Lebaran tahun ini saya pulang ke kampung halaman saya di Bukittinggi setelah 4 tahun tidak berkunjung. berikut cerita saya tentang Bukittinggi sekarang. Selamat membaca. ^_^
***
Seperti biasa, suasana pagi di Bukittinggi kota kelahiran saya begitu
tenang, dingin dan berkabut. Saya dan keluarga kecil saya baru beberapa hari
ini kembali menikmati dinginnya udara kampung halaman kami. Pagi ini, saya
mengajak keluarga kecil saya jalan-jalan ke Ngarai Sianok. Sekitar 15 menit
menggunakan kendaraan pribadi dari rumah kami.
Suasana di sana masih
sangat sepi meskipun hari itu masih dalam suasana idul fitri. Masuk
ke
dalam
Objek
Wisata Panorama ini
cukup
mengeluarkan
kocek
sebanyak
Rp 4000,-/orang. Kami sengaja ingin melihat sunrise dari ngarai
sianok pagi itu. Sayangnya momen yang kami inginkan tidak kami temukan. Karena
cuaca berkabut. Kami hanya disambut sekawanan kera yang minta diberi makan.
Dari tempat kami
berdiri, kami melihat aliran sungai yang sangat jernih di dasar ngarai sianok. Jika
Anda ingin menyusuri ngarai sianok hingga ke dasarnya, pemda setempat juga
sudah membuat anak tangga yang cukup nyaman agar anda bisa sampai di dasar
ngarai dengan aman. Anda tidak perlu mengeluarkan uang lagi untuk itu, cukup
dengan membayar tiket diawal masuk tadi.
Tapi Anda juga bisa menyusurinya dari
jalan yang berbeda. Jika Anda menggunakan kendaraan pribadi, Anda bisa melewati
jalan menuju Kenagarian Sianok VI Suku,
kira-kira 100 meter di sebelah kiri pintu masuk objek Panorama / Ngarai Sianok
ini. Keindahan tebing dan kesegaran sungai ngarai sianok sudah menunggu Anda di
sana.
Lubang
Japang, Terowongan dengan Sejuta Misteri.
Setelah asyik
memperhatikan tingkah polah keluarga kera, kami memutuskan untuk masuk dan
melihat Lubang Japang. Sebuah tempat penyimpanan peralatan dan perbekalan
tentara Jepang jaman dulu. Sebelumnya kami membayar tiket sebesar Rp 6000, -
/orang untuk masuk ke dalam Lubang Japang tersebut.
Lubang yang berarti
lobang / goa ini berbentuk terowongan menurun hingga ke dasar ngarai Sianok.
Panjang aslinya sekitar 1.5km.
Pemda membuat tangga permanen dari semen untuk menuruni terowongan ini. Jumlah
tangganya lebih dari 100 anak tangga! Terowongan yang berdiameter 2 meter ini
cukup terang untuk dijelajahi.
Terowongan ini memiliki banyak cabang.
Konon salah satu kegunaannya dulu adalah sebagai bunker pertahanan Jepang, ada
dapur, penjara dan ruang makan tentara Jepang. Menurut petugas yang bertugas
pagi itu, terowongan ini bisa berakhir di lima pintu. Tiga di antaranya di
dasar Ngarai Sianok.Rencananya ruangan bekas penjara, dapur dan ruangan lainnya
itu akan
dimanfaatkan
pemda
setempat
sebagai
teater, café, mushala
dll.
Bendera
“Jerman” di Bukittinggi
Selanjutnya kami jalan-jalan di Jam Gadang
yang juga masih sepi pengunjung. Meskipun demikian beberapa pedagang sudah
tampak menggelar dagangannya. Suasana 17 an masih sangat jelas terasa ketika
kami melewati jalan utama Bukittinggi. Bendera merah putih dan Marawa masih
terpasang megah di sepanjang jalan dan perkantorn kota Bukittinggi. Apalagi Jam
Gadang juga masih ‘dikalungi’ bendera merah putih.
Sebuah pertanyaan yang menggelitik
terlontar dari mulut Hikmal putra saya, “Kenapa bendera Jerman dipasang di
kampung kita Bu?” tanyanya polos.
