Pagi Berkabut Di Bukittinggi
Azan subuh berkumandang di setiap
penjuru kota Bukittinggi. Nava sudah bangun sebelum subuh tadi. Seperti bisa
dia melakukan shalat tahajut 4 rakaat, setelah itu ia membaca AlQuran sambil
menunggu azan subuh. Kegiatan ini biasa dilakukannya kalau dia tidak sedang
dinas malam.
“Nava, ayo shalat ke mushala,”
terdengar suara ayah Nava memanggil dari luar kamar. Rumah mereka terletak di
sebuah komplek Pemda. Komplek ini dulunya adalah sebuah komplek perumahan bagi
pegawai Lapas kota Bukittinggi. Kakek Nava salah satu sipir Lapas yang terdapat
di depan komplek perumahan itu. Sayangnya Lapas itu sekarang sudah dipindahkan
ke sebuah desa di pinggir Bukittinggi. Bangunannya saat ini dibiarkan begitu
saja.
Namun, para sipir dan pegawai lainnya yang sudah pensiun masih
bisa tinggal di komplek yang lebih mirip asrama tentara itu, sampai batas waktu
yang belum ditentukan. Tahun 90 an, Lapas itu pernah digunakan sebagai lokasi
syuting film Sengsara Membawa Nikmat adaptasi dari novel karya Tulis St. Sati yang
sangat terkenal itu.Beberapa tahun belakangan ini, terdengar kabar bahwa
komplek tempat tinggal Nava akan digusur untuk dijadikan terminal. Namun kabar
lain menyebutkan bahwa komplek itu akan dilestarikan karena merupakan bangunan bersejarah peninggalan Belanda. Nava berharap opsi terakhir yang direalisasikan
pemerintah.
Ada sekitar 70 keluarga yang tinggal
dalam komplek itu. Keluarga Bapak Bagindo Nagari, Ayah Nava salah satunya. Rumah
mereka di bagian belakang komplek. Rumah-rumah itu saling berdempetan membentuk
huruf U. Rumah Nava di sisi selatan.
“Yo
Pa,” Nava menghentikan bacaan AlQur’annya. Dia meletakkan AlQuran itu di atas
meja belajar di kamarnya. Kamar Nava berukuran 2,5 x 3 meter. Hanya ada satu
single bed, satu lemari pakaian dan satu meja belajar kecil di sudut kamar. Tak
ada jendela di kamarnya. Karena dinding kamar Nava juga merupakan dinding kamar
tetangganya.
Hanya ada 2 buah ventilasi bulat berdiameter
70 cm terletak di dinding belakang rumah. Untungnya dinding rumah tetangga di
belakang itu tidak menyatu dengan dinding rumah Nava. Dari 2 ventilasi itulah kamar Nava mendapatkan
udara segar dan cahaya matahari.
Bangunan rumah Nava adalah bangunan dibuat
pada jaman penjajahan Belanda. Ada 2
kamar di dalam rumah itu dengan ukuran yang sama. Satu ruang tamu mungil berukuran 2x 2 meter dan satu ruang keluarga
yang memanjang dari arah pintu ke depan kamar Nava. Yang membuat bangunan rumah
Nava ini terlihat luas adalah langit-langitnya yang cukup tinggi. Ada 4 jendela
berukuran cukup lebar di depan ruang tamu mungil itu. Pintu kayu model lama, 2 pieces, khas pintu jaman dulu di
samping jendela lebar itu.
Tinggi langit-langit rumah ini
sekitar 4 meter dari lantai. Dinding pembatas kamar Nava dan ruang keluarga pun
tidak sampai menutupi langit-langit. Hanya 2,5 meter dari lantai rumah. Jadi
udara dan cahaya bisa masuk maksimal ke dalam kamar Nava dan kamar ke dua
orangtuanya. Kalau malam hari, keluarga itu cukup menyalakan satu lampu di ruang keluarga saja. Kamar Nava
dan kamar orangtuanya tidak mempunyai penerangan khusus. Nava adalah anak
tunggal di keluarga itu.
“Ama
mana Pa?” tanya Nava ketika tidak melihat ibunya di ruang keluarga. Biasanya
beliau yang mengajak Nava untuk shalat subuh ke musala.
