Tadi pagi, seperti biasa, saya menemani Hauzan main di luar rumah. Saat menemani hauzan itulah saya biasanya berinteraksi dengan tetangga-tetangga saya. Sesekali kami saling bertegur sapa. Karena pagi hari adalah jam sibuk bagi semua orang, makanya Hauzan saya temani di luar rumah. Karena tidak ada anak seusianya di dekat rumah kami. Apalagi, teman-teman yang biasa main bersam Hauzan, sedang sekolah semua.
Ketika sedang asyik mengikuti Hauzan yang sedang bermain sepeda, salah satu tetangga menyapa Hauzan. Beliau sudah tua. Hauzan dan saya biasanya menyapa beliau dengan panggilan nenek. Nenek adalah wanita tua yang sangat rajin. Beliau pensiunan PNS di sebuah perguruan tinggi di Palembang. Saat ini beliau pindah ke Bekasi, agar bisa dekat dengan anak beliau. Beliau rela menjual rumahnya yang di Palembang, demi membeli rumah di Bekasi.
Nenek sangat pintar memasak. Beberapa kali beliau mengirim makanan khas Palembang ke rumah saya. Beliau memasaknya sendiri! Padahal usia beliau sudah lebih dari 70 tahun. Setiap pagi, kalau beliau sehat, saya melihat beliau menjemur pakaian di luar rumah. Lalu membersihkan sangkar burung peliharaan beliau. Beliau memang memelihara banyak burung dan seeokr kucing anggora. Begitulah kegiatan beliau tiap pagi.
Pagi itu, seperti biasa, Nenek sudah rapi. Beliau memang selalu rapi setiap hari. Beliau mengajak saya ngobrol tentang tukang yang sedang mengecat rumahnya. Obrolan kami pun cukup panjang. Hingga tanpa sengaja Nenek bercerita tentang penyakitnya. Saya sebenarnya sudah sering mendengar dari beliau tentang penyakitnya itu. Tapi kali ini, beliau bercerita sambil menangis. Menceritakan betapa beliau sangat ingin anak-anak beliau memperhatikannya.
Kebetulan 2 anak beliau laki-laki. Mereka sudah berkeluarga. Salah satunya tinggal bersama Nenek. Saya sempat berpikir, alangkah enaknya menjadi menntu Nenek. Karena setiap hari Nenek tidak pernah bisa diam. Ada saja yang dilakukannya. Beliau menyapu, menyetrika, mengepel. Bahkan beliau memasak sarapan untuk anak cucunya. Beliau juga sering membuat cemilan berupa roti atau lainnya untuk mereka. Sesekali beliau mengirimnya ke rumah untuk Hauzan.
Sayangnya menantu nenek tidak begitu memperhatikan kesehatan dan makanan beliau. Sehingga suatu hari nenek muntah-muntah setelah makan udang. Menurut nenek beliau alergi dengan udang. Tapi karena sangat lapar, karena sudah dua hari beliau tidak bisa makan, beliau pun memakan udang tersebut. Akibatnya, beliau muntah dan badannya merah-merah.
Ketika beliau mengatakan pada anaknya, anaknya malah membela istrinya. Saat bercerita tentang hal itulah air mata mengalir di pipi keribut Nenek.
"Aku hanya ingin anakku memperhatikanku. Itu saja. Masa dia nggak tahu kalau aku alergi udang? malah dia mengancam akan pergi meninggalkanku jika aku masih saja mengeluh. Aku nggak mengeluh! Aku ini sakit!" ucap Nenek dengan suara bergetar.
"Aku bingung, sepertinya aku tidak dianggap di rumahku sendiri. Menantuku kalau mau pergi ya, pergi saja. Nggak pernah pamit. Kadang aku juga ingin mendengar dia pamit. Aku juga ingin tahu dia pergi ke mana? Tapi kemarin itu, setelah aku diancam, aku langsung marah. Aku nggak pernah marah. Tapi hari itu aku marah. Aku katakan semua yang ada di pikiranku," ujar Nenek sambil mengusap air matanya.
Saya hampir saja ikut menangis. Segera saya tenangkan Nenek. Saya hanya bisa menghibur beliau. Saya sarankan agar beliau mengatakan semua keinginan beliau kepada anak-anaknya. Jangan memendamnya. Karena Nenek sering sekali sakit Mag. Kadang beliau nggak bisa makan sampai berhari-hari, karena sakit magnya kambuh.
Saya pikir, sakit mag beliau berasal dari pemikiran beliau. Karena beliau tidak mengungkapkan perasaan beliau yang sebenarnya pada anak-anaknya.
"Aku memang nggak banyak ngomong," demikian alasan nenek. Saya hanya bisa menenangkan Nenek. Memberikan kalimat-kalimat agar beliau sabar dan ikhlas. Saya hanya bisa berdoa, agar anak dan menantu beliau bisa lebih mengerti dengan ibunya. Agar mereka lebih sering memperhatikan keinginan ibu mereka. Karena orangtua tetaplah orangtua. Suatu hari kita akan menjadi tua. Jika kita tidak ingin diperlakukan buruk di masa tua, maka berlaku baiklah pada orangtua kita.
Setelah mendengar cerita Nenek, saya jadi merenung. Mungkin sebagian orangtua bisa mengungkapkan keinginan mereka pada anak-anaknya. Tapi tidak dengan yang lain. Saya mendapat pelajaran pagi ini. Saya harus sering-sering bertanya kepada papa saya tentang perasaan beliau. Terima kasih sudah mengingatkan saya dengan cerita-mu ya, Nek. Semoga saya bisa lebih sering lagi bertanya pada orangtua saya tentang keinginan beliau.