Ternyata beberapa hari lalu dia
memperhatikan hampir semua jalanan yang dilaluinya memasang bendera itu.
Bendera yang dimaksudnya adalah Marawa bendera adat yang memang dipasang
bersamaan dengan peringatan hari bersejarah di republik ini. Saya pun
memberikan penjelasan pada Hikmal tentang bendera yang dia kira bendera Jerman
Bendera Marawa yang sekilas seperti
bendera Jerman ini sebenarnya mempunyai arti tersendiri.Marawa merupakan
lambang atau pencerminan wilayah Adat Luhak Nan Tigo di suku Minang Kabau. Warna
kuning, melambangkan Luhak Tanah Datar.Warna merah melambangkan Luhak Agam.Sedangkan
warna hitam melambangkan Luhak Limopuluah Koto.
Secara keseluruhan makna dari Marawa ini
adalah kerja sama yang kompak dan erat antara pemerintah dan pemangku adat di
Minang Kabau ini. Sungguh makna yang sangat mendalam dan patut kita terapkan
selamanya di negeri ini.
Tugu Perlawanan Rakjat Menentang Kolonialisme Belanda
Saat menjelaskan pada
Hikmal
tentang maksud dari Marawa itu, mata saya tersirobok dengan sebuah tugu yang
saya yakin hanya segelintir yang mengenali keberadaannya. Tugu itu adalah tugu
pernyataan atau ikrar mendukung pemerintahan Indonesia dalam memberantas
penjajahan.
Tugu yang sudah sangat tua, dibangun pada 15Juni 1908, lalu direnovasi tahun
1963.Ikrar
itu
berbunyi :Perlawanan
Rakjat
Menentang
Kolonialisme
Belanda. Saya
terpana, ke mana saja saya selama ini? Ketika masih kecil, saya sering main
di sekitar sini. Kenapa saya tidak memperhatikan tulisan yang tertera di tugu
ini?
Sebuah kesadaran yang belum terlambat,
semoga saja ketika membaca kembali ikrar dari rakyat Bukittinggi terhadap keutuhan negeri
ini, membuat kita para pemuda penerus bangsa ini, semakin serius dan bangga
membangun bangsa ini untuk lebih maju.
Pengemis
dan Al-Quran
Uniknya, dari dulu
hingga sekarang jalanan menuju Jam
Gadang
dan di Jenjang 40 terdapat beberapa pengemis. Pengemis ini bukan mengemis seperti
di kota besar, yang menadahkan tangan meminta-minta. Namun pengemis yang satu
ini duduk manis di pinggir jalan, lalu meletakkan sebuah mangkok di depan
tempat duduknya. Selanjutnya dia membaca kitab suci.
Bukan hanya satu pengemis saja yang
membaca kitab suci ketika mereka mengemis. Tapi hampir semua pengemis yang saya
temui, baik yang lumpuh atau yang buta, umumnya mereka melantunkan ayat suci
Alquran. Bukan berarti saya membenarkan tindakan mereka mengemis dengan
‘menjual’ ayat suci. Tapi saya mengacungkan jempol dengan ide mereka yang tidak
hanya membuang waktu begitu saja.
Mereka masih bisa membaca Alquran di
manapun mereka berada. Jika ada yang merasa tersentuh dengan bacaan mereka, maka berpindahlah lembar seribuan
atau dua ribuan ke mangkok atau kaleng yang sudah mereka siapkan. Saya
menjadikan mereka sebagai motivasi untuk lebih sering lagi membaca alquran.
Mereka yang cacat saja bisa melakukannya, kenapa kita yang normal tidak bisa. Apalagi
kita baru saja melewati tempaan di bulan suci ramadhan. Semoga inspirasi dari
para pengemis ini membuat saya ingat selalu dengan ibadah yang satu ini.
