Friday, November 20, 2020

Bahasa Planet

        

            Beberapa hari ini Lili dibuat bingung mendengar percakapan teman-temannya. Mereka berbicara seperti menggunakan bahasa yang tidak pernah Lili dengar sebelumnya. Lili menyebutnya bahasa planet.

            “Kalian lagi ngomongin apaan sih?” tanya Lili penasaran pada Lusi dan Tata yang sedang mengobrol. Tapi kedua temannya itu hanya tersenyum, tidak mau menjawab pertanyaan Lili. Lili pun berlalu meninggalkan mereka. 

            “Aneh! Kenapa mereka bicara dengan bahasa yang tidak dimengerti orang lain? Apa mereka sedang membicarakan aku?” gumam Lili sambil menuruni tangga menuju lantai dasar.

            Setelah berada di lantai dasar, Lili kembali mendengar Romi dan Syufra mengobrol dengan Bahasa yang sama. Lili jengkel mendengarnya. Romi kan saudaranya, dia juga bisa bicara menggunakan bahasa planet itu. Kenapa hanya Lili yang tidak paham.

            “Kalian ngomongin apa sih? Kok bahasanya aneh gitu?” tanya Lili kepada Syufra dan Romi.cer

            “Ngobrol biasa aja kok. Kamu jangan di sini dong. Ini kan obrolan anak laki-laki. Kamu nggak boleh tahu. Pergi sana!” jawab Syufra sambil mendorong bahu Lili. Lili kesal mendengar ucapan temannya itu. Dia makin penasaran dengan bahasa yang digunakan teman-temannya. Untuk mengurangi kesalnya, Lili pergi ke kantin di depan sekolah mereka. Dia memilih untuk jajan permen gulali kesukaannya.   

            “Iginigi kegembagaligian uguagangnyaga,” ujar Ni Ena saat memberi kembalian uang Lili. 

            “Hah! Ni Ena juga bisa ngomong pakai Bahasa planet itu?” Tanya Lili penasaran.

            “Uni jadi terbiasa, anak-anak pada ngomong begitu sih. Kenapa? Lili nggak paham ya? Biasanya kalau Uni ngomong gitu, anak-anak balas lagi dengan cara ngomong yang sama,” tanya Ni Ena pemilik warung.

            “Iya, aku nggak tahu, kayaknya baru hari ini aku mendengar mereka berbicara begitu. Ajarin dong Ni!” 

            “Gampang kok. Tinggal ditambahkan huruf G dan huruf vocal yang sesuai dengan suku kata yang kita ucapkan aja. Memang sih ngomongnya jadi agak lama. Tapi seru aja dengarnya. Kayak semacam Bahasa sandi gitu,” jelas Ni Ena.

            “Ya udah, ajarin Lili ya Ni,” Lili menatap Ni Ena penuh harap.

            “Ya udah. Lili sekarang mau ngomong apa? Gini aja, kalau uni nanya Lili mau ke mana? Itu ngomongnya jadi gini Trigisaga magaugu kege maganaga.”

            Lili menyimak ucapan Ni Ena sembari mengikutinya. Beberapa kali dia mencoba berbicara dengan Bahasa itu tentunya dengan kata-kata baru. Hingga sepuluh menit kemudian, dia pun mahir menggunakan Bahasa planet itu.

            “Asyik! Magakagasigih yaga Nigi Egenaga,”  Lili melonjak kegirangan. Dia berlari menuju kelasnya sambil menyanyikan lagu Bintang Kecil menggunakan bahasa yang baru dipelajarinya.

            Ketika Lili sampai di kelas, bel tanda istirahat usai pun berdering. Dia terlihat sangat gembira karena menguasai Bahasa baru seperti teman-temannya. Lili masih saja melantunkan lagu Bintang Kecil dengan menggunakan bahasa planet-nya. 

            Jam pelajaran terakhir adalah jam pelajaran kesenian. Bu Epi masuk kelas dan meminta anak-anak untuk bernyanyi bergantian di depan kelas. Lili pertama kali menunjuk tangan. Dia tak sabar untuk memperdengarkan pada Bu Epi nyanyi baru yang dia kuasai.

            Bu Epi pun mempersilahkan Lili menyanyi di depan kelas. Dengan bersemangat Lili menyanyikan lagu Bintang Kecil versi baru.

            “Bigintagang kegecigil digi lagangigit yagang bigirugu….”

            Bu Epi menatap Lili dengan bingung. Sedangkan teman-teman Lili menahan tawa. Mereka takut tertawa lebar karena khawatir Bu Epi marah. 

            “Lili kok nyanyinya gitu?”

            “Ini lagu Bintang Kecil versi terbaru Bu,” jawab Lili serius. Bu Epi terbahak melihat wajah serius Lili. 

            “Oke, tapi kali ini Lili nyanyinya pakai lagu yang versi lama aja ya. Ibu nggak ngerti soalnya.”