Ketika sedang asyik mengikuti Hauzan yang sedang bermain sepeda, salah satu tetangga menyapa Hauzan. Beliau sudah tua. Hauzan dan saya biasanya menyapa beliau dengan panggilan nenek. Nenek adalah wanita tua yang sangat rajin. Beliau pensiunan PNS di sebuah perguruan tinggi di Palembang. Saat ini beliau pindah ke Bekasi, agar bisa dekat dengan anak beliau. Beliau rela menjual rumahnya yang di Palembang, demi membeli rumah di Bekasi.
Nenek sangat pintar memasak. Beberapa kali beliau mengirim makanan khas Palembang ke rumah saya. Beliau memasaknya sendiri! Padahal usia beliau sudah lebih dari 70 tahun. Setiap pagi, kalau beliau sehat, saya melihat beliau menjemur pakaian di luar rumah. Lalu membersihkan sangkar burung peliharaan beliau. Beliau memang memelihara banyak burung dan seeokr kucing anggora. Begitulah kegiatan beliau tiap pagi.
Pagi itu, seperti biasa, Nenek sudah rapi. Beliau memang selalu rapi setiap hari. Beliau mengajak saya ngobrol tentang tukang yang sedang mengecat rumahnya. Obrolan kami pun cukup panjang. Hingga tanpa sengaja Nenek bercerita tentang penyakitnya. Saya sebenarnya sudah sering mendengar dari beliau tentang penyakitnya itu. Tapi kali ini, beliau bercerita sambil menangis. Menceritakan betapa beliau sangat ingin anak-anak beliau memperhatikannya.
Kebetulan 2 anak beliau laki-laki. Mereka sudah berkeluarga. Salah satunya tinggal bersama Nenek. Saya sempat berpikir, alangkah enaknya menjadi menntu Nenek. Karena setiap hari Nenek tidak pernah bisa diam. Ada saja yang dilakukannya. Beliau menyapu, menyetrika, mengepel. Bahkan beliau memasak sarapan untuk anak cucunya. Beliau juga sering membuat cemilan berupa roti atau lainnya untuk mereka. Sesekali beliau mengirimnya ke rumah untuk Hauzan.
Sayangnya menantu nenek tidak begitu memperhatikan kesehatan dan makanan beliau. Sehingga suatu hari nenek muntah-muntah setelah makan udang. Menurut nenek beliau alergi dengan udang. Tapi karena sangat lapar, karena sudah dua hari beliau tidak bisa makan, beliau pun memakan udang tersebut. Akibatnya, beliau muntah dan badannya merah-merah.
Ketika beliau mengatakan pada anaknya, anaknya malah membela istrinya. Saat bercerita tentang hal itulah air mata mengalir di pipi keribut Nenek.
"Aku hanya ingin anakku memperhatikanku. Itu saja. Masa dia nggak tahu kalau aku alergi udang? malah dia mengancam akan pergi meninggalkanku jika aku masih saja mengeluh. Aku nggak mengeluh! Aku ini sakit!" ucap Nenek dengan suara bergetar.
"Aku bingung, sepertinya aku tidak dianggap di rumahku sendiri. Menantuku kalau mau pergi ya, pergi saja. Nggak pernah pamit. Kadang aku juga ingin mendengar dia pamit. Aku juga ingin tahu dia pergi ke mana? Tapi kemarin itu, setelah aku diancam, aku langsung marah. Aku nggak pernah marah. Tapi hari itu aku marah. Aku katakan semua yang ada di pikiranku," ujar Nenek sambil mengusap air matanya.
Saya hampir saja ikut menangis. Segera saya tenangkan Nenek. Saya hanya bisa menghibur beliau. Saya sarankan agar beliau mengatakan semua keinginan beliau kepada anak-anaknya. Jangan memendamnya. Karena Nenek sering sekali sakit Mag. Kadang beliau nggak bisa makan sampai berhari-hari, karena sakit magnya kambuh.
Saya pikir, sakit mag beliau berasal dari pemikiran beliau. Karena beliau tidak mengungkapkan perasaan beliau yang sebenarnya pada anak-anaknya.
"Aku memang nggak banyak ngomong," demikian alasan nenek. Saya hanya bisa menenangkan Nenek. Memberikan kalimat-kalimat agar beliau sabar dan ikhlas. Saya hanya bisa berdoa, agar anak dan menantu beliau bisa lebih mengerti dengan ibunya. Agar mereka lebih sering memperhatikan keinginan ibu mereka. Karena orangtua tetaplah orangtua. Suatu hari kita akan menjadi tua. Jika kita tidak ingin diperlakukan buruk di masa tua, maka berlaku baiklah pada orangtua kita.
Setelah mendengar cerita Nenek, saya jadi merenung. Mungkin sebagian orangtua bisa mengungkapkan keinginan mereka pada anak-anaknya. Tapi tidak dengan yang lain. Saya mendapat pelajaran pagi ini. Saya harus sering-sering bertanya kepada papa saya tentang perasaan beliau. Terima kasih sudah mengingatkan saya dengan cerita-mu ya, Nek. Semoga saya bisa lebih sering lagi bertanya pada orangtua saya tentang keinginan beliau.
Terima kasih sudah diingatkan juga mbak
ReplyDelete