Tuesday, December 18, 2012

Semua Karena Cinta



                                           
Permintaan Syifa
     Tak pernah terbayangkan sebelumnya aku akan menjadi ibu yang mengantar anaknya sekolah dengan menggunakan motor. Dan akan menjadi ibu yang menghabiskan sebagian waktunya dijalanan.
     Setelah memutuskan resign dari pekerjaanku sebagai perawat di sebuah RS swasta di Bekasi, untuk menjadi ibu rumah tangga dan merawat anakku.  Suami membelikan sebuah sepeda motor matic untuk keperluanku menggantar Syifa anak kami ke sekolah.

    Waktu itu syifa kelas 3 SD, sementara adiknya Hikmal baru 4 tahun. Seharusnya aku senang karena diberi hadiah yang belum tentu semua orang mendapatkannya dari suaminya. Namun aku tidak seperti itu, bukan karena aku tidak suka, aku sangat berterima kasih kepada suamiku untuk segala hal. Alasanku lebih karena aku tidak bisa mengendarai motor. Jangankan untuk membawa motor, menyalakannya saja aku tidak bisa.
    Hampir setahun motor itu hanya duduk manis di rumah. Kadang dinyalakan suami di hari minggu, agar motor tidak cepat rusak. Entah sudah berapa kali bujuk rayu dari suami, agar aku mau belajar mengendarai motor, namun aku menolak dengan halus. Aku takut untuk mengendarai motor, karena pernah jatuh ketika belajar sepeda waktu aku SD dulu. Sampai saat itu aku tidak berani pakai sepeda. Dalam pikiranku, sepeda saja aku tidak bisa apalagi motor yang segitu besarnya. Ku simpan keinginanku belajar mengendarai motor itu jauh2. Jadilah motor baru itu seperti kuda tak berdaya di rumahku, tanpa pernah ku sentuh sedikitpun.
    Syifa juga beberapa kali menyatakan keinginannya agar aku bisa mengantarnya sekolah. Ia mengemukakan berbagai alasan untuk meyakinkanku. Suatu kali Syifa mengatakan padaku kalau Om Didi yang biasa menjemputnya sekolah, sering datang terlambat. Lain hari Syifa mengeluh dia tidak mau naik ojek Om Didi lagi, karena Om Didi membawa banyak anak lain dengan motornya, sehingga Syifa tidak kebagian tempat duduk di motor. Syifa memintaku lagi agar aku segera belajar mengendarai motor. Saat itu aku masih bergeming, karena rasa takutku mengalahkan rasa sayangku terhadap anakku.
    Hingga suatu kali Syifa kehujanan pulang sekolah. “Om Didi tidak mau menunggu Bu, katanya ada anak lain juga yang harus dijemputnya, padahal aku sudah bilang, lagi hujan,” tutur Syifa ketika sampai di rumah. Sehari setelah itu Syifa demam dan alerginya kumat, badannya bentol-bentol. Jarinya yang imut menjadi besar dan kaku. Beberapa bentol yang lumayan besar juga muncul di perut dan punggung hingga ke kakinya. Aku menangis melihat anakku seperti itu. Tak pernah sebelumnya dia mengalami alergi yang luar biasa parahnya. Setelah membawanya ke dokter Alhamdulillah Syifapun membaik. Bentolnya hilang dan telapak tangannya yang sempat besar dan kaku kembali normal seperti biasa.
Belajar Mengendarai Motor
   Sejak saat itu rasa takutku berhasil aku singkirkan. Aku tak ingin Syifa sakit lagi, setidaknya jika aku yang mengantar dan menjemputnya, pasti aku akan memperhatiakn cuaca terlebih dahulu. Tidak diburu waktu seperti halnya tukang ojek yang dikejar setoran.
    Aku belajar mengendarai motor sendiri. Aku belajar menyalakan motor matic itu terlebih dahulu, dengan memegang rem tangan dan memencet tombol strarter. Suamiku mengajakku belajar di depan Mesjid komplek perumahan kami. Bersama kedua anakku ia menunggu dan memberi semangat dari tempat duduknya di tangga mesjid. Menurutnya belajar mengendarai motor di depan Mesjid itu relatif lebih aman, karena waktu itu jalanan di depan mesjid jarang dilalui kendaraan. Walau takut masih menguasaiku, tapi aku kuatkan diri untuk terus belajar demi anakku. Alhamdulillah hari itu, aku bisa menyalakan motor, dan membuatnya berdiri kokoh dengan memasang standarnya. Itu saja sudah membuatku senang.
    Hari berikutnya lebih baik lagi, aku sudah bisa menggas motor walau sering memegang remnya. Hari selanjutnya aku bersemangat menuntaskan belajarku. Saking bersemangatnya, aku tidak melihat ada lubang besar di depanku, aku terjatuh dari motor. Tapi itu tidak menyurutkan semangatku. Jika semangat mengendur, selalu ku pompa dengan kata-kata aku tidak ingin anakku menderita seperti kejadian tempo hari.

