“Ummi, itu murid yang baru masuk dibuli sama si Raja.” Anisa berlari menghampiriku. Saat itu aku sudah mulai memperhatikan bacaan Iqro yang dibaca salah satu muridku. Aku segera menatap Anisa dengan tatapan bingung. Seingatku tidak ada murid baru masuk hari ini. Tapi Anisa meyakinkanku bahwa ada murid baru di kelasku yang sedang menangis karena dibuli oleh kakak kelasnya alias temannya Anisa.
“Cepetan Mi, kasihan itu!” suara Anisa terdengar khawatir.
Aku segera berdiri. “Sebentar ya sayang, Ummi lihat dulu siapa yang menangis.” Pamitku pada Aga, murid yang sedang membaca Iqro’. Aku bergegas keluar masjid. Kulihat seorang anak laki-laki mengenakan gamis hijau sedang terisak. Sepertinya dia menangis sudah cukup lama. Aku memeluk anak itu.
“Ada apa sayang. Kenapa menangis?”
“A a a ku dddilemmmpppar sssammma ddia,” ujarnya terbata. Sepertinya anak yang aku belum kenal namanya ini sedikit gagap. Aku menenangkannya dan mengajaknya ke kelas. Anisa dan beberapa murid lain mengikutiku. Kurasa wali kelas mereka belum datang. Jadi mereka belum mulai belajar.
“Raja tuh M. Aku lihat dia yang melempar adik ini beberapa kali. Padahal adik ini sudah menangis. Dia bukannya berhenti malah makin membuat adik ini menangis,” gerutu Anisa. Sejenak aku bingung, apa yang harus kulakukan? Raja adalah salah satu murid kelas Zaid bin Tabit yang cukup keras sifatnya. Dia hampir selalu menjawab nasehat yang diberikan kepadanya. Dia seolah merasa paling benar. Dia tidak peduli kalau gurunya sedang memberikan nasehat padanya.
Tapi aku harus tetap menemui Raja. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Karena kulihat anak yang bergamis hijau itu seperti masih trauma dan tidak berhenti menangis. Apalagi dengan kondisinya yang gagap saat bicara, kurasa dia tidak bisa menjelaskan detil kejadian yang membuat dia menangis.
Aku berdiri dan mencari Raja di luar masjid. Dia terlihat sedang bermain sama teman-temannya. Aku menghampiri mereka. Aku mengajak mereka bicara mengenai kejadian itu.
“Raja , boleh Ummi tahu ceritanya tentang adik yang menangis itu?”
“Dia yang duluan Mi!” Raja langsung menyerangku dengan kalimatnya. Aku menarik napas Panjang. Setelah meniupkannya perlahan, aku bertanya lagi pada raja dan temannya yang juga membela Raja. Mereka masih ngotot kalau mereka tidak bersalah. Mereka tidak mau menceritakan kronologi kejadian itu.
Aku tidak bisa membuang waktu, ada banyak murid yang sedang menungguku untuk membaca Iqro’. Aku akan sudahi saja percakapan dengan Raja ini.
“Baiklah sayang. Ummi sebenarnya hanya ingin tahu masalah awalnya di mana. Tapi karena kalian tidak menjawab sesuai pertanyaan Ummi. Ummi hanya ingin mengingatkan satu hal kepada kalian. Ummi tidak marah pada kalian. Hanya satu pesan ibu,” aku menarik napas dan mengembuskan dengan kencang. Rasanya dadaku sesak melihat tingkah Raja yang merasa tidak bersalah.
Aku berdoa dalam hati, Ya Allah… tolong bukakan pintu hati raja untuk menerima kesalahannya.
“Raja sayang, raja tahu kan kalau adik yang menangis tadi usianya jauh lebih kecil dari Raja? Kayaknya masih TK deh. Setahu Ummi, anak TK itu belum mengerti menjahili orang terlebih dahulu. Tapi jika pun benar dia bersalah, apa Raja tidak bisa memaafkan dia? Bukankah Allah dan RasulNya mencintai orang yang suka memaafkan?”
“Enak aja aku memaafkan dia!” Raja tidak terima dengan nasehatku.
“Baiklah. Kalau Raja tidak mau memaafkan adik itu, Ummi tidak bisa berbuat apa-apa. Karena Raja sudah tahu akibatnya kalau kita menyimpan kebencian di hati kita. Ummi hanya berdoa, semoga kelak tidak ada orang yang melakukan hal yang sama pada Raja. Tidak ada yang akan membuli Raja sampai kapan pun. Demikian juga doa Ummi untuk adik tadi. Semoga tidak ada lagi yang jahat pada dia. Tapi Ummi akan bersyukur sekali jika Raja mau minta maaf pada adik itu.”
Aku pun meninggalkan Raja kembali ke kelasku. Aku melihat anak bergamis hijau itu sudah lebih tenang meski dia masih terisak. Aku membisikkan sesuatu ke telinganya.
“Insyaallah kamu anak kuat. Nanti kita baca Iqro’ ya. Menangisnya sudah dulu ya?” Dia mengangguk sambil mengeluarkan buku tulis dan buku Iqro’nya. Aku kembali duduk di depan Aga dan melanjutkan menyimak bacaan Iqro’nya.
Lima belas menit kemudian, kulihat Raja menghampiriku. Dia menyodorkan tangannya sebagai permintaan maaf pada anak bergamis hijau. Maa Syaa Allah… air mata haru mengembun di pelupuk mataku. Allah mengabulkan doaku. Aku meraih tangan Raja dan menyodorkannya ke adik bergamis hijau. Adik bergamis hijau sepertinya masih belum bisa memaafkan Raja. Aku pun menggenggam tangan Raja.
“Alhamdulillah… Ummi bangga padamu, sayang. Terima kasih ya.” Aku memberikan senyum haru padanya.
“Tapi dia tidak mau memaafkan aku, Mi,” gerutunya.
“Insyaallah adik itu sudah memaafkan Raja. Mungkin dia masih takut untuk menerima jabat tangan Raja, sayang.” Aku membelai kepala Raja. Sepertinya anak itu mengerti dengan perkataanku. Dia pun pamit kembali ke kelasnya.
***
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. ^_^