Sunday, December 8, 2013

Jika Anda Miskin, Sebaiknya Anda Jangan Sakit



Jika Anda Miskin, Sebaiknya Anda Jangan Sakit
                   Nelfi Syafrina
            Selasa 2 oktober 2012 lalu, setelah azan subuh, saya mendapat telepon dari istri adik ipar saya. Sebut saja namanya Tata. Tata menangis ditelepon sambil mengatakan kalau suaminya sedang kritis di salah satu rumah sakit di Cibinong. Menurutnya, suaminya muntah-muntah dan hampir pingsan. Karena ingin segera memberikan pertolongan pada suaminya, Tata yang hanya membawa uang seadanya segera melarikan suaminya ke UGD tersebut.
Ternyata pertolongan yang diharapkannya tidak didapatkannya. Petugas UGD rumah sakit itu memang menolong adik ipar saya dengan memberi oksigen dan obat-obatan yang harganya sesuai dengan uang yang dibawa saat itu. Obat itu berupa tablet. Menurut dokter yang memeriksa saat itu, adik ipar saya ini mengalami serangan jantung.
            Mereka memberikan resep obat suntikan kepada Tata. Obat itu menurut mereka harus segera disuntikkan pada pasien, untuk mengantisipasi serangan jantung berikutnya. Sayangnya karena Tata tidak membawa uang lebih, resep obat itu tidak bisa ditebusnya.  Walau Tata memohon dan menitipkan handphonenya sebagai jaminan, tetap saja obat yang seharga 400 ribuan itu tidak bisa diperolehnya.
            Alhasil, adik ipar saya 'terpaksa' menerima keadaannya dan harus menerima sakitnya serangan jantung berikutnya dihadapan dokter dan petugas UGD. Tata tidak berani pulang untuk mengambil uang, karena dia takut kejadian buruk menimpa suaminya. Dia hanya bisa menangis sambil berusaha menelepon mencari bantuan.
“Uni harus segera ke sini. Saya takut kenapa-napa dengan suami saya,” isaknya di telepon.
            Setelah menerima telepon dari Tata, saya dan suami segera menuju rumah sakit tempat adik kami dirawat. Beribu perasaan berkecamuk dalam hati dan pikiran kami. Karena kami berada di Bekasi, maka waktu terasa sangat lama untuk menuju ke Cibinong.
            Ketika sampai di rumah sakit itu, saya segera menebus resep obat yang harusnya sudah 3 jam yang lalu diberikan. Sungguh susah menahan rasa gusar, kesal dan entah apalagi perasaan saya waktu itu. Saya harus kembali mengantri di apotik dan kasir yang pagi itu cukup ramai.
             Akhirnya obat pun berhasil saya dapatkan. Ketika saya menyerahkan obat itu pada petugas UGD yang saya kira perawat, petugas itu menyuruh petugas lain menyuntikkan obat itu pada adik ipar saya. Alangkah kagetnya saya ketika petugas yang diminta menyuntikkan obat, berkata pada temannya bahwa dia belum pernah menyuntikkan obat jenis itu sebelumnya.
“Gue belum pernah nyuntikin ini. Gimana caranya?” gumam perawat berseragam UGD itu pada temannya.
 Hampir saja saya berteriak dan merampas obat itu dan menyuntikkan sendiri pada adik ipar saya. Perawat seperti apa yang tidak bisa menyuntikkan obat secara subcutan di daerah umbilicus? Saya sudah melakukan hal itu semenjak saya masih di bangku pendidikan! Walau saya sudah tidak bekerja sebagai perawat lagi, tapi saya masih mampu menyuntikkan sendiri obat itu untuk adik ipar saya.
            Apa mereka tidak merasa malu, bertugas di UGD tanpa kemampuan memadai seperti itu? Menyuntikkan obat secara subcutan saja mereka tidak bisa, bagaimana dengan yang lain? Kenapa mereka bisa diterima bekerja di ruang UGD yang seharusnya memiliki keahlian dan pengalaman melakukan tindakan medis.
Sungguh saya hampir meledak saat itu. Tapi saya segera istighfar dan berusaha menenangkan diri. Saya masih berpikir positif, mungkin mereka adalah mahasiswa yang sedang praktek. Walau seharusnya mahasiswa yang sedang praktek itu harus di dampingi terlebih dahulu jika mereka belum bisa melakuka hal itu, tapi saya masih berusaha untuk berbaik sangka.
            Obat suntik itu pun akhirnya disuntikkan juga kepada adik ipar saya oleh perawat yang lain. Saya berdoa dalam hati, agar Allah mempermudah proses obat itu bekerja untuk kesembuhan adik ipar saya. Selanjutnya saya bertanya kepada petugas yang saya kira perawat tadi tentang kelanjutan pengobatan adik ipar saya. Ternyata petugas yang saya kira perawat itu adalah dokter jaga di rumah sakit itu.
Dokter perempuan itu tidak mengenakan jas warna putih layaknya dokter. Dokter itu juga tidak mengenakan name tag agar orang mengenalnya sebagai dokter. Mungkin ciri khas dokter dengan jas dokternya memang tidak di haruskan di rumah sakit tersebut. Tapi setidaknya menurut saya, dia harus mengenakan sesuatu yang memperlihatkan pada orang lain, bahwa dialah dokter jaga saat itu.

