Nava merapatkan jaketnya. Hawa dingin
menerpa wajahnya. Udara dingin di kota kelahirannya ini tak berbeda dengan beberapa tahun lalu. Sudah sejam dia duduk di sini. Di belakang sebuah meriam
tua peninggalan Belanda. Ketika kecil, dia betah berlama-lama duduk di atas
meriam itu. Saat itu usianya masih 10 tahun. Ayahnya hampir tiap Minggu
mengajaknya ke tempat itu. Ia dan adiknya bermain perang-perangan di tempat
itu. Nava dan masyarakat Bukittinggi menyebut tempat itu dengan Benteng.
Benteng itu merupakan sebuah
tempat yang sangat cocok untuk tempat bersembunyi atau berlindung dari serangan
musuh. Kontur tanahnya yang berbukit dan dikelilingi puluhan pohon pinus
membuat siapa pun susah terlihat. Wajar saja pasukan Belanda menjadikan tempat
itu sebagai benteng pertahanan dan sebagai markas mereka.
Beberapa meriam kuno masih
berdiri kokoh di empat penjuru benteng. Sebuah menara pengintai berdiri megah
di puncak benteng ini. Yang membuatnya berbeda dari lima belas tahun yang lalu
adalah, saat ini ada beberapa kandang burung berbagai jenis yang menjadi
penghuni benteng ini. Pemda setempat menjadikan tempat ini sebagai salah satu
objek wisata.
Nava berdiri
dan berjalan ke sisi kanan menara pengintai. Dari situ ia bisa melihat jembatan
Limpapeh yang menjadi penghubung antara Benteng dan Taman Margasatwa dan Budaya
Kinantan. Jembatan ini berdiri di atas jalan Ahmad Yani Bukittinggi. Nava lalu
menelusuri jalan menurun menuju jembatan. Di samping kiri dan kanannya ada
kandang burung Kakak Tua. Nava berhenti sejenak memperhatikan tingkah sepasang
Kakak Tua di kandang sebelah kanan.
“Andai
dia ada di sini saat ini, mungkin kami bisa bercanda sepertimu,” gumam Nava. Ia
kembali berdiri dan melanjutkan jalannya menuju jembatan limpapeh. Sebelum mencapai
jembatan, ada sebuah persimpangan jalan kecil. Ke arah kiri menuju jembatan,
dan ke arah kanan menuju kandang burung lain yang lebih besar. Nava berdiri di
persimpangan itu. Matanya menatap ke depan. Dari tempatnya berdiri ia bisa
melihat sebagian besar kota kelahirannya Bukittinggi.
Dari
kejauhan gonjong Jam Gadang terlihat megah seolah membelah Gunung Singgalang
dan Gunung Marapi. Sungguh pemandangan yang takkan pernah dilupakannya. Nava
mengambil kamera sakunya. Ia ingin megabadikan keadaan kota Bukittinggi saat
ini. Dulu lima belas tahun yang lalu, ia
dan seseorang yang selalu ada di hatinya pernah berfoto di tempat itu. Waktu itu
mereka berjanji akan bertemu lima belas tahun lagi di sini. Tepat pada tanggal
dan jam yang sama. Sayangnya sudah sejam Nava menunggu, seseorang itu masih belum
muncul di hadapannya.
“Nava!”
sebuah suara membuyarkan lamunan Nava. Ia menoleh ke kanan. Dini sahabatnya
berdiri sambil merentangkan tangannya. Wajah sahabatnya itu taktampak berubah. Hanya
terlihat lebih dewasa dengan kerudung lebarnya.
“Dini!
Apa kabar?” Nava tersenyum senang. Mereka berpelukan. Mereka pun bercerita tentang
kegiatan masing-masing. Dini sekarang di Malaysia. Sedangkan Nava di Jakarta. Hanya
jejaring sosial yang menghubungkan mereka beberapa waktu terakhir ini.
“Ayo
kita berfoto di sana lagi,” ajak Dini sambil menunjuk tempat yang dipotret Nava
tadi.
Dini
sahabat karib Nava waktu SMP. Ketika SMA dia harus pindah ke Malaysia mengikuti
orang tuanya. Sejak itu mereka takpernah bertemu lagi. Tapi mereka ingat sebuah
janji. Akan bertemu lagi di tempat ini. Sehari sebelum keberangkatan Dini ke
Malaysia. Persahabatan mereka akan sekokoh Gunung Singgalang dan Gunung Marapi yang menjadi latar foto mereka.
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. ^_^