Hauzan AlKhawarizmi, Lahir Akhir Ramadhan 2010
Jika mengingat kembali kenangan ini
kadang membuat saya tersenyum sekaligus menangis. Kala itu akhir Ramadhan tahun
2010. Saya yang sedang hamil tua, pergi ke rumah sakit bersama suami dan 2 anak
saya guna memeriksa kehamilan. Kesehatan saya selama hamil ke tiga ini memang
lumayan drop. Jadi ketika saya diperiksa, saat itu dokter mengatakan bahwa
tekanan darah saya cukup tinggi.
Dokter menyarankan saya untuk segera
melahirkan secara caesar atau operasi saat itu juga. Walau sangat terkejut
dengan saran dokter itu, saya dan suami pun setuju. Jadilah hari terakhir
Ramadhan itu kami sekeluarga di rumah sakit. Saya masuk ruang operasi. Suami
dan anak-anak beroa demi keselamatan saya dan bayi saya, di luar ruang operasi.
Alhamdulillah anak kami pun lahir
selamat. Setelah mengazankan putra ke tiga kami, suami dan 2 anak saya pun
pamit pulang. Ketika gema takbiran berkumandang, hati saya ikut hanyut
mendengarnya. Air mata saya bercucuran. Antara sedih dan bahagia. Sedih karena
saat ini saya tidak bisa menemani suami dan anak-anak saya berbuka puasa.
Bahagia karena putra kami sudah lahir.
Ternyata kebahagian saya diuji oleh
Allah. Karena tekanan darah saya masih belum stabil, jadi saya dirawat di ruangan
intermediate, semacam ruang ICU. Saat itu saya mencoba untuk miring ke kiri dan
ke kanan sesuai saran suster. Saat itu suster melihat darah yang cukup banyak
di sprei kasur saya. Suster langsung
mengambil darah saya untuk dicek. Setelah dicek, HB saya ternyata turun
hingga 7 gr% . Suter melaporkan hal itu pada dokter. Dokter pun menyarankan
saya untuk ditansfusi.
Sambil menahan tangis saya menelepon
suami saya untuk memberitahukan hal itu. Suami buru-buru menemui saya di rumah
sakit. Menurut suster, tidak ada kantong darah yang tersisa di PMI. Karena
bulan Ramadhan jarang sekali orang yang melakukan donor darah. Saya mencoba
menghubungi teman-teman dan tetangga untuk meminta kesediaan mereka mendonorkan
darahnya pada saya.
Ternyata tidak semudah yang saya
bayangkan. Hampir semua teman dan tetangga sudah berada di kampung halaman
mereka. Saya nyaris putus asa. Malam itu , karena belum ada darah yang bisa
masuk ke tubuh saya, dokter pun menyarankan saya untuk menggunakan obat semacam
infus. Obat itu harganya lumayan mahal. Sang dokter berharap setidaknya obat
itu bisa menaikkan sedikit saja HB saya. Saya pun setuju. Malam itu saya
lumayan bisa tidur sambil diinfus sesuai dengan anjuran dokter.
Keesokannya, beberapa jam setelah obat masuk, HB saya kembali
diperiksa. Kumandang takbiran terdengar hingga ke ruangan tempat saya dirawat.
Air mata bercucuran mendengarnya. Setelah melalui proses pemeriksaan ulang,
ternyata HB saya tidak naik. Saya menangis memohon pada Allah untuk memberikan
keajaibannya pada saya. Saya khawatir, karena saya dalam masa nifas,
kemungkinan HB makin turun itu pasti ada. Jadi transfusi mautak mau harus saya
jalani.
Untunglah dua jam setelah
selesai shalat i’ed, suami saya mendapatkan pendonor. Salah satu temannya
bersedia memberikan darahnya untuk saya. Teman suami saya itu ternyata tidak
datang sendiri. Dia membawa keluarganya yang juga bergolongan darah sama dengan
saya yaitu A. Suami saya buru-buru mengajak mereka ke PMI. Dari 6 orang yang
diajak, ada 4 orang yang bisa melakukan donor darah. Alhamdulillah... Karena
dokter menyarankan saya untuk mendapatkan 3 kantong darah.
