Monday, January 7, 2013

Rendang Atau Sate Bu?


      
                 Setiap hari raya kurban atau yang lebih sering kita dengar dengan sebutan Idul Adha, saya selalu mendapat kiriman rendang daging dari kampung. Orang tua saya mengolah semua daging yang mereka peroleh dari penyembelihan hewan kurban itu menjadi rendang.
       Tahun lalu, seperti biasa, saya menerima kiriman rendang dari orangtua. Kebetulan kami sekeluarga tinggal terpisah dengan orang tua. Saya di Bekasi, sedangkan orangtua di Bukittinggi.  Ada kejadian seru yang terjadi ketika saya memanaskan rendang yang baru diberikan oleh kurir.
      Kejadian itu berawal ketika saya minta tolong kepada Syifa. Syifa 12 tahun, putri sulung saya penggemar berat rendang daging. Khususnya rendang yang dikirim neneknya.  Menurut Syifa rendang yang dibuat nenek lebih maknyus dibanding rendang yang dibuat ibunya. Jadilah Syifa orang yang pertama mencicipi rendang kiriman dari kampung itu setiap tahun.
      Siang itu, kiriman rendang baru saja sampai dengan selamat di rumah kami. Saya meminta Syifa membuka bungkusan rendang itu agar saya bisa memanaskan rendang yang sudah 2 hari di perjalanan. Sebagaimana kita ketahui, rendang adalah makanan yang tahan selama beberapa hari tanpa bahan pengawet.
      Setelah Syifa membuka bungkusan rendang, saya pun memanaskan rendang itu. “Hhhmmm... wangiii... bikin perutku tambah lapar nih bu,” ujar Syifa sambil menelan ludahnya.
       “Sabar Kak, sebentar lagi ya. Tunggu sampai benar-benar panas agar lebih enak,” ujar saya sambil terus mengaduk rendang di wajan. Syifa pun mengerti. Dia kembali ke kamarnya untuk belajar.
       Namun, ketika asyik mengaduk rendang, tiba-tiba Hauzan, putra bungsu saya yang masih bayi terbangun dari tidurnya. Saya pun mengecilkan api dan berteriak memanggil Syifa di kamarnya. “Tolong diaduk rendangnya ya Kak. Ibu mau boboin adek lagi,” pinta saya sambil buru-buru masuk ke kamar. Sebelum masuk ke kamar, saya mendengar teriakan “iya” dari Syifa.
      Setelah itu saya langsung memberi ASI pada putra bungsu saya itu. Lumayan lama saya memberi ASI, hingga saya ketiduran. Tiba-tiba saya terbangun mendengar teriakan Syifa.  “Bu! Ini rendangnya diapain lagi nih?”
       Ya ampun.. ternyata saya tertidur cukup lama. Saya buru-buru keluar kamar. Aroma gosong sudah memenuhi dapur dan ruang makan kami. Ternyata Syifa tidak cukup kuat mengaduk rendang yang begitu banyak.
      “Kok gosong kak?” tanya saya berlagak bingung .
    “Aku gak kuat mengaduk yang paling bawah. Ibu sih lama banget nenenin adek,” gerutu Syifa sambil memijit lengannya yang pegal. Saya buru-buru mematikan api. Setelah itu saya aduk lagi rendang bagian bawah. Ternyata cukup banyak rendang yang gosong. Saya tidak yakin masih bisakah rendang ini dimakan. Saya khawatir rasa gosong itu akan mengurangi nikmatnya rendang.
      “Kakak mau makan nih bu, udah laper dari tadi.” Syifa menyodorkan piring yang sudah berisi nasi pada saya. Ia tak sabar untuk memakan rendang itu. Dengan tersenyum kecut saya ambilkan 2 potong rendang yang tidak gosong untuk Syifa.
     Setelah mencuci tangannya, Syifa duduk dan mulai makan. Saya menahan napas menunggu komentar Syifa. Saya merasa tidak tega jika mengatakan pada Syifa bahwa rendang itu sebaiknya jangan dimakan, karena pasti ada rasa gosongnya.
       Ketika asyik mengunyah rendangnya, Syifa seperti merasakan ada yang aneh dengan rasa rendang itu. “Ini rendang atau sate sih bu?” tanyanya.
       “Kenapa kak? Rasanya seperti sate ya?”
       “Iya, enak sih, tapi ada rasa gosongya seperti sate,” jawabnya.
       “Pahit nggak?”
       “Nggak. Cuman rasanya nggak kayak biasanya.”
       “Tapi masih enak kan?”
       “Masihlah bu. Ibu coba aja sendiri.”
      Akhirnya saya pun mencicipi rendang itu. Ternyata Syifa benar. Walaupun rendang itu gosong, tapi rasanya tidak berkurang. Malah jadi sedikit bertambah. Bukankah rendang yang sebenarnya adalah daging yang gosong karena dimasak sampai hitam? Jadi apakah ini rendang atau sate? Kami tetap memakannya. [NS]



     

2 comments:

Terima kasih sudah berkunjung. ^_^