Benteng
Fort Dekock dan Taman Marga Satwa Budaya Kinantan
Selanjutnya kami singgah di Taman Marga
Satwa Budaya Kinantan yang terhubung dengan Benteng Fort Dekock. Dengan
membayar tiket masuk Rp 8000,- / orang, kita sudah bisa menikmati indahnya
Benteng Fort Dekock dan binatang yang ada di Taman Marga Satwa tersebut.
Benteng For Dekock
dulunya adalah benteng pertahanan yang dibuat pemerintah Belanda sebagai
benteng pertahanan. Masih terlihat meriam tua peninggalan sejarah itu di
beberapa tempat.
Untuk menuju ke Taman
Marga Satwa, pemda Bukittinggi membangun Jembatan Limpapeh. Berjalan di Jembatan itu bukan seperti
berjalan di jembatan biasa yang kita temui di jalan. Tapi ada sensasi
tersendiri dengan ‘goyangan’ yang kita rasakan di jembatan itu
Sarapan Pagi,
Murah
Meriah
Karena saya ingin sekali mencicipi bubur kampiun, maka selanjutnya kami segera
menuju
warung
buburkampiun
yang terkenal
lezat di kota
ini. Letaknya di BukikApik,
samping Rumah Sakit Achmad Muchtar. Bubur kampiun ini sebenarnya terdiri dari berbagai macam bubur.
Isi dari bubur kampiun
adalah ketan, srikaya,
kolakpisang/ ubi, bubur sum-sum, bubur ketan hitam, bubur kacang hijau, candil, pacar
cina, yang disirami
saus
santan
dan
saus
gula
merah. Rasanya, tentu
sangat
nikmat.
Harganya cukup murah, Rp 6000,- saja perporsi. Setelah sarapan bubur kampiun
ini saya jamin, Anda pasti akan kenyang hingga makan siang nanti. Karena
porsinya yang cukup banyak menurut saya.
Naik
Apa ? Habis Berapa?
Jika Anda seorang
backpacker, ongkos untuk angkutan dalam kota Bukittinggi umumnya Rp 2000,-
saja. Dari mana pun Anda, maka ongkos yang perlu Anda keluarkan selama berada
di dalam kota Bukittinggi cukup sebanyak itu.
Tapi saran saya
sebaiknya Anda menikmati liburan di Bukittinggi dengan jalan kaki. Karena jarak
antara tempat wisata yang satu ke tempat wisata yang lain sangat dekat. Cukup
10-15 menit jika ditempuh dengan jalan kaki. Jika Anda menggunakan angkot, bisa
saja Anda terjebak macet. Karena Bukittinggi sekarang juga sangat macet pada
hari libur.
Misalnya jika Anda saat ini sedang
berada di Jam Gadang, maka Anda hanya butuh 15 menit ke Taman Marga Satwa. Jika
Anda ke Panorama / Ngarai Sianok, Anda cukup berjalan 15 menit juga dari Jam
Gadang.
Atau jika Anda ingin
menikmati Bukittinggi dengan menggunakan Bendi alias delman, maka Anda bisa
merogoh kocek dari Rp 10.000, - hingga Rp 50.000,- tergantung tujuan Anda. Anda
bisa menawar ongkos pada kusir bendi sebelumnya. So selamat menikmati liburan
di Bukittinggi. Sampai ketemu lagi di jalan-jalan berikutnya.
Wah orang Bukittinggi ya? Jangan2 saudaranya pak Tifatul Sembiring heheheee.... Sy tinggal di Pekanbaru mak. Orang Pekan kemana lagi libur2 kalau nggak nyerbu Bukittinggi. Lain kali kesana aku lagi tanya2 wisata kuliner ya :D
ReplyDeletesatu lagi artikel tentang pariwisata di Indonesia. Banyak sekali keindahan di negara kita ya...
ReplyDeleteNgarai sianok baru sering lihat di gambar2. Mudah2an suatu saat bisa kesana.
Salam kenal uni...
Mak Lusi : makasih sudah mampir ya. Siip insyaallah saya posting tentang kuliner nanti ya. ^_^
ReplyDeleteMbak Niken : makasih sudah mampir. Ayo ke ngarai sianok. ini saya coa tambah foto-fotonya. cuman dari tadi belum berhasil nih.