            Sang dokter dengan wajah tidak ramahnya mengatakan kalau adik ipar saya mengalami penyempitan pembuluh darah jantung. Dia harus dirawat di ICU, sayangnya mereka tidak memiliki dokter spesialis jantung di rumah sakit itu. Sang dokter meminta saya mencari rumah sakit lain untuk dirujuk.
Bahkan dokter yang saya pikir seharus memberikan penjelasan yang masuk akal pada pasien dan keluarganya ini, dengan teganya menakut-nakuti saya bahwa penyakit adik ipar saya ini sudah parah dan harus dipasang cincin di jantungnya. Cincin itu berharga ratusa juta.  Cara penyampaiannya itu membuat saya menjadi khawatir luar biasa. Mana hati nuraninya sebagai dokter? Apakah dia tidak bisa membicarakan hal ini dengan santun dan penuh simpati?
Walau sedikit bingung dengan perkataan dokter itu tentang tidak adanya dokter spesialis jantung di rumah sakit sebesar ini, tapi dengan sangat senang hati saya mencari rumah sakit lain. Saya pun memindahkan adik saya ke rumah sakit lain, yang mempunyai fasilitas ICU dan dokter jantung.
            Seminggu menjalani perawatan di rumah sakit, adik ipar saya pun diijinkan pulang. Sayangnya sebelum pulang, dokter yang merawatnya menyarankan untuk operasi jantung dengan memasang ring di pembuluh darah jantungnya seperti saran dokter di UGD tempo hari. Biayanya sekitar 30 juta untuk satu buah ring. Sungguh harga yang fantastis bagi seorang pedagang keliling seperti adik ipar saya.
Tapi kembali kami serahkan semuanya pada Allah. Hanya Allah tempat kembali semua urusan. Allah yang mengizinkan penyakit itu menyerang adik ipar saya, tentu Allah juga yang memberikan penyembuhan terhadap penyakit itu. Saya meminta Tata, istrinya utuk menjaga makanan yang dimakan suaminya setelah dia di rumah nanti. Memberikan diet ketat rendah lemak pada suaminya, merupakan salah satu keharusan yang dilakukannya mulai saat ini.
Tata menurut. Selain dengan diet, kami memberikan herbal habbatussauda, sari kurma dan madu pada adik ipar untuk menjaga kesehatannya. Alhamdulillah operasi yang kami khawatirkan tidak perlu kami lakukan. Atas izin Allah, adik ipar saya sembuh dari penyakit jantung dengan memperbanyak berzikir dan shalat malam serta menjaga dietnya. Dia sehat tanpa harus melalui operasi yang harganya ratusan juta rupiah.
Semoga kisah ini bisa membuka mata pemerintah dan pemilik rumah sakit, para dokter dan petugas administrasi rumah sakit untuk mempermudah orang miskin mendapatkan pertolongan pertama.
Saya juga pernah bekerja di rumah sakit swasta sebagai perawat, setidaknya pelayanan dokter dan perawat di rumah sakit tempat saya bekerja dulu, saat menjelaskan penyakit pada pasien lebih baik dan lebih berempati dibanding dengan pelayanan yang saya lihat di rumah sakit tempat adik ipar saya mendapatkan pertolongan pertama ini. Semoga kisah ini juga bisa menjadi hikmah bagi pasien lainnya. []

*Artikel ini diikutsertakan dalam lomba blog FPKR

4 comments:

  1. MBak Nelfi keren deh isi artikel lombanya, pantas jadi pemenangnya. Selamat ya :)

    ReplyDelete
  2. Kisah yang penuh hikmah, Bunda...
    Alhamdulillah, sang adik ipar telah sembuh dari penyakitnyaa...

    berikut artikel yang saya tulis pada lomba blog kemarin, tapi belum beruntung lolos :)
    http://asagienpitsu.wordpress.com/2013/12/11/wasor-tb-pejuang-kesehatan-di-balik-layar/

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih udah mampir Mbak Ania. Iya, Alhamdulillah adik ipar saya sudah sembuh. Kebetulan saja artikel saya menang. Semoga lain kali Mbak Ania bisa menang di lomba lain. ^_^

      Delete

Terima kasih sudah berkunjung. ^_^