            Lili menggangguk. Dia mencoba untuk menyanyikan lagu Bintang Kecil versi asli. Sayangnya dia lupa lirik aslinya, karena sedari tadi dia sudah terbiasa menyanyikan lagu Bintang Kecil versi baru. Bu Epi pun memakluminya. Beliau memberi tepuk tangan dan menyuruh Lili kembali duduk di bangkunya. Pelajaran bernyanyi pun dilanjutkan dengan penampilan teman-teman lainnya. ^_^

Wednesday, November 18, 2020

Pulpen Hilang

Pagi itu murid-murid SD Inpres Bukit Cangang sudah mulai banyak yang hadir di sekolah. Jam pelajaran belum dimulai. Beberapa anak terlihat berlarian di halaman. Sebagian ada yang main di kelas mereka di lantai dua. 

            Devi dan teman-temannya juga sudah berada di kelas mereka. Jam dinding di kelas masih menunjukkan angka 7.25 wib. Sekitar 5 menit lagi menuju bel sekolah berdering. Di kelasnya Devi mengobrol bersama teman-teman perempuannya. Sementara itu beberapa anak laki-laki terlihat asyik bermain sentil pulpen.

            Salah satunya Jon dan Amin. Mereka meletakkan pulpen di atas meja, lalu menyentil pulpen mereka ke pulpen lawan hingga pulpen itu jatuh. Jika pulpen lawan jatuh, berarti anak yang menyentil adalah pemenangnya. Mereka bermain di meja tengah paling depan agar leluasa bergerak dan mencari celah untuk menyentil pulpen. Meja itu persis berada di depan meja guru.

            Tak lama berselang, bel sekolah pun berdering. Sebagian murid kelas empat itu sudah duduk manis di kursi mereka masing-masing. Sedangkan Jon dan Amin masih asyik dengan permainan mereka. 

            “Bu Lela datang. Bu Lela datang!” Seru Tomi kepada teman-temannya. Beberapa anak yang masih berdiri dan mengobrol segera duduk manis. Demikian juga dengan Jon dan Amin, mereka segera berlari ke tempat duduk mereka.

            Ketukan suara sepatu Bu Lela, guru matematika mereka terdengar tak jauh dari pintu kelas. Lalu wajah serius Bu Lela pun terlihat memasuki kelas. Entah kenapa setiap Bu Lela yang mengajar, semua murid kelas empat ini selalu terlihat serius. 

            Kelas pun dimulai dengan membaca doa. Mereka menyimak penjelasan Bu Lela dengan sungguh-sungguh. Sebelum kelas berakhir Bu Lela memberikan tugas perkalian kepada mereka. 

            “Kerjakan sekarang halaman lima belas ya. Halaman enam belas untuk pe er,” pesan Bu Lela sebelum meninggalkan kelas. Seisi kelas menjawab,” Iya Bu,” dengan serentak.

            Setelah Bu Lela keluar kelas, kelas kembali riuh. Devi bertanya pada Yosa tentang perkalian delapan yang cukup sulit. Demikian juga dengan Elfi, dia bertanya kepada Sinta. Hampir semua anak riuh dengan tugas mereka. 

            “Kamu yang mengambil pulpenku kan?” tiba-tiba teriakan Jon terdengar membuat seisi kelas melihat ke arahnya. Keriuhan tadi menjadi hening seketika. Jon berteriak pada Amin yang duduk di belakangnya.

            “Aku nggak ngambil pulpenmu. Kan tadi waktu Bu Lela masuk kita ngambil pulpen masing-masing!” jawab Amin kesal.

            “Aku nggak sempat mengambil pulpenku, karena suara sepatu Bu Lela sudah dekat pintu!” ujar Jon dengan suara masih tinggi. Teman-temannya yang lain mulai menenangkan Jon. 

            “Coba kamu cari dulu di bawah meja,” saran Hengki dan Tomi. 

            “Sudah. Dari tadi juga sudah  kucari di bawah meja, tapi nggak ada,” jawab Jon jengkel. “Aku yakin dia yang ngambil nih!” tambah Jon sambil menunjuk Amin.

            Amin tidak terima dituduh sebagai pencuri pulpen. Tangannya mengepal hendak memukul Jon. Devi melihat hal itu. Dia sangat takut kalau teman-temannya berkelahi.

            “Amin, kamu bantu Jon aja nyari pulpennya,” ajak Devi sembari menenangkan Amin. 

            “Ayo kawan-kawan, bantu Amin mencari pulpen Jon yang hilang,” ajak Cory dan Yosa. Teman-teman lain pun setuju. Mereka menghentikan pekerjaan mereka dan mulai mencari ke kolong meja masing-masing.

            “Ini ada di sini!” teriak Ade yang bertubuh kurus. Dia memperlihatkan sebuah pulpen di tangannya. Semua mata memandang pada Ade.

            “Kamu yang menyembunyikan ya?” tuduh Jon pada Ade.

            “Nggak, aku menemukannya di bawah meja guru. Mungkin tadi jatuh waktu kamu selesai main,” jawab Ade takut-takut. 

            “Iya kayaknya jatuh ke bawah meja guru. Tadi aku mendengar suara pulpen jatuh, tapi karena Bu Lela sudah masuk, aku nggak memperhatikan ke mana jatuhnya pulpen itu,” ucap Devi. Devi baru menyadarinya. Kebetulan meja Devi adalah meja yang dijadikan tempat main oleh Jon dan Amin tadi. 

