berselang, seorang petugas
rumah sakit keluar ruangan sambil
membawa bola kami. “Kalian jangan main bola di sini! Ini rumah sakit!
Coba kalian lihat ulah kalian, kaca jendela jadi pecah! Ayo ganti kaca itu!”
bentaknya pada kami.
Aku dan teman-temanku pun ketakutan.
Sebagian dari kami melarikan diri. Temanku yang melarikan diri, merasa mereka
tidak melakukan kesalahan. Apalagi mereka tidk akan bisa mengganti kaca jendela
yang pecah. Tapi sebagian temanku yang lain, termasuk aku, minta maaf pada
petugas itu.
“Maafkan kami Pak. Kami tak sengaja
menendang bola ke arah jendela,” ucapku sambil menunduk minta maaf.
“Ya sudah, lain kali jangan main di
sini lagi ya. lagi pula, ini kan rumah sakit, banyak orang sakit yang butuh
istirahat. Kasihan mereka jadi terganggu dengan ulah kalian,” ujar petugas itu
menasihati.
“Baik, Pak, Kami tidak akan main
bola di sini lagi,” ucap kami serentak.
Setelah itu kami buru-buru pulang.
“Untung kita nggak disuruh mengganti kaca jendela ya,” ujar salah satu temanku.
“Iya. Itu pasti karena kita minta
maaf dan berjanji tidak main di sana lagi,” selaku.
“Betul itu. kalau kita tidak minta
maaf, pasti petugas rumah sakit itu mengadukan kita pada orangtua kita. Dan
setelah itu kita tidak akan diizinkan main bola selamanya,” sahut temanku yang
lain.
“Ayolah kita pulang,” ajakku. Kami
pun pulang ke rumah masing-masing.
Ayahku Haji Kalla, memang sudah
menanamkan sifat sopan santun dan akhlak yang baik padaku sejak aku lahir.
Ayahku terlahir dari keluarga yang sangat menerapkan ajaran islam. Sehingga
beliau juga menerapkan ajaran islam dalam keluarga kami. Bahkan aku dan
adik-adikku juga bersekolah di sekolah islam. Ayah ingin aku menjadi seorang
ustad kelak. Beliau ingin suatu hari nanti aku bersekolah di Al Azhar Kairo,
Mesir.
Ayahku adalah seorang pengusaha. Ibu
juga berjualan kain sutra bugis. Awalnya kami tinggal di Watampone, Bone. Aku
juga lahir di sana tanggal 15 Mei 1942. Beliau memberi namaku dengan Muhammad
Jusuf Kalla. Ketika usiaku 10 tahun, kami terpaksa pindah ke Makasar. Karena
suasana di Bone yang sedang tidak kondusif dan sangat kacau. Terjadi kerusuhan
di sana. Rumah dan toko dibakar oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung
jawab.
Untuk menyelamatkan keluarga kami,
ayahku memilih pindah ke Makasar. Ayah memulai usaha beliau lagi di Makasar.
Beliau membeli sebuah ruko di Makasar. Di ruko itulah kami tinggal.
Alhamdulillah, usaha beliau berkembang dengan pesat.
“Kamu bersekolah di sekolah islam
saja ya, Nak,” saran ayahku ketika aku akan masuk SMP. Aku menurut. Karena aku
tahu, ayahku sangat ingin aku menjadi seorang ustad. Walau sebenarnya nilai
pelajaranku tentang agama tidak sebagus nilai pelajaran umum, tapi aku tetap
menghormati pilihan ayah. Aku ingin membahagiakan orangtuaku.
Lagi pula, bersekolah di sekolah
yang pelajaran agamanya sebanyak 70% tidaklah buruk. Aku jadi lebih banyak tahu
tentang isi Al Quran dan hadist.
“Kalian harus menjadi orang yang
taat beragama. Pekerja keras, jujur dan menghormati orang lain. Salah satu dari
sikap jujur itu adalah menjadi orang yang tidak melupakan janji atau mencederai
janji,” demikian ucapan yang sering diingatkan ayah pada aku dan adik-adikku.
Sama dengan ayahku, ibuku, Ibu Hj
Athirah, juga mengajarkan kami disiplin dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
Aku juga membantu ayah dan ibuku di rumah. Bahkan aku juga membantu beliau
berdagang sepulang sekolah. Jika tidak ada ada kegiatan lain, aku suka
menghabiskan waktuku dengan membaca buku.
Ayahku mengharapkanku menjadi
panutan bagi adik-adikku. Aku bahkan pernah mengantar ibuku ke bidan saat akan
melahirkan adik bungsuku. Karena saat itu ayah sedang tidak di rumah. Semua
tanggung jawab ayah, seolah sudah berpindah ke pundakku. Demikianlah orangtuaku
mengajarkan kami.
Rumah kami terletak bersebelahan
dengan masjid. Ayahku adalah salah satu pengurus masjid. Beliau menjabat
sebagai bendahara masjid. Di dalam naungan masjid juga aku tumbuh dan
berkembang. Aku bermain dan belajar di sekitar masjid.
“Masjid ini tempat pendidikanmu yang
pertama. Saat ini bapak ingin mengajarmu untuk mengurus keuangan masjid.
Catatlah semua pemasukan dan pengeluaran dari infak dan sadakah jamaah masjid,”
pinta ayahku suatu hari. Aku pun setuju. Aku menjadi pelaksana bendahara masjid
setelah ayah memintaku mengelola keuangan masjid.
Rasanya tidak begitu susah mengelola
keuangan masjid. Mungkin karena saat itu aku melakukannya dengan senang hati.
Apalagi keuangan yang masuk dan keluar saat itu tidak begitu banyak. Jadi
terasa amat mudah melaksanakan tugasku yang satu itu.
Dari menjadi pelaksana bendahara
masjid ini aku belajar mengelola uang. Kelak hal ini pasti akan sangat
membantuku dalam mewujudkan cita-citaku menjadi pengusaha.
***
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. ^_^