Pagi itu, aku bersama beberapa
temanku sedang sibuk membuat sebuah rakit. Kami akan melakukan ekspedisi Kali
Urang menuju Prambanan. Hal ini sudah lama kami rencanakan. Kami juga sudah
mempersiapkan semua kebutuhan kami dari beberapa hari yang lalu.
Sebelum berencana melakukan
ekspedisi ini, aku dan teman-temanku berdiskusi terlebih dahulu. Kami berembuk
untuk menentukan peralatan yang akan kami gunakan dalam melakukan ekspedisi
ini. Seperti yang kami lihat, beberapa orang pernah menggunakan rakit untuk
melewati Kali Urang.
Jadi kami berkesimpulan, bahwa
ekspedisi kami kali ini juga menggunakan rakit yang akan kami buat sendiri. Aku
dan Ikun, sahabatku, menata semua batang pisang yang sudah kamu siapkan.
Sedangkan temanku yang lain mengingat batang pisang itu dengan sangat kuat.
“Ikatannya dikencangin ya. Jangan
sampai terlepas nanti,” saranku.
“Siap kapten!” sahut teman-temanku.
Entah kenapa, teman-temanku seolah menobatkanku sebagai pemimpin mereka.
Padahal waktu itu aku masih kelas lima SD. Sedangkan beberapa temanku ada yag
sudah SMP.
Tanpa banyak bicara, kami membuat rakit dengan
bersemangat. Kuperhatikan setiap detil rakit yang kami buat. Aku tidak mau
nanti kami tenggelam, karena rakit buatan kami tidak kuat.
“Ayo! Dikit lagi mau selesai nih!”
teriakku memberikan semangat. Teman-temanku pun makin bersemangat menyelesaikan
rakit yang kami buat. Mereka seolah terbakar oleh semangat yang kuteriakkan.
Selain membuat rakit seperti hari
ini, aku juga mengumpulkan teman-temanku untuk membuat sebuah kelompok olah
raga sepak bola di kampungku. Aku menamakan kelompok sepak bola itu dengan
Kelabang. Singkatan dari Kelompok Anak Berkembang. Kami sering melakukan
kegiatan sepak bola bersama. Bahkan kami sering melakukan berbgai hal bersama
termasuk seperti yang akan kami lakukan saat ini.
“Oke! Rakit kita sudah selesai. Ayo
kita mulai ekspedisi kita,” ajakku ketika melihat rakit kami sudah berdiri
dengan kokoh. Teman-temanku bertepuk tangan dan saling adu telapak tangan
mereka di udara. Rasanya lega sekali melihat hasil kerja kami.
Petualangan seru sudah terbentang di
depan mata. Perbekalan pun sudah kami bawa dari rumah. Jadi tidak perlu
menunggu lagi untuk memulai petualangan ini. Kami pun bersama-sama mendorong
rakit itu ke Kali Urang dengan bersemangat. Lalu kami menaikinya dan mulai
mengarungi Kali Urang untuk perjalanan
ekspedisi kami. Arus deras kali Urang berhasil menghanyutkan kami menuju
Parambanan.
“Yuhuuu!” teriak kami bersemangat.
Kami mengarungi Kali Urang bagai petualang sejati. Teman-temanku memang percaya
padaku. Mereka selalu mengikuti semua yang kusarankan. Mungkin karena badanku
lebih besar dari badan mereka. atau mungkin juga karena hal lain.
Apalagi aku juga cukup sering
berkelahi dengan hampir semua anak laki-laki. Mereka menjulukiku pegulat
handal. Karena setiap berkelahi, aku hampir selalu memenangkannya. Jujur saja,
aku berkelahi bukan karena keinginanku untuk selalu berkelahi. Aku hanya
meladeni anak lain yang mulai menyerangku lebih dulu.
Aku selalu ingat pesan ayah, “ jika
aorang meyerangmu lebih dulu, maka kamu wajib membela diri. Ayah akan selalu
membelamu!”
Pesan ayahku itulah yang selalu
kuingat. Sehingga aku selalu berani menghadapi semua orang yang sengaja
mengajakku berkelahi. Mungkin karena keberanianku juga, semua temanku
menjadikanku sebagai pimpinan mereka. Sehingga semua saran dan ajakanku pasti
mereka ikuti.
Rakit yang kami tumpangi meluncur
dengan mulus di kali Urang. Drasnya arus Kali Urang membuat perjalanan kami
terasa makin seru. Sejauh ini kami sudah berlayar cukup jauh. Kukira mungkin
kami sudah menempuh jarak sepanjang sepuluh kilo meter. Karena sebentar lagi
kami akan sampai di sisi candi Prambanan.
Kami menikmati perjalanan dengan
sikap waspada. Walau demikian, sesekali kami bercanda dan menikmati petualangan
kami. Pepohonan di sepanjang bantaran kali seolah ikut memberikan semangat pada
kami. Sekilas, aku merasa mereka berkejar-kejaran satu sama lain untuk menyusul
kami. Ah, mungkin itu perasaanku saja. Tapi sungguh, aku merasa sangat
bersemangat saat ini.
“Ayo siap-siap menepi. Sebentar lagi
kita akan sampai di Prambanan,” ajakku ketika di kejauhan kulihat candi
prambanan menjulang tinggi. Sebentar lagi, ekspedisi kami akan berakhir. Dan
itu artinya, kami berhasil menaklukkan petualangan kami kali ini. Kami pun
bersiap mengayuh rakit untuk menepi ke pinggir sungai. Dadaku bergemuruh ketika
rakit yang kami tumpangi mulai menepi.Tak lama, rakit pun berhenti. Dan kami
pun melompat turun.