            Tanpa basa-basi lagi, Jon segera mengambil pulpennya dari tangan Ade. Dia harus mengerjakan tugas matematika segera.

            “Kamu nggak makasih sama Ade, Jon?” ucap Cory. 

            “Makasih ya,” ujar Jon lirih. Ade mengangguk sambil tersenyum. Kelas pun kembali tenang. Semua murid kembali mengerjakan tugas yang diberikan Bu Lela. 

Hufft… syukurlah tidak terjadi perkelahian, gumam Devi. Alhamdulillah…  ^_^

                                                                        ***                        

Sunday, November 15, 2020

Misteri Batu Besar

 

            “Kita jangan lewat sana ya Nel. Ada ular gede di bawah batu itu,” kata Vivi. Nelfi terkejut mendengar ucapan Vivi itu. Dia punya trauma dengan ular. Dia sangat takut melihat ular. Karena dulu, ketika dia TK ada ular cukup besar masuk ke rumah mereka. orangtua Nelfi panik dan hampir celaka ketika mencoba menangkap ular itu.

            “Siapa yang bilang?” tanya Nelfi penasaran. Siang itu murid SD Inpres Bukit Cangang baru pulang sekolah. Mereka semua berlarian menuju rumah masing-masing. Ada yang rumahnya di depan sekolah, ada juga yang rumahnya berjaran 2 KM dari sekolah. Tak terlihat wajah Lelah di mata mereka. Mereka senang sekali setelah setengah hari bersekolah. 

            “Tata dan teman-teman lain. Tadi mereka cerita begitu,” jelas Vivi. Nelfi memperhatikan batu besar yang dimaksud Vivi. Sekilas batu itu memang terlihat misterius. Letaknya di pinggir jalan pertigaan. Batu itu sangat besar, seukuran setengah rumah. 

            Tapi Nelfi tak percaya begitu saja. Kenapa baru hari ini dia mendengar cerita tentang batu itu? Padahal mereka sekolah di sana kan sudah hampir 4 tahun. Selama ini tak pernah terdengar ada cerita tentang batu yang di bawahnya merupakan sarang ular besar.

            “Aku sering cari buah beri di sana bareng kawan-kawan lain. Nggak pernah ketemu ular tuh,” sanggah Nelfi.

            “Ya udah kalau nggak percaya, yang penting aku sudah kasih tau kamu. Kalau nanti tiba-tiba kamu ketemu ular besar, jangan nyalahin aku ya,” Vivi berlari di jalan menuju rumahnya. Rumah Nelfi dan Vivi searah. Mereka sering bertemu di jalan dan berangkat atau pulang bareng. Kadang ada Yuli, Yusi dan kawan lainnya. Tak jarang juga mereka bertemu Romi dan Fadil yang juga searah dengan mereka.

            “Hei! Tungguin Vi!” Nelfi pun mengejar sahabatnya itu. 

            “Aku percaya kok. Aku ngomong kayak gitu biar aku nggak takut,” jelas Nelfi setelah berhasil mengiringi langkah Vivi.

            “Makanya tadi kamu harusnya ikut ngobrol sama kita di luar perpus. Kamu sih asyik baca buku di perpus, jadinya kamu nggak percaya sama cerita itu. Tata aja kalau mau ngaji lewat sana, dia pasti lari katanya,” gerutu Vivi.

            “Iya… iya… maaf deh. Tapi kok kita selama ini nggak pernah dengar ceritanya ya?” tanya Nelfi lagi. Vivi mengangkat bahunya tanda tak tahu.

            “Hei! Lagi cerita apa?” tiba-tiba suara seseorang mengagetkan mereka. Nelfi dan Vivi serentak menoleh. Ada Romi ternyata di belakang mereka.

            “Itu tentang batu besar yang di dekat sekolah. Katanya ada sarang ular di bawahnya,” jelas Vivi.

            “Oh itu. Aku pernah juga mendengar ceritanya. Tapi kemarin kutanya ke Ni As yang di warung. Katanya ada ular atau nggak sih dia nggak tahu. Cuman, memang orang tua melarang anak-anak lewat sana karena jalan itu berbahaya. Coba saja kamu lihat, batunya kan gede banget tuh. Nah letak batunya juga agak miring. Padahal jalan itu kan menurun? Jadi para orang tua khawatir batunya bergeser dan menggelinding menimpa orang yang lewat di sana,” jelas Romi.

            “Ooo… ternyata itu sebabnya. Nah kalau gitu kita memang harus jangan lewat sana ya. Biar nggak ketimpa batu besar itu,” ucap Nelfi lega. Mereka bertiga pun menyeberangi jalan raya menuju rumah mereka. Lega rasanya tidak dihantui ketakutan terhadap ular besar. Kejadian masa TK masih diingatnya hingga sekarang. Ular hitam besar yang sangat susah untuk ditangkap. Hiiiyyy ... ^_^

                                                                                 ***


Kisah Semasa SD yang saya tulis untuk teman-teman SD saya di WAG. Selamat membaca, semoga berkenan ya. ^_^