Selama proses menunggu darah itu, Syifa dan
Hikmal, anak pertama dan kedua saya menunggu di ruang tunggu. Mereka terpaksa
tidak ikut bapaknya ke PMI karena lumayan jauh dari rumah sakit tempat saya
dirawat. Suami saya menitipkan tas berisi dompet dan HP saya pada Syifa.
Anak-anak memang tidak diperkenankan masuk ke ruangan saya dirawat jika tidak
pada jam besuk.
Saat itulah ujian berikutnya datang.
Syifa lupa membawa tas saya yang tadi dititipkan oleh bapaknya saat suster
bertanya padanya tentang darah yang akan ditransfusikan ke saya.
Ketika dia kembali, dia sudah tidak
melihat tas itu lagi. Dia bertanya pada adiknya Hikmal. Sayangnya Hikmal juga
tidak melihatnya. Ketika beberapa menit kemudian suami saya kembali dari PMI,
Syifa memberitahukan pada bapaknya bahwa tas itu hilang.
Suami saya panik. Dia ternyata juga
menyimpan HP saya yang lain dalam tas itu. ada 2 HP. Satu dompet berisi sekitar
2 juta dan perhiasan emas saya. Perhiasan itu kemarin harus dilepas ketika saya
melakukan operasi. Ada kalung dan anting di dalamnya. Setelah istighfar, suami
lalu bertanya pada satpam dan suster. Karena hari pertama idul fitri, rumah
sakit saat itu sangat sepi. Syifa yakin tadi tidak ada orang duduk di
sampingnya.
Suster dan satpam tidak melihat tas
itu. Suami saya pun menelepon ke nomor hp saya yang ada dalam tas. Taklama,
seseorang menjawab telepon dari suami saya. Katanya tas itu ada padanya. Dia
bersedia mengembalikan tas itu di tempat yang ditentukan sang penemu tas. Suami
saya berbaik sangka.
“Saya hanya ingin kartu asuransi di
dalam dompet itu saja yang dikembalikan Pak. Bapak boleh membawa semua isi tas
itu jika bapak mau.” Ucap suami saya. Karena kartu asuransi kesehatan dari
kantor itu sangat kami butuhkan beberapa hari mendatang. Rasanya tidak mungkin
mengurus surat kehilangan kartu itu karena saat ini lebaran. Kami pun tidak
punya cukup uang cash untuk membayar persalinan saya yang di luar perkiraan.
Satpam yang mendengar percakapan
suami saya dengan pria penemu tas itu berinisiatif membuntuti suami saya ketika
hendak menemui penemu tas. Satpam tersebut khawatir itu hanya akal-akalan sang
penemu tas. Kalau memang awalnya dia berniat baik, kenapa tidak langsung
mengembalikan tas itu pada satpam atau suster. Demikian pikiran sang satpam.
Akhirnya suami saya bertemu dengan
penemu tas tak jauh dari rumah sakit. Pria itu mengatakan bahwa dia menemukan
tas itu di ruang tunggu. Dia tidak sempat mengembalikannya ke suster karena
buru-buru. Suami saya sesuai dengan perkataannya tadi, hanya minta kartu
asuransi kesehatan kami sekeluarga yang ada dalam dompet saya.
Tak disangka, pria itu mengembalikan
tas saya berikut isinya tanpa berkurang sedikit pun. Tentu saja suami saya
senang. Suami saya memberikan sejumlah uang padanya. Walau awalnya dia menolak,
tapi akhirnya dia menerima. Pria itu pun bercerita bahwa dia sedang bingung
karena istrinya dirawat di rumah sakit yang sama dengan saya. Istrinya hamil
anak pertama yang sudah mereka nanti selama puluhan tahun. Saat ini istrinya
harus bedrest karena ketuban sudah pecah. Padahal kehamilannya masih 6 bulan.
Suami saya pun mendoakan agar istri
dan bayinya baik-baik saja hingga proses persalinan nanti. Subhanallah...
sungguh Idul Fitri kali ini tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup saya.
Terima kasih ya Rabb atas semua karuniaMu.*
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. ^_^