“Ama
ke rumah Etek Erna sebelum kamu
pulang semalam. Etek kamu sakit,”
sahut laki-laki yang masih terlihat muda diusianya yang sudah memasuki 60
tahun. Laki-laki bertubuh gemuk itu sudah siap berangkat ke musala dengan
sarung dan baju kokonya. Setelah menjawab pertanyaan Nava, dia lalu membuka
pintu.
“Oh, pantas semalam ambo tidak melihat Ama,” gumam Nava. Dia berjalan mengiringi langkah Ayahnya. Setelah
Nava keluar Rumah, Ayahnya mengunci pintu rumah mereka. Berdua anak dan
orangtua itu berjalan menuju musala yang letaknya 30 meter dari rumah mereka.
Setelah sampai di musala, mereka
melakukan shalat sunat fajar. Setelah itu Ayah Nava mengimami shalat subuh . Hanya
ada 7 jamaah shalat subuh pagi itu. Empat laki-laki dan 3 perempuan. Selesai
shalat, Nava bergegas pulang. Dia ingat ada janji dengan Lisa.
***
Pagi
itu Lisa datang ke rumah Nava tepat pukul 5.30 wib. Matahari belum menampakkan
wujudnya. Nava sudah siap dengan pakaian olahraga, stelan kaos lengan panjang
dan celana panjang berwarna salem, warna favoritnya. Kulitnya yang sedikit
gelap menjadi terlihat cerah dengan menggunakan warna tersebut. Jilbab kaos
berwarna senada menjadikan wajahnya tambah bersinar.
“Ayo kita berangkat Kak!” ajak Lisa.
Hari ini temannya itu mengenakan kaos lengan pendek dengan leging selutut
berwarna senada, hijau lumut. Lisa menguncir rambut sebahunya. Di kepalanya ada
bandana bergambar pita kuning. Lisa berlari di tempat sambil meregangkan otot
tangannya ke kiri dan ke kanan. Nava pun melakukan hal yang sama. Mereka pasti
melakukan pemanasan dulu setiap kali hendak berolahraga, agar tidak cidera.
Sebelum berangkat, Nava pamit pada ayahnya.
“Kamu ngapain sih ngajak dokter
Jauhari segala?” tanya Nava ketika mereka sudah berjalan meninggalkan rumah.
Kemarin dia tidak enak menanyakan hal itu dekat dokter Jauhari. Setelah dokter
Jauhari pergi, Nava dan Lisa sudah sibuk dengan kegiatan mereka masing-msing.
Nava menerima pasien baru. Sedangkan Lisa mengambil obat untuk pasien itu.
Setelah itu mereka sibuk dengan pergantian dinas malam, sehingga membuat Nava
lupa menanyakannya pada Lisa.
“Aku nggak ngajak dia kok. Dia aja
yang pengen ikut,” elak Lisa. “Nggak usah dipikirin kali Kak. Biarin aja sih
dia ikut. Lumayan kan buat jadi bodyguard.”
Nava terbahak sehingga gingsulnya
terlihat. “Kalau dokter Jauhari dengar kamu ngomong begini, pasti dia marah dan
nggak akan mau ikut.”
Mereka pun berlari kecil menuju Jam
Gadang. Rumah Nava terletak di jalan Perintis Kemerdekaan, hanya sekitar 250
meter menuju Jam Gadang. Cukup mendaki anak tangga Janjang Gudang di depan
Hotel Jogja.
Lima menit kemudian, mereka sudah
sampai di Janjang Gudang. Mereka berjalan cepat menaiki tangga itu. Suasana benar-benar
masih sepi. Biasanya siang hari di samping kanan dan kiri tangga ini sangat
ramai dengan para pedagang. Pedagang itu membuat toko di dalam rumah mereka.
Waktu Nava masih kecil, toko-toko ini belum ada. Hanya ada bangunan rumah model
lama di sisi kiri dan kanan tangga.
Nava ingat, ia pernah menonton film
super hero dari Jepang di salah satu rumah itu. Film itu baru tersedia dalam
rekaman video kaset. Hanya segelintir orang Bukittinggi yang mempunyai video
kaset saat itu. Salah satunya, teman Nava yang tinggal di depan Janjang Gudang
ini. Bukan teman sekolah, hanya teman bermain yang kebