Tuesday, February 19, 2013

BAB 2 Novel Pop Kelas Ajaib Online


                                             Pagi Berkabut Di Bukittinggi
                                  
            Azan subuh berkumandang di setiap penjuru kota Bukittinggi. Nava sudah bangun sebelum subuh tadi. Seperti bisa dia melakukan shalat tahajut 4 rakaat, setelah itu ia membaca AlQuran sambil menunggu azan subuh. Kegiatan ini biasa dilakukannya kalau dia tidak sedang dinas malam. 

            “Nava, ayo shalat ke mushala,” terdengar suara ayah Nava memanggil dari luar kamar. Rumah mereka terletak di sebuah komplek Pemda. Komplek ini dulunya adalah sebuah komplek perumahan bagi pegawai Lapas kota Bukittinggi. Kakek Nava salah satu sipir Lapas yang terdapat di depan komplek perumahan itu. Sayangnya Lapas itu sekarang sudah dipindahkan ke sebuah desa di pinggir Bukittinggi. Bangunannya saat ini dibiarkan begitu saja.
            Namun, para sipir  dan pegawai lainnya yang sudah pensiun masih bisa tinggal di komplek yang lebih mirip asrama tentara itu, sampai batas waktu yang belum ditentukan. Tahun 90 an, Lapas itu pernah digunakan sebagai lokasi syuting film Sengsara Membawa Nikmat adaptasi dari novel karya Tulis St. Sati yang sangat terkenal itu.Beberapa tahun belakangan ini, terdengar kabar bahwa komplek tempat tinggal Nava akan digusur untuk dijadikan terminal. Namun kabar lain menyebutkan bahwa komplek itu akan dilestarikan karena merupakan bangunan bersejarah peninggalan Belanda. Nava berharap opsi terakhir yang direalisasikan pemerintah.
            Ada sekitar 70 keluarga yang tinggal dalam komplek itu. Keluarga Bapak Bagindo Nagari, Ayah Nava salah satunya. Rumah mereka di bagian belakang komplek. Rumah-rumah itu saling berdempetan membentuk huruf U. Rumah Nava di sisi selatan.
             Yo Pa,” Nava menghentikan bacaan AlQur’annya. Dia meletakkan AlQuran itu di atas meja belajar di kamarnya. Kamar Nava berukuran 2,5 x 3 meter. Hanya ada satu single bed, satu lemari pakaian dan satu meja belajar kecil di sudut kamar. Tak ada jendela di kamarnya. Karena dinding kamar Nava juga merupakan dinding kamar tetangganya.
            Hanya ada 2 buah ventilasi bulat berdiameter 70 cm terletak di dinding belakang rumah. Untungnya dinding rumah tetangga di belakang itu tidak menyatu dengan dinding rumah Nava.  Dari 2 ventilasi itulah kamar Nava mendapatkan udara segar dan cahaya matahari.
 Bangunan rumah Nava adalah bangunan dibuat pada jaman penjajahan Belanda.  Ada 2 kamar di dalam rumah itu dengan ukuran yang sama. Satu ruang tamu mungil  berukuran 2x 2 meter dan satu ruang keluarga yang memanjang dari arah pintu ke depan kamar Nava. Yang membuat bangunan rumah Nava ini terlihat luas adalah langit-langitnya yang cukup tinggi. Ada 4 jendela berukuran cukup lebar di depan ruang tamu mungil itu. Pintu kayu model lama, 2 pieces, khas pintu jaman dulu di samping jendela lebar itu.
            Tinggi langit-langit rumah ini sekitar 4 meter dari lantai. Dinding pembatas kamar Nava dan ruang keluarga pun tidak sampai menutupi langit-langit. Hanya 2,5 meter dari lantai rumah. Jadi udara dan cahaya bisa masuk maksimal ke dalam kamar Nava dan kamar ke dua orangtuanya. Kalau malam hari, keluarga itu cukup menyalakan satu lampu di ruang keluarga saja. Kamar Nava dan kamar orangtuanya tidak mempunyai penerangan khusus. Nava adalah anak tunggal di keluarga itu.
            Ama mana Pa?” tanya Nava ketika tidak melihat ibunya di ruang keluarga. Biasanya beliau yang mengajak Nava untuk shalat subuh ke musala.
            Ama ke rumah Etek Erna sebelum kamu pulang semalam. Etek kamu sakit,” sahut laki-laki yang masih terlihat muda diusianya yang sudah memasuki 60 tahun. Laki-laki bertubuh gemuk itu sudah siap berangkat ke musala dengan sarung dan baju kokonya. Setelah menjawab pertanyaan Nava, dia lalu membuka pintu.
            “Oh, pantas semalam ambo tidak melihat Ama,” gumam Nava. Dia berjalan mengiringi langkah Ayahnya. Setelah Nava keluar Rumah, Ayahnya mengunci pintu rumah mereka. Berdua anak dan orangtua itu berjalan menuju musala yang letaknya 30 meter dari rumah mereka.
            Setelah sampai di musala, mereka melakukan shalat sunat fajar. Setelah itu Ayah Nava mengimami shalat subuh . Hanya ada 7 jamaah shalat subuh pagi itu. Empat laki-laki dan 3 perempuan. Selesai shalat, Nava bergegas pulang. Dia ingat ada janji dengan Lisa.
                                    ***
Pagi itu Lisa datang ke rumah Nava tepat pukul 5.30 wib. Matahari belum menampakkan wujudnya. Nava sudah siap dengan pakaian olahraga, stelan kaos lengan panjang dan celana panjang berwarna salem, warna favoritnya. Kulitnya yang sedikit gelap menjadi terlihat cerah dengan menggunakan warna tersebut. Jilbab kaos berwarna senada menjadikan wajahnya tambah bersinar.
            “Ayo kita berangkat Kak!” ajak Lisa. Hari ini temannya itu mengenakan kaos lengan pendek dengan leging selutut berwarna senada, hijau lumut. Lisa menguncir rambut sebahunya. Di kepalanya ada bandana bergambar pita kuning. Lisa berlari di tempat sambil meregangkan otot tangannya ke kiri dan ke kanan. Nava pun melakukan hal yang sama. Mereka pasti melakukan pemanasan dulu setiap kali hendak berolahraga, agar tidak cidera. Sebelum berangkat, Nava pamit pada ayahnya.  
            “Kamu ngapain sih ngajak dokter Jauhari segala?” tanya Nava ketika mereka sudah berjalan meninggalkan rumah. Kemarin dia tidak enak menanyakan hal itu dekat dokter Jauhari. Setelah dokter Jauhari pergi, Nava dan Lisa sudah sibuk dengan kegiatan mereka masing-msing. Nava menerima pasien baru. Sedangkan Lisa mengambil obat untuk pasien itu. Setelah itu mereka sibuk dengan pergantian dinas malam, sehingga membuat Nava lupa menanyakannya pada Lisa.
            “Aku nggak ngajak dia kok. Dia aja yang pengen ikut,” elak Lisa. “Nggak usah dipikirin kali Kak. Biarin aja sih dia ikut. Lumayan kan buat jadi bodyguard.”
            Nava terbahak sehingga gingsulnya terlihat. “Kalau dokter Jauhari dengar kamu ngomong begini, pasti dia marah dan nggak akan mau ikut.”
            Mereka pun berlari kecil menuju Jam Gadang. Rumah Nava terletak di jalan Perintis Kemerdekaan, hanya sekitar 250 meter menuju Jam Gadang. Cukup mendaki anak tangga Janjang Gudang di depan Hotel Jogja.
            Lima menit kemudian, mereka sudah sampai di Janjang Gudang. Mereka berjalan cepat menaiki tangga itu. Suasana benar-benar masih sepi. Biasanya siang hari di samping kanan dan kiri tangga ini sangat ramai dengan para pedagang. Pedagang itu membuat toko di dalam rumah mereka. Waktu Nava masih kecil, toko-toko ini belum ada. Hanya ada bangunan rumah model lama di sisi kiri dan kanan tangga.
            Nava ingat, ia pernah menonton film super hero dari Jepang di salah satu rumah itu. Film itu baru tersedia dalam rekaman video kaset. Hanya segelintir orang Bukittinggi yang mempunyai video kaset saat itu. Salah satunya, teman Nava yang tinggal di depan Janjang Gudang ini. Bukan teman sekolah, hanya teman bermain yang kebetulan bertemu di depan Lapas tempat Nava biasa bermain kala kecil.
            Suatu kali temannya itu mengajaknya menonton film Megaloman, yang saat itu sangat disukai anak-anak. Kalau sekarang film seperti itu seperti film Power Rangers. Hanya saja dulu pahlawannya itu hanya satu orang.
            “Hei! Ngapain senyum-senyum sendiri?” tanya Lisa membuyarkan lamunan Nava.
            “Ah, enggak, aku ingat masa lalu,” Nava tersipu. Jika sudah seperti ini, Nava sangat terlihat mirip dengan Sheeren Sungkar. Dia menceritakan pada Lisa tentang masa kecilnya itu. “Ternyata waktu berlalu begitu cepat ya. Aku nggak tahu sekarang temanku itu masih tinggal di sini atau sudah pindah. Kami terakhir bertemu ya waktu aku masih SD itu. SMP aku sudah pindah dari sini. Baru ke sini lagi selesai kuliah.”
            “Kalau gitu kenapa masih belum mikirin nikah? Usia kakak kan sudah sangat matang untuk menikah,” sela Lisa usil.
            “Maunya sih, cuman belum ada aja yang pas di hati. Sudah ah, jangan bahas itu lagi,” Nava mulai lagi berlari kecil di undakan tangga yang agak lebar. Tangga Janjang Gudang ini cukup unik. Setelah beberapa anak tangga kecil akan diselingi anak tangga lebar seluas satu meter.   
            Sepuluh menit berikutnya Nava dan Lisa sudah sampai di puncak Janjang Gudang. Tepat di depan Janjang Gudang itu terdapat Pasar Atas yang sangat terkenal di kalangan para wisatawan. Mereka berbelok ke arah kiri menuju Jam Gadang. Sekitar lima puluh meter di depan mereka terlihat seseorang melambaikan tangan.
            “Dokter Jauhari sudah menunggu kita Kak,” ujar Lisa. Nava hanya tersenyum.
            “Sudah lama Dok?” sapa Lisa ketika mereka berada di hadapan Dokter Jauhari. Dokter itu mengenakan kaos pendek  body press warna hitam dengan celana training putih. Nava hampir saja tidak mengenalinya. Biasanya dokter itu selalu mengenakan kemeja dan jas putih, pakaian dinas seorang dokter. Dengan berpakaian dinas, badan Dokter Jauhari terlihat lumayan gempal karena pipinya yang chubby.  
            Tapi kenapa sekarang dia tidak terlihat gemuk sama sekali? Baru kali ini Nava melihat Dokter itu menegnakan baju kaos. Entah kenapa dadanya tiba-tiba diselimuti debaran aneh. Debaran yang pernah dirasakannya beberapa tahun lalu. Saat dia bertemu dengan Rian mantan kekasihnya. Nava segera menarik napas panjang guna menghilangkan debaran itu. Dia kembali meregangkan otot tangan dan kakinya untuk menutupi rasa gugup yang tiba-tiba muncul.
(Gunting)
          

2 comments:

  1. salam kenal. menarik cerpennya dengan setting bukit tinggi

    ReplyDelete
    Replies
    1. salam kenal juga Mbak Lisa. hehehe namanya jadi salah satu tokoh dalam cerita saya nih. ^_^

      Delete

Terima kasih sudah berkunjung. ^_^