Saya pernah melakukan ini. Waktu itu ada sms dari teman putri saya. Sms itu bunyinya membuat saya tersinggung sebagai ibu. Tanpa bertanya pada anak saya, saya langsung menjawab sms itu dengan kalimat menasehati, khas emak-emak.
Yang terjadi kemudian, anak saya marah pada saya. Karena temannya meledeknya habis-habisan. Mereka mengatakan bahwa putri saya persis emak-emak bawel. Putri saya nggak suka disebut seperti itu, karena dia memang tidak begitu. Bukan dia yang menjawab sms temannya itu. Walau dia sudah menjelaskan ke temannya. Tetap saja cap sebagai emak-emak bawel menempel padanya.
Saya minta maaf dan menjelaskan alasan saya menjawab sms dari temannya itu. Untunglah anak saya memaafkan. Tapi saya merasa tidak enak hati karena kejadian itu. Saya berjanji tidak akan menyamar menjadi anak saya lagi.
Yang terjadi kemudian, anak saya marah pada saya. Karena temannya meledeknya habis-habisan. Mereka mengatakan bahwa putri saya persis emak-emak bawel. Putri saya nggak suka disebut seperti itu, karena dia memang tidak begitu. Bukan dia yang menjawab sms temannya itu. Walau dia sudah menjelaskan ke temannya. Tetap saja cap sebagai emak-emak bawel menempel padanya.
Saya minta maaf dan menjelaskan alasan saya menjawab sms dari temannya itu. Untunglah anak saya memaafkan. Tapi saya merasa tidak enak hati karena kejadian itu. Saya berjanji tidak akan menyamar menjadi anak saya lagi.
Tapi benarkah saya bisa seperti itu? Ternyata sangat susah. Apalagi ketika saya menemukan file cerita milik putri saya di komputer rumah kami. File itu sangat banyak. Sayangnya dari sekian file cerpen dan novel anak yang ditulis putri saya, hanya sebagian saja yang sudah rampung.
Yang sudah rampung itu, segera saya kirim ke penerbit dan alhamdulillah sudah diterbitkan. Nah, saya geregetan melihat naskah-naskah yang belum kelar itu. Ada yang masih satu halaman, ada yang sudah sampai 3 halaman untuk cerpen. Ada juga yang sudah 20 halaman untuk novel. Saya lalu meminta anak saya menyelesaikannya. Sayangnya anak saya menolak. Karena saat itu usianya sudah bukan usia anak SD lagi. Apalagi saat itu dia sedang banyak kegiatan di sekolahnya (saat itu dia sudah SMP).
Karena saya sangat ingin melihat naskah itu selesai dan diterbitkan, maka saya kemali menyamar menjadi putri saya. Saya selesaikan beberapa cerpen yang sudah ditulis sekitar 3 halaman. Saya kumpulkan cerpen-cerpen itu. Saya berniat akan mengirimkannya ke sebuah penerbit.
Tapi, untunglah saya segera ingat. Bahwa saya berjanji tidak akan menyamar menjadi anak saya lagi. Akhirnya file kumcer yang sudah saya rapikan itu, masih tersimpan rapi di file komputer kami.
Dalam kehidupan ini, mungkin sebagai orangtua, kita ingin anak kita melakukan ini dan itu sesuai dengan yang kita inginkan. Tapi jika mereka tidak mau melakukannya, maka kita akan melakukan berbagai macam cara agar mereka mau melakukannnya. Mulai dari memberi mereka hadiah hingga (kadang) memaksa mereka untuk melakukan hal yang kita inginkan itu.
Sebagai contoh, ketika kita ingin anak bisa memperoleh nilai bagus di rapornya. Kita akan memaksa anak untuk mengikuti les ini itu. Atau lebih parahnya lagi, kita sendiri yang mengerjakan PR atau tugas yang diberikan gurunya. Itu sama seperti saya tadi, kita menyamar menjadi anak.
Jika hal ini terjadi, coba tanyakan ke lubuk hati kita yang paling dalam. Apakah keinginan kita sama dengan keinginan anak kita? Apakah mereka suka melakukan perintah ibu/bapaknya? Apakah mereka tidak merasa terbebani dengan keinginan orangtua mereka?
Lalu sudahkah kita memikirkan, jika kita menyamar menjadi anak kita, apa yang akan terjadi pada mereka nanti? Akankah mereka senang, atau merasa terbebani?
Anak-anak kita adalah pribadi yang berbeda dengan kita. Mereka pasti punya keinginan dan cita-cita sendiri. Sebagai orangtua, kita hanya bisa mengarahkan dan mendukung dan mengawal pilihan mereka. Kita bisa menjelaskan baik, buruk, untung, ruginya sebuah pilihan. Setelah itu biarkan mereka yang menentukannya. Lalu kita jaga dan kawal agar mereka tidak melakukan kesalahan dengan pilihan mereka.
Wahai bunda dan ayah, berhentilah menyamar menjadi anak sendiri. Biarkanlah mereka dengan keinginan dan kemampuan mereka. Agar ananda tumbuh menjadi seorang yang mandiri, kreatif dan berwawasan luas.
Jika ternyata mereka gagal dalam menjalankan pilihan mereka, beri mereka kekuatan untuk bangkit dan memulai kembali. Karena tidak ada kegagalan dalam setiap pilihan. Yang ada adalah proses belajar untuk menjadi yang terbaik.
Ajari anak-anak untuk menjadi dirinya sendiri ya mbak, terima kasih sudah diingatkan
ReplyDeleteBetul Mbak Lidya. Ini untuk saya juga. Kadang susah utuk tidak ikut campur urusan mereka. ^_^
Deleteiya...anak2 sudah punya keinginan sendiri ya mba...
ReplyDelete