 Menjadi Ojeker
   Alhamdulillah akhirnya aku bisa mengendarai motor. Setelah yakin dengan kemampuanku, aku mencoba membonceng Syifa. Alhamdulillah Sukses. Sejak saat itu aku resmi menjadi ojeker bagi anak-anakku. Mengantar Syifa dan Hikmal sekolah jam 7.00 WIB. Mengantar makan siang Syifa dan menjemput Hikmal jam 10.00 WIB . Menjemput Syifa jam 15.00 WIB. Itulah rutinitasku setiap hari.
    Ijin menjadi ojeker dari suami masih sebatas dari sekolah dan rumah saja. Paling jauh ke Kantor Kelurahan yang berjarak sekitar 4 km dari rumah. Itupun aku lewat jalan tikus dan jalan komplek  yang tidak begitu banyak dilalui kendaraan besar. Mengenakan helme adalah yang wajib aku lakukan jika aku pergi kemana saja. Itu salah satu syarat dari suamiku.
Aku bisa memakluminya. Walupun kadang beberapa teman sering melontarkan ledekan yang cukup membuat telinga merah.”Mau ke Tanah Abang ya Bu..,rapi banget!” demikian salah satu candaan mereka. Aku hanya tersenyum kecut mendengarnya. Tapi hal itu tak membuatku melanggar kesepakatan yang sudah aku buat bersama suami. Hari selanjutnya aku pasti terlihat menggunakan helm walau aku mengendarai motor sejauh 500 meter saja.
Jangan berpikir tak ada kendala dalam aktifitas baruku ini. Banyak kendala dan sedih ketika aku menjadi ojeker. Beberapa diantaranya akan aku beberkan di sini.
Tantangan di Jalanan
    Tantangan menjadi ojeker belum sepenuhnya aku rasakan diawal menjadi ojeker. Setahun kemudian, tantangan sebenarnya dalam dunia jalanan ini baru aku rasakan. Suatu hari, aku harus mengantar anak-anakku pergi Manasik Haji yang diadakan sekolahnya. Manasik Haji yang rutin setiap tahun itu kali ini disebuah lapangan pasar modern ( Marakash Square Bekasi Utara) . Jaraknya cukup jauh dari rumahku sekitar 7 KM. Dan yang  membuatku sedikit gugup adalah jalan menuju ke situ rusak parah. Ditambah lagi jalanan itu adalah jalan utama yang dilewati angkot dan kendaraan besar lainnya.
 Sempat timbul keinginan untuk minta tolong suamiku saja yang mengantar anak-anak. Dan semoga beliau bisa cuti dari kantornya pada hari itu. Setelah hal ini kuutarakan pada suamiku, beliau ternyata tidak bisa cuti karena sedang banyak kerjaan di kantornya. Suamiku menyarankan agar kami naik angkot saja. Namun aku berpendapat lain, jika naik angkot aku akan kesulitan membawa dua orang anak, karena harus turun naik angkot sebanyak dua kali pergi dan dua kali pulang. Sementara jika menggunakan motor, aku bisa menghemat waktu dengan melewati "jalur dalam" yang bukan jalur angkot tadi. Didamping itu ini kesempatan pertamaku untuk mengendarai motor sedikit "jauh" dari rumah
   Aku tak kehilangan akal, aku bertanya kepada beberapa teman, jalan kecil yang tidak dilewati kendaraan besar. Disamping untuk menghindari jalan rusak dan kendaraan besar itu, aku ingin tahu jalan lain yang lebih dekat ketujuanku. Beberapa teman menunjukkan alternatif rute yang harus aku lewati, tentunya dengan beberapa kekurangan dan kelebihannya
   Seperti biasa , karena jarak yang harus ku tempuh untuk mengantar sang buah hati cukup jauh, jadi ijin khusus dari sang suami sangat di butuhkan. Masalahnya bukan karena aku takut jauh-jauh dari rumah untuk mengendarai motor ini, namun lebih kepada ijin sang suami yang belum keluar. Suamiku tidak mengijinkanku disebabkan aku belum punya SIM. Ditambah lagi suamiku adalah tipe suami yang sangat khawatir tetang keselamatan istri dan anak-anaknya, makanya aku harus mendapatkan ijin khusus untuk mengendarai motor dengan jarak "jauh" dari biasanya ini.
     Dengan dibantu oleh dua buah hatiku, kami memohon pada bapaknya agar memberikan ijin untuk menggunakan motor menuju Marakash Sqare. Walau agak alot, akhirnya ijin khusus itupun berhasil ku peroleh. Tapi dengan berbagai syarat yang ditetapkan oleh suami tercinta. Diantaranya, harus pakai helm, bawa STNK, jalannya di pinggir, hati-hati, selalu awasi spion kiri kanan, mengendarai motornya pelan-pelan, tidak ngebut, dan harus lewat “jalan dalam" bukan jalan angkot, demikian sederet persyaratan itu.
    Pada hari H, pagi sebelum kami berangkat ternyata hujan turun, aku mulai ragu untuk berangkat. Syifa memintaku untuk tetap berangkat, karena dia punya tugas khusus pada acara Manasik Haji itu, demikian alasannya. Aku menguatkan diri dan tekad, kamipun berangkat. Sebelumnya aku berdoa kepada Allah agar aku diberi kemudahan dalam perjalanan ini.  
    Mungkin anda semua akan tertawa membaca tulisanku ini, dan berpikir aku terlalu “lebai" dengan perjalanan ini. Aku punya alasan sendiri untuk menjelaskannya. Pertama ini adalah perjalanan perdanaku untuk jarak jauh dari biasanya. Kedua, biasanya jalanan yang akan aku lewati ini, jika habis di guyur hujan akan sangat becek dan licin, karena kebetulan "jalan dalam" ini belum di aspal dan masih asli jalan tanah. Tanahnya ini adalah tanah lempung yang sangat licin jika kita lewati, jadi aku harus ekstra hati-hati karena aku mempertaruhkan keselamatanku dan keselamatan dua buah hatiku.
     Setelah doa yang kupanjatkan di sertai semangat dari dua buah hatiku, kamipun berangkat. Aku mampir kesekolah dulu untuk mencari teman yang mau bareng denganku, setidaknya jika aku kenapa-napa, ada teman yang mengetahuinya. Tapi ternyata tidak ada satupun teman yang ikut. Entah mereka sudah duluan, atau mereka tidak ikut karena hujan.
    Aku membawa anak-anakku menuju rute tercepat dan teraman yang direkomendasikan teman-temanku. Karena tidak ada teman yang bisa aku ikuti, aku meraba-raba sendiri rute yang harus kulewati. Benar saja sampai di jalan yang harus kami lewati ternyata jalan itu licin dan becek. Aku memperhatikan ada bekas roda motor yang tergelincir. Aku hanya bisa berdoa, agar aku tidak tergelincir, tak kupedulika lagi sepatu yang aku pakai akan terkena air dan becek, dengan hati-hati aku mulai menggas motor, dan salah satu kakiku berusaha untuk tetap berpijak di tanah sambil sedikit diangkat jika motor mulai ku gas.
    Syifa dan Hikmal turut berdoa demi keselamatan kami. Mereka sudah tidak mempedulikan lagi jika pakaian ihram yang di kenakanya akan terkena becek. Sambil terus berpegangan dan berdoa mereka minta aku berhati-hati. Aku terharu dengan dukungan mereka. Alhamdulillah rintangan pertama berhasil kami lewati.
 Entah karena aku yang buta jalan atau emang petunjuknya yang salah, setelah melewati beberapa jalan kecil aku berhasil keluar ke dan bertemu jalan raya. Menurut temanku jika sudah sampai di jalan raya, cukup menyeberang saja, maka aku akan sampai di komplek Marakash square. Ternyata tidak demikian denganku. Aku bertemu dengan jalan raya rusak yang tadinya ku takuti. Rintangan berikutnya adalah genangan air hujan yang menggenang bak kolam renang kotor di jalanan yang menghubungi antara jalan tanah dan jalan raya tadi dengan Marakash Square. Akupun merasakan medan yang sesungguhnya itu. Jalan ini macet total. Mungkin karena lubang sebesar kolam renang itu yang membuat semua pengendara motor memperlambat laju kendaraan mereka.
   Dengan doa yang tak pernah berhenti aku mencoba menerobos angkot dan mobil pribadi yang ada di depanku. Hampir saja kehilangan kendali motor ketika menambah gas untuk melewati genangan itu, karena di kiri dan kananku banyak sekali motor dan angkot yang lewat, sehingga aku hanya punya sedikit celah yang bisa kulewati. Tetap hati-hati dan meminta kedua anakku untuk mengencangkan pegangannya, aku berusaha melewati rintangan ini. Alhamdulillah, kedua rintangan besar itu berhasil ku lewati.
" Untung sendal Kakak gak copot Bu, tadi sendal Kakak hampir copot kesenggol angkot," ungkap Syifa setelah kami berhasil melewati rintangan kedua ini.
" Anggap saja perjalanan hari ini sebagai langkah pertama kita untuk berangkat haji yang sesungguhnya Kak, karena kata orang-orang untuk menunaikan ibadah haji itu akan banyak sekali ritangannya. Nah orang yang sabar dan ikhlaslah yang berhasil melewati rintangan itu," sahutku membesarkan hatiku dan hatinya.
" Semoga saja suatu saat nanti kita bisa juga menghadapi rintangan untuk melaksanakan ibadah haji yang sebenarnya ya Bu..." ucapan anakku membuatku menitikkan air mata. Amin...ya Allah, hamba harap Engkau memberikan rintangan ini untuk mengundang hamba dan keluarga hamba menuju rumah Mu, doaku dalam hati. Kamipun sampai di arena Manasik Haji Marakash Square dengan selamat.

Diserempet Motor.
     Bukan hanya itu kejadian yang 'seram' yang kualami. Suatu pagi, sehabis mengantar Syifa dan Hikmal sekolah, aku mampir di kantor pos guna mengirim wesel untuk orangtuaku. Jarak antara kantor pos dan sekolah Syifa hanya seratus meter saja, tapi kantor pos itu terletak di depan jalan raya. Sebagaimana yang dipesankan suamiku, agar aku selalu berada di kiri jalan, agar aku tidak menghalangi pengendara lain yang ingin menyalip. Aku patuhi pesan itu. Tapi entah darimana, tiba-tiba sebuah motor atau pengendaranya menyerempetkku dengan sengaja. Aku kehilangan kendali, dan lupa memegang rem tangan. Karena motor matic remnya hanya di tangan, maka otomatis gas yang kesenggol bertambah kencang. Motorku kehilangan kendali sekian detik. Untung Allah sangat menyayangiku, tangan kiriku reflek menahan rem. Alhamdulillah aku tidak jatuh, walau hampir menabrak tiang listrik di pinggir jalan.
   Demikianlah sebagian kecil ceritaku selama menjadi ojeker. Semoga dengan tetap hati-hati dan terus berdoa dan berzikir disepanjang perjalanan bisa menghindari kita dari kecelakaan selama berkendaraan. Walau diawal aku sangat takut belajar mengendarai motor, namun karena cinta kepada anak melebihi segalanya hal yang mustahilpun akhirnya bisa kulakukan. Jadi jangan pernah berkata tidak untuk hal apapun. Semoga ceritaku memberi hikmah bagi kita semua. Aamiin.

1 comment:

Terima kasih sudah berkunjung. ^_^