Saturday, December 1, 2012

Pagi Berkabut di Bukittinggi


   Lebaran tahun ini saya pulang ke kampung halaman saya di Bukittinggi setelah 4 tahun tidak berkunjung. berikut cerita saya tentang Bukittinggi sekarang. Selamat membaca. ^_^
                                                 ***
   Seperti biasa, suasana pagi di Bukittinggi kota kelahiran saya begitu tenang, dingin dan berkabut. Saya dan keluarga kecil saya baru beberapa hari ini kembali menikmati dinginnya udara kampung halaman kami. Pagi ini, saya mengajak keluarga kecil saya jalan-jalan ke Ngarai Sianok. Sekitar 15 menit menggunakan kendaraan pribadi dari rumah kami.
Suasana di sana masih sangat sepi meskipun hari itu masih dalam suasana idul fitri. Masuk ke dalam Objek Wisata Panorama ini cukup mengeluarkan kocek sebanyak Rp 4000,-/orang.  Kami sengaja ingin melihat sunrise dari ngarai sianok pagi itu. Sayangnya momen yang kami inginkan tidak kami temukan. Karena cuaca berkabut. Kami hanya disambut sekawanan kera yang minta diberi makan.
Dari tempat kami berdiri, kami melihat aliran sungai yang sangat jernih di dasar ngarai sianok. Jika Anda ingin menyusuri ngarai sianok hingga ke dasarnya, pemda setempat juga sudah membuat anak tangga yang cukup nyaman agar anda bisa sampai di dasar ngarai dengan aman. Anda tidak perlu mengeluarkan uang lagi untuk itu, cukup dengan membayar tiket diawal masuk tadi.
       Tapi Anda juga bisa menyusurinya dari jalan yang berbeda. Jika Anda menggunakan kendaraan pribadi, Anda bisa melewati jalan menuju Kenagarian  Sianok VI Suku, kira-kira 100 meter di sebelah kiri pintu masuk objek Panorama / Ngarai Sianok ini. Keindahan tebing dan kesegaran sungai ngarai sianok sudah menunggu Anda di sana. 

Lubang Japang, Terowongan dengan Sejuta Misteri.
Setelah asyik memperhatikan tingkah polah keluarga kera, kami memutuskan untuk masuk dan melihat Lubang Japang. Sebuah tempat penyimpanan peralatan dan perbekalan tentara Jepang jaman dulu. Sebelumnya kami membayar tiket sebesar Rp 6000, - /orang untuk masuk ke dalam Lubang Japang tersebut.
Lubang yang berarti lobang / goa ini berbentuk terowongan menurun hingga ke dasar ngarai Sianok. Panjang aslinya sekitar 1.5km. Pemda membuat tangga permanen dari semen untuk menuruni terowongan ini. Jumlah tangganya lebih dari 100 anak tangga! Terowongan yang berdiameter 2 meter ini cukup terang untuk dijelajahi.
       Terowongan ini memiliki banyak cabang. Konon salah satu kegunaannya dulu adalah sebagai bunker pertahanan Jepang, ada dapur, penjara dan ruang makan tentara Jepang. Menurut petugas yang bertugas pagi itu, terowongan ini bisa berakhir di lima pintu. Tiga di antaranya di dasar Ngarai Sianok.Rencananya ruangan bekas penjara, dapur dan ruangan lainnya itu akan dimanfaatkan pemda setempat sebagai teater, café, mushala dll.

Bendera “Jerman” di Bukittinggi
 Selanjutnya kami jalan-jalan di Jam Gadang yang juga masih sepi pengunjung. Meskipun demikian beberapa pedagang sudah tampak menggelar dagangannya. Suasana 17 an masih sangat jelas terasa ketika kami melewati jalan utama Bukittinggi. Bendera merah putih dan Marawa masih terpasang megah di sepanjang jalan dan perkantorn kota Bukittinggi. Apalagi Jam Gadang juga masih ‘dikalungi’ bendera merah putih.
        Sebuah pertanyaan yang menggelitik terlontar dari mulut Hikmal putra saya, “Kenapa bendera Jerman dipasang di kampung kita Bu?” tanyanya polos.
        Ternyata beberapa hari lalu dia memperhatikan hampir semua jalanan yang dilaluinya memasang bendera itu. Bendera yang dimaksudnya adalah Marawa bendera adat yang memang dipasang bersamaan dengan peringatan hari bersejarah di republik ini. Saya pun memberikan penjelasan pada Hikmal tentang bendera yang dia kira bendera Jerman
         Bendera Marawa yang sekilas seperti bendera Jerman ini sebenarnya mempunyai arti tersendiri.Marawa merupakan lambang atau pencerminan wilayah Adat Luhak Nan Tigo di suku Minang Kabau. Warna kuning, melambangkan Luhak Tanah Datar.Warna merah melambangkan Luhak Agam.Sedangkan warna hitam melambangkan Luhak Limopuluah Koto.
       Secara keseluruhan makna dari Marawa ini adalah kerja sama yang kompak dan erat antara pemerintah dan pemangku adat di Minang Kabau ini. Sungguh makna yang sangat mendalam dan patut kita terapkan selamanya di negeri ini.

Tugu Perlawanan Rakjat Menentang Kolonialisme Belanda     
Saat menjelaskan pada Hikmal tentang maksud dari Marawa itu, mata saya tersirobok dengan sebuah tugu yang saya yakin hanya segelintir yang mengenali keberadaannya. Tugu itu adalah tugu pernyataan atau ikrar mendukung pemerintahan Indonesia dalam memberantas penjajahan.
Tugu yang sudah sangat tua, dibangun pada 15Juni 1908, lalu direnovasi tahun 1963.Ikrar itu berbunyi :Perlawanan Rakjat Menentang Kolonialisme Belanda. Saya terpana, ke mana saja saya selama ini? Ketika masih kecil, saya sering main di sekitar sini. Kenapa saya tidak memperhatikan tulisan yang tertera di tugu ini?
        Sebuah kesadaran yang belum terlambat, semoga saja ketika membaca kembali ikrar dari rakyat Bukittinggi terhadap keutuhan negeri ini, membuat kita para pemuda penerus bangsa ini, semakin serius dan bangga membangun bangsa ini untuk lebih maju.

Pengemis dan Al-Quran
Uniknya, dari dulu hingga sekarang jalanan menuju Jam Gadang dan di Jenjang 40 terdapat beberapa pengemis. Pengemis ini bukan mengemis seperti di kota besar, yang menadahkan tangan meminta-minta. Namun pengemis yang satu ini duduk manis di pinggir jalan, lalu meletakkan sebuah mangkok di depan tempat duduknya. Selanjutnya dia membaca kitab suci.
        Bukan hanya satu pengemis saja yang membaca kitab suci ketika mereka mengemis. Tapi hampir semua pengemis yang saya temui, baik yang lumpuh atau yang buta, umumnya mereka melantunkan ayat suci Alquran. Bukan berarti saya membenarkan tindakan mereka mengemis dengan ‘menjual’ ayat suci. Tapi saya mengacungkan jempol dengan ide mereka yang tidak hanya membuang waktu begitu saja.
       Mereka masih bisa membaca Alquran di manapun mereka berada. Jika ada yang merasa tersentuh dengan bacaan mereka, maka berpindahlah lembar seribuan atau dua ribuan ke mangkok atau kaleng yang sudah mereka siapkan. Saya menjadikan mereka sebagai motivasi untuk lebih sering lagi membaca alquran. Mereka yang cacat saja bisa melakukannya, kenapa kita yang normal tidak bisa. Apalagi kita baru saja melewati tempaan di bulan suci ramadhan. Semoga inspirasi dari para pengemis ini membuat saya ingat selalu dengan ibadah yang satu ini.

Benteng Fort Dekock dan Taman Marga Satwa Budaya Kinantan
       Selanjutnya kami singgah di Taman Marga Satwa Budaya Kinantan yang terhubung dengan Benteng Fort Dekock. Dengan membayar tiket masuk Rp 8000,- / orang, kita sudah bisa menikmati indahnya Benteng Fort Dekock dan binatang yang ada di Taman Marga Satwa tersebut.
Benteng For Dekock dulunya adalah benteng pertahanan yang dibuat pemerintah Belanda sebagai benteng pertahanan. Masih terlihat meriam tua peninggalan sejarah itu di beberapa tempat.
Untuk menuju ke Taman Marga Satwa, pemda Bukittinggi membangun Jembatan Limpapeh.  Berjalan di Jembatan itu bukan seperti berjalan di jembatan biasa yang kita temui di jalan. Tapi ada sensasi tersendiri dengan ‘goyangan’ yang kita rasakan di jembatan itu

Sarapan Pagi, Murah Meriah
Karena saya ingin sekali mencicipi bubur kampiun, maka selanjutnya kami segera menuju warung buburkampiun yang terkenal lezat di kota ini. Letaknya di BukikApik, samping Rumah Sakit Achmad Muchtar. Bubur kampiun ini sebenarnya terdiri dari berbagai macam bubur.
Isi dari bubur kampiun adalah ketan, srikaya, kolakpisang/ ubi, bubur sum-sum, bubur ketan hitam, bubur kacang hijau, candil, pacar cina, yang disirami saus santan dan saus gula merah. Rasanya, tentu sangat nikmat. Harganya cukup murah, Rp 6000,- saja perporsi. Setelah sarapan bubur kampiun ini saya jamin, Anda pasti akan kenyang hingga makan siang nanti. Karena porsinya yang cukup banyak menurut saya.
Naik Apa ? Habis Berapa?
Jika Anda seorang backpacker, ongkos untuk angkutan dalam kota Bukittinggi umumnya Rp 2000,- saja. Dari mana pun Anda, maka ongkos yang perlu Anda keluarkan selama berada di dalam kota Bukittinggi cukup sebanyak itu.
Tapi saran saya sebaiknya Anda menikmati liburan di Bukittinggi dengan jalan kaki. Karena jarak antara tempat wisata yang satu ke tempat wisata yang lain sangat dekat. Cukup 10-15 menit jika ditempuh dengan jalan kaki. Jika Anda menggunakan angkot, bisa saja Anda terjebak macet. Karena Bukittinggi sekarang juga sangat macet pada hari libur.
       Misalnya jika Anda saat ini sedang berada di Jam Gadang, maka Anda hanya butuh 15 menit ke Taman Marga Satwa. Jika Anda ke Panorama / Ngarai Sianok, Anda cukup berjalan 15 menit juga dari Jam Gadang.
Atau jika Anda ingin menikmati Bukittinggi dengan menggunakan Bendi alias delman, maka Anda bisa merogoh kocek dari Rp 10.000, - hingga Rp 50.000,- tergantung tujuan Anda. Anda bisa menawar ongkos pada kusir bendi sebelumnya. So selamat menikmati liburan di Bukittinggi. Sampai ketemu lagi di jalan-jalan berikutnya.

3 comments:

  1. Wah orang Bukittinggi ya? Jangan2 saudaranya pak Tifatul Sembiring heheheee.... Sy tinggal di Pekanbaru mak. Orang Pekan kemana lagi libur2 kalau nggak nyerbu Bukittinggi. Lain kali kesana aku lagi tanya2 wisata kuliner ya :D

    ReplyDelete
  2. satu lagi artikel tentang pariwisata di Indonesia. Banyak sekali keindahan di negara kita ya...
    Ngarai sianok baru sering lihat di gambar2. Mudah2an suatu saat bisa kesana.
    Salam kenal uni...

    ReplyDelete
  3. Mak Lusi : makasih sudah mampir ya. Siip insyaallah saya posting tentang kuliner nanti ya. ^_^

    Mbak Niken : makasih sudah mampir. Ayo ke ngarai sianok. ini saya coa tambah foto-fotonya. cuman dari tadi belum berhasil nih.

    ReplyDelete

Terima kasih sudah berkunjung. ^_^