Namaku Natsume Okada. Saat ini aku duduk di lobi sekolahku, menunggu Ayah menjemputku. Di luar hujan salju sudah mulai turun. Aku berharap Ayah segera datang agar kami bisa sampai di rumah sebelum malam. Karena aku ingin menata panggung boneka untuk perayaan Hinamatsuri besok.
Semalam aku membantu Ayah mengeluarkan panggung boneka dari gudang. Panggung itu nanti akan diisi oleh sepasang boneka kaisar dan permaisuri, dayang-dayang dan para penari. Aku taksabar menunggu esok tiba. Setiap tahun, kami selalu memperingati perayaan Hinamatsuri.
Menurut Ayah, perayaan ini bertujuan untuk mendoakan anak perempuan di setiap keluarga. Jadi tidak semua keluarga memperingati hinamatsuri, hanya keluarga yang memiliki anak perempuan saja. Nanti malam pasti pesanan kue hishimochi sudah datang. Aku akan menata kue berbentuk belah ketupat itu di atas panggung boneka.
Dari jauh aku melihat mobil bak terbuka milik Ayah sudah memasuki halaman sekolah. Aku bergegas menghampiri Ayah.
“Ayo kita pulang sayang, sepertinya akan turun badai salju!” ucap Ayah ketika aku sampai di dekat mobil. Aku bergegas masuk ke dalam mobil. Ayah segera menyalakan mobil dan mobil kami pun melaju di jalan raya. Hujan salju turun makin deras. Kaca mobil sudah diselimuti salju. Beberapa menit berjalan, tiba-tiba kami dihadang macet. Puluhan mobil mengantri di jalan seolah takmau bergerak.
“Kenapa macet sekali sore ini?” gumam Ayah khawatir. Baru saja Ayah menjawab telepon dari nenek yang mengatakan akan turun hujan salju.
“Tunggu di sini ya sayang, Ayah akan melihat keadaan di depan sana.” Beliau turun dari mobil. Aku menggangguk. Sebelum keluar dari mobil, Ayah mengenakan jaket yang disampirkannya di atas jok. Walau beliau sudah mengenakan jaket, tapi ketika turun hujan salju seperti ini kami harus memasang lagi jaket tambahan agar badan kami tetap hangat.
Aku melihat Ayah berlari ke arah depan dan menyelinap di antara mobil-mobil yang terjebak macet. Aku menunggu dengan gelisah. Sesekali aku menarik napas panjang untuk menenangkan diriku. Taklama kemudian ayah kembali.
“Ternyata ada timbunan salju di depan sana. Kita harus segera pergi dari sini, sebelum badai salju datang. Ayo sayang, kita berjalan kaki saja ke jalan di seberang sana,” ajak Ayah. Aku menurut. Sayangnya aku hanya mengenakan satu jaket. Ayah membuka jaketnya dan memakaikannya padaku.
Kami pun berjalan melintasi salju yang mulai menggunung di jalanan. Hujan salju semakin deras. Angin kencang diiringi ribuan tetes salju menerpa badanku. Ayah mengajakku berlari kecil.
Hawa dingin menusuk kulitku. Aku berusaha untuk terus berlari. Kakiku terasa kaku. “Kita ke sana saja,” ajak Ayah ketika melihat sebuah gudang di tepi jalan. Aku mengikuti langkah Ayah. Tiba-tiba dari depan kami angin kencang berikut salju datang menerjang.
“Awas Natsume!” teriak Ayah sambil memelukku. Beliau melindungi badanku dengan tubuhnya. Badai salju menghantam badan Ayah. Tembok gudang tidak cukup kuat menutupi kami. Ayah menggigil menahan dingin yang menusuk kulit. Begitu juga denganku.
“Ayah, pakai saja lagi jaket ini,” aku mencoba membuka jaketku.
“Jangan sayang, kamu harus tetap memakainya. Kita di sini dulu sampai badai salju reda,” ujar Ayah lemah. Aku menangis. Hari sudah malam. Tak seorang pun terlihat di tengah badai salju ini. Namun Ayah masih memelukku. Beliau berusaha menghangatkan badanku yang menggigil kedinginan. Kalau kuperkirakan suhu saat ini dibawah 0 derajat celsius. Cukup lama badai salju melanda. Tapi kenapa aku tidak mendengar suara Ayah? Aku masih meringkuk menahan dingin, mungkin Ayah tertidur. Aku pun berusaha tidur dalam dekapan Ayahku.
Aku terbangun ketika merasakan badan Ayahku bertumpu di punggungku. Aku membangunkan Ayah. “Ayah, badainya sudah berlalu, ayo kita jalan lagi.”
Ayah takmenyahut. Aku mengguncang badannya, tiba-tiba dia terjatuh. Aku terpekik dan menangis. “Ayah... bangun!”
Aku buru-buru meraba nadi Ayah, takkurasakan denyut jantungnya di situ. Lalu aku mendekatkan wajahku ke bawah hidungnya. Hangat napasnya pun tak terasa. Aku panik, aku tidak mau kehilangan ayah. Aku memberikan napas buatan seperti yang pernah kupelajari di sekolah. Lalu aku menekan dada beliau berulang kali menggunakan dua tanganku. Kuulangi hal itu hingga beberapa kali.
“HUK...HUK...,” ayahku terbatuk. Aku lega. Ayah berhasil kuselamatkan. Aku buru-buru melepas jaketku dan memakaikannya pada Ayah. Untunglah beberapa menit kemudian polisi datang. Mereka sedang memeriksa korban badai salju semalam. Mereka membawa kami ke rumah sakit.
“Sayang, terima kasih telah menyelamatkan Ayah. Itulah sebenarnya hakikat dari Hinamatsuri. Kau putri sejati keluarga kita,” ucap ayah lemah ketika kami dalam perjalan ke rumah sakit. Hinamatsuri kali ini kami rayakan di rumah sakit. [NS]
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. ^_^