“Horeee! Berhasil!” teriak kami
serentak sambil tertawa lepas.
“Ekspedisi kita berhasil. Kita bisa
bertualang hingga ke Prambanan hanya dengan menggunakan rakit!” teriakku
gembira.
“Iya, ayo kita tos,” ajak Ikun. Kami
pun mengadu telapak tangan kami di udara. Rasa senang tdan bahagia memancar dari
suara tangan kami yang saling beradu.
“Kita istirahat dan makan bekal dulu
di sini,” ajakku sambil menunjuk sebuah lapangan yang tak begitu jauh dari
tempat kami merapatkan rakit. Lalu kami
mengeluarkan bekal masing-masing.
Selanjutnya bisa ditebak, perjalanan
yang menguras energi dan pikiran ini berhasil membuat kami kelapara. Kami pun
melahap bekal kami sampai tandas. Saat makan, kami benar-benar tanpa suara.
Terlihat betul rasa lapar yang sudah menguasai kami semua. Selesai makan, tak
lupa kami mencuci tangan dan merapikn tempat kami makan tadi. lalu kami pun
memutuskan untuk istirahat beberapa menit lagi.
“Eh, kok aku jadi kepikiran ya.
Bagaimana cara kita kembali ke rumah kita ya Nies?” tiba-tiba sebuah pertanyaan
meluncur dari salah satu temanku. Aku terdiam. Untungnya kami semua sudah
selesai makan. Jadi pertanyaan itu tidak membuat kami tersedak saat makan.
“Iya, ya. kita kan nggak mungkin
menggunakan rakit lagi untuk kembali. Itu sama saja melawan arus. Kita tidak
akan kuat mendayung rakit ini,” gumamku lirih.
“Ya ampun! Lalu bagaimana ini?”
sahut temanku yang lain. Mereka mulai panik.
“Ya, kita terpaksa jalan kaki,”
ucapku datar. Hanya satu itu pilihan kami. Kami tidak punya pilihan lain. Kami
tidak mempunyai uang untuk ongkos kembali ke rumah. Karena ketika kami
berangkat tadi, kami tidak berpikir kalau rakit kami tidak mungkin membawa kami
kembali ke rumah.
“Ya sudahlah. Kita jalan kaki.”
Teman-temanku terpaksa menyetujui saranku. Kami pun pulang dengan langkah
gontai. Tapi untuk menghilangkan rasa kesal, kami bercanda di sepanjang
perjalanan pulang. Sehingga berjalan sejauh kurang lebih dua belas kilometer,
tidak membuat kami merasa kecapean.
Kami sampai di rumah ketika malam
menjelang. Tapi hal ini menjadi pelajaran berharga selama hidup kami.
Berpikirlah dulu sebelum melakukan apa pun.
Ayahku bapak Rasyid Baswedan dan
ibuku ibu Aliyah, hanya tertawa mendengar ceritaku, begitu aku sampai di rumah.
“Mama sebenarnya sangat khawatir, karena Anies
belum pulang. Tapi, Mama bersyukur, Anies sudah di rumah sekarang,” ucap Ibu
sambil membelai kepalaku. Aku hanya tersenyum sambil menunduk.
Kedua orangtuaku adalah orang tua
terbaik di dunia. Mereka membebaskanku melakukan apa pun selama aku bertanggung
jawab dalam melakukannya. Rasa khawatir mereka bisa mereka redam ketika
melihatku berhasil menyelesaikan masalahku. Kuakui, aku sering membuat mereka
khawatir dengan seringnya aku terlibat perkelahian dengan anak lain.
Untungnya, mereka selalu berusaha
menahan diri untuk ikut campur melerai kami. Mereka ingin melihatku mengatasi
masalahku sendiri tanpa campur tangan orangtua. Kurasa, karena kepercayaan yang
mereka berikan itulah, aku menjadi berani dan percaya diri seperti sekarang
ini.
Waktu usiaku masih sekitar 7 tahun,
saat itu salah satu saudaraku berulang tahun. Seorang mahasiswa ibuku datang ke
rumah kami. Mahasiswa itu membawa sebuah kamera dan memotret momen bahagia kami
sekeluarga.
“Bagus betul kameranya ya Ma,”
ucapku ketika melihat mahasiswa itu memotret kami. Rasanya aku juga ingin bisa
seperti dia.
“Anies mau kamera seperti itu?”
tanya ayahku. Aku mengguk cepat.
“Insyaallah Anies bisa membelinya,
kalau tabungan Anies sudah cukup,” sela Ibu. Aku terdiam. Aku berjanji dalam
hati akan mengumpulkan uang jajanku. Ternyata Allah mengabulkan doaku. Setelah
aku disunat, aku mendapat banyak uang dari saudara dan kerabatku. Akhirnya aku
bisa membeli kamera yang kuinginkan.
Orangtuaku selalu mengajarkan kami
untuk menabung dulu jika menginginkan suatu benda. Namaku Anies Rasyid Baswedan,
aku lahir di kuningan, Jawa Barat, 7 Mei 1969. Begitulah kisah masa kecilku.
Semoga kalian bisa mengambil contoh yang baik dariku. Tinggalkan contoh yang
tidak baik ya.
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. ^_^