Beberapa bulan lalu, anak saya, Hikmal 13 tahun,
meminta uang pada saya. Uang itu untuk membayar uang temannya yang hilang.
Sebelum memberikan uang, saya tentu bertanya. Bagaimana kronologinya sampai
Hikmal diminta membayar.
Hikmal pun bercerita. Awalnya ada acara di sekolah, dia dan
satu temannya yang lain diminta guru untuk menggeser bangku di ruang kelas yang
akan digunakan untuk tempat acara. Setelah semua pekerjaan selesai, salah satu
kakak kelasnya bertanya tentang uangnya yang hilang.
Uang itu diletakkan di kantong jas almamater sekolah yang
sudah berpindah tempat. Karena saat kejadian yang memindahkan bangku dan
lainnya adalah Hikmal, maka kakak kelas itu yakin Hikmal dan temannya yang mengambil
atau menghilangkan uang tersebut.
Jumlahnya memang tidak banyak. Rp 60.000,- saja. Anak saya
dan temannya harus mengganti uang yang hilang itu. Masing-masing membayar
Rp30.000,- . Saya lalu bertanya pada anak saya.
“Abang melihat uang itu, nggak?”
“Nggak.”
“Teman abang melihat uang itu, nggak?”
“Nggak.”
“Jadi kalian berdua tidak tahu ada uang di dalam kantong jas
tersebut?”
“Nggak tahu.”
“Sudah dikasih tahu ke kakak kelas kalau kalian tidak
melihat uang itu. dan tidak tahu kalau ada uang di dalam kantongnya?”
“Sudah. Tapi dia tetap memaksa kalau kami harus
menggantinya.”
“Kenapa harus mengganti? Kan Abang nggak melihat dan nggak
tahu kalau ada uang di kantongnya kan? Apa abang yakin kalau uang itu
benar-benar ada di kantongnya? Bisa saja dia nggak bawa uang, tapi dibilang
bawa. Atau uangnya udah hilang di tempat lain, tapi dibilang di dalam kelas.
Atau bisa juga uangnya udah dipakai, tapi karena takut dimarahin orangtuanya,
dibilang kalian yang mengambil atau menghilangkannya.”
Anak saya terdiam. Saat ini saya hanya ingin menanamkan
sebuah prinsip padanya. Kalau kita benar, maka kita harus teguh pendirian bahwa
kita benar. Kita harus memegang prinsip yang kita yakini benar. Tentunya selama
prinsip itu adalah prinsip baik. Hal-hal semacam ini sangat perlu kita yakinkan
pada anak, agar dia berani berkata benar, walau apa pun nanti yang akan
menimpanya.
Seperti kasus anak saya, setelah saya nasehati seperti itu,
setiap hari kakak kelasnya itu membuli dan memaksa untuk diberikan uang.
Lama-lama anak saya kesal juga, hingga akhirnya temannya yang sama-sama disuruh
membayar itu, terpaksa memberikan uang yang diminta.
Alasannya karena malas
ditagih terus. Anak saya sudah hampir menyerah juga. Dia juga malas ditagih
terus, seperti seorang yang punya banyak utang. Dia memberi tahu saya, bahwa
dia akan menyerah saja dan akan memberikan uang yang diminta kakak kelasnya
itu.
Saya terpaksa turun tangan. Rasanya hal ini tidak bisa
dibiarkan. Bagi saya, bukan masalah untuk memberikan uang 30.000,- jika memang
anak saya melakukan kesalahan. Hal ini terjadi di sekolah, anak saya juga sudah
melaporkannya pada wali kelas. Tapi ternyata hasilnya masih seperti ini. Saya
pun mendatangi wali kelas anak saya.
Saya ceritakan keberatan saya untuk membayar uang yang
diminta kakak kelas anak saya. Saya hanya ingin anak saya teguh pada prinsipnya
bahwa dia tidak bersalah dan tidak mengambil uang kakak kelasnya itu.
Ternyata menurut wali kelas, hal itu sudah selesai di hari
yang sama. Anak yang kehilangan uang sudah setuju bahwa dia tidak akan meminta
ganti. Wali kelas malah kaget karena ternyata kasusnya masih berlanjut. Beliau
pun minta maaf pada saya dan akan segera menyelesaikan kasus ini.
“Mungkin ananda nggak berani bilang ke saya karena kuatir
disebut sebagai pengadu,” demikian pemikiran wali kelas anak saya. Saya pun
berpikir demikian.
Anak saya terpaksa memberitahu saya karena tidak memiliki
uang sendiri untuk membayarnya. Uang jajannya biasanya langsung ditabung masuk
celengan. Dia tidak mau membuka celengannya, makanya meminta pada saya.
Dua hari kemudian, wali kelas memberitahu saya, bahwa
kasusnya sudah selesai. Malamnya, anak saya juga bercerita kalau kasusnya sudah
selesai. Kakak kelas itu sudah meminta maaf dan mengembalikan uang temannya
yang sudah terlanjur diberikan.
Saya bersyukur mendengar cerita anak saya. Sampai di sini,
saya menceritakan sebuah kisah tentang saya, waktu saya menjaga prinsip ketika
di sekolah dulu. Setelah menceritakan kisah saya, saya pun memberikan sebuah
contoh tentang prinsip yang harus dijaga.
Sebuah prinsip yang berkenaan dengan akidah kami. Karena
kami adalah seorang muslim, maka kami wajib menjaga prinsip kami yang
mengesakan Allah. Bagaimana teguhnya Rasulullah menjaga prinsipnya walau dia
dihina, diburu, dilempar batu dan kotoran, bahkan diusir dari kampung
halamannya.
Bagaimana Bilal Bin Rabah mempertahankan prinsipnya untuk
beriman kepada Allah walau dia disiksa tanpa ampun oleh kafir Quraisy. Demikian
juga Mush’ab bin Umair yang diusir dan dikucilkan keluarganya yang kaya raya demi
memegang teguh prinsipnya.
Saya juga menceritakan beberapa sahabat Rasulullah lainnya,
yang mempertahankan prinsip mereka untuk selalu beriman kepada Allah walau
mereka disiksa. Kaitannya dengan
kejadian yang dialaminya adalah, ketika dia sudah istiqamah dan berani memegang
prinsipnya, insyaallah dia akan selamanya begitu. Dia tidak akan goyah walau
banyak rintangan yang kelak menghadangnya.
Dia tidak akan menyerah karena lelah dipermalukan atau
dibully. Yang penting, selama Allah meridhai, maka dia akan terus berjalan di
sisi kebenaran. Hal itu yang ingin saya terapkan dalam kehidupan anak saya.
Apalagi saat ini banyak sekali rintangan yang menyerang
anak-anak kita. Entah itu di sekolah, di lingkungan rumah, bahkan di rumah
sendiri. Di rumah misalnya adalah serangan dari internet dengan games dan
mudahnya mengakses apa pun melalui internet. Hingga anak-anak tak merasakan hal
itu sebagai sebuah serangan bagi akidah mereka. Tugas kita sebagai orang tua
untuk selalu mengingatkan mereka batasan prinsip yang benar sesuai dengan agama
yang harus mereka patuhi dan terapkan.
Semoga Allah selalu menjaga kita dan keluarga untuk tetap
istiqamah di jalanNya. Aamiin...
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. ^_^