Dalam sepekan ini dua kali saya mendapat curhat dari ibu teman Hauzan. Awalnya kami bicara tentang anak-anak kami. Lalu pembicaraan berkembang hingga anak-anak sudah bisa baca, tulis dan hitung. Cerita pun berlanjut tentang anak yang suka main HP, menonton You Tube sepanjang hari.
Umumnya ibu-ibu itu tidak suka kalau anaknya main HP. Mereka juga nggak tega kalau anaknya harus bisa membaca, menulis dan berhitung di usia mereka yang belum genap 6 tahun. Mereka merasa serba salah.
Satu sisi ingin anak mereka bisa lebih banyak bermain. di sisi lain, mereka harus di hadapkan pada keadaan. Saat ini hampir semua SD menerima anak-anak yang sudah bisa menulis, membaca dan berhitung. Malah beberapa di antara SD swasta melakukan psiko test sebagai syarat diterimanya anak di sekolah tersebut.
Di antara ibu yang curhat ke saya, salah satunya adalah ibu bekerja. Dia berpikir untuk resign demi anaknya. Tapi hal itu tidak mungkin, karena beberapa alasan. Dia juga sedih ketika peraturan yang diterapkannya untuk anaknya tidak bisa berjalan maksimal karena nenek yang menjaga sang anak bersikap terlalu longgar pada anaknya. Sang nenek mengizinkan cucunya bermain HP sepanjang hari bahkan ketika HP sedang di-charge.
Saya tidak berani menyarankan ibu itu untuk resign. Karena saya tahu keadaan setelah resign itu tidak akan mudah. Baik bagi anaknya mau pun ibu. Saya hanya menyarankan untuk mematikan wifi di rumah mereka. Sehingga anak tidak bisa menonton Youtube lagi. Setidaknya satu masalah bisa dikurangi.
Saran saya pun ternyata tidak bisa membantu. Menurut si ibu, dia tinggal di rumah mertuanya. Dia tidak berani meminta mertuanya untuk mematikan wifi. Karena bukan hanya anaknya saja yang menggunakan wifi, tapi adik ipar dan keluarga lainnya juga membutuhkan itu.
Sungguh saya merasa empati pada ibu itu. Apa yang harus dilakukannya untuk 'menyelamatkan' anaknya? Dia sudah meminta suaminya untuk mengatakan pada ibunya agar tidaqk memberikan HP pada anak mereka. Tapi hal itu masih belum membuahkan hasil. Alasan nenek anaknya pasti menangis kalau tidak diberi HP.
Padahal si ibu sudah mengatakan, biarkan saja anaknya menangis. Tentunya tidak semudah itu bagi nenek membiarkan cucunya menangis. Begitulah yang ada dalam pikiran saya. Jadi peraturan ya tinggal peraturan. Menantu merasa tidak enak sama mertuanya sedangkan mertua mungkin merasa tidak nyaman jika cucunya menangis ketika tidak diberikan HP.
Sementara itu beberapa kali guru si anak menyarankan agar si ibu memeriksakan mata anaknya. Karena si anak terlihat susah saat menyalin sesuatu dari papan tulis.
Saya juga pernah mengalami masa di mana Hauzan hampir tidak bisa lepas dari HP karena youtube.
Saya memaksakan diri untuk tega melihatnya menangis meminta HP. Bersyukur saat ini dia tidak main HP lagi. Walau kadang dia ingin main HP juga, ketika melihat teman di rumah yang sedang main game. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Ketika dia sudah keluar dari rumah teman yang bermain HP, dia melupakan game dan youtube tersebut.
Seiring perkembangan zaman dan teknologi, makin berat dan banyak tantangan yang dihadapi orangtua dan anak-anak saat ini. Saya hanya berdoa semoga sahabat saya itu segera bisa mengatasi masalahnya. Semoga ibu-ibu semua diberi kekuatan untuk menjaga anak-anak dari segala ancaman teknologi yang ibarat dua mata pisau.
Kita membutuhkannya, tapi jangan terlalu bergantung padanya.
Umumnya ibu-ibu itu tidak suka kalau anaknya main HP. Mereka juga nggak tega kalau anaknya harus bisa membaca, menulis dan berhitung di usia mereka yang belum genap 6 tahun. Mereka merasa serba salah.
Satu sisi ingin anak mereka bisa lebih banyak bermain. di sisi lain, mereka harus di hadapkan pada keadaan. Saat ini hampir semua SD menerima anak-anak yang sudah bisa menulis, membaca dan berhitung. Malah beberapa di antara SD swasta melakukan psiko test sebagai syarat diterimanya anak di sekolah tersebut.
Di antara ibu yang curhat ke saya, salah satunya adalah ibu bekerja. Dia berpikir untuk resign demi anaknya. Tapi hal itu tidak mungkin, karena beberapa alasan. Dia juga sedih ketika peraturan yang diterapkannya untuk anaknya tidak bisa berjalan maksimal karena nenek yang menjaga sang anak bersikap terlalu longgar pada anaknya. Sang nenek mengizinkan cucunya bermain HP sepanjang hari bahkan ketika HP sedang di-charge.
Saya tidak berani menyarankan ibu itu untuk resign. Karena saya tahu keadaan setelah resign itu tidak akan mudah. Baik bagi anaknya mau pun ibu. Saya hanya menyarankan untuk mematikan wifi di rumah mereka. Sehingga anak tidak bisa menonton Youtube lagi. Setidaknya satu masalah bisa dikurangi.
Saran saya pun ternyata tidak bisa membantu. Menurut si ibu, dia tinggal di rumah mertuanya. Dia tidak berani meminta mertuanya untuk mematikan wifi. Karena bukan hanya anaknya saja yang menggunakan wifi, tapi adik ipar dan keluarga lainnya juga membutuhkan itu.
Sungguh saya merasa empati pada ibu itu. Apa yang harus dilakukannya untuk 'menyelamatkan' anaknya? Dia sudah meminta suaminya untuk mengatakan pada ibunya agar tidaqk memberikan HP pada anak mereka. Tapi hal itu masih belum membuahkan hasil. Alasan nenek anaknya pasti menangis kalau tidak diberi HP.
Padahal si ibu sudah mengatakan, biarkan saja anaknya menangis. Tentunya tidak semudah itu bagi nenek membiarkan cucunya menangis. Begitulah yang ada dalam pikiran saya. Jadi peraturan ya tinggal peraturan. Menantu merasa tidak enak sama mertuanya sedangkan mertua mungkin merasa tidak nyaman jika cucunya menangis ketika tidak diberikan HP.
Sementara itu beberapa kali guru si anak menyarankan agar si ibu memeriksakan mata anaknya. Karena si anak terlihat susah saat menyalin sesuatu dari papan tulis.
Saya juga pernah mengalami masa di mana Hauzan hampir tidak bisa lepas dari HP karena youtube.
Saya memaksakan diri untuk tega melihatnya menangis meminta HP. Bersyukur saat ini dia tidak main HP lagi. Walau kadang dia ingin main HP juga, ketika melihat teman di rumah yang sedang main game. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Ketika dia sudah keluar dari rumah teman yang bermain HP, dia melupakan game dan youtube tersebut.
Seiring perkembangan zaman dan teknologi, makin berat dan banyak tantangan yang dihadapi orangtua dan anak-anak saat ini. Saya hanya berdoa semoga sahabat saya itu segera bisa mengatasi masalahnya. Semoga ibu-ibu semua diberi kekuatan untuk menjaga anak-anak dari segala ancaman teknologi yang ibarat dua mata pisau.
Kita membutuhkannya, tapi jangan terlalu bergantung padanya.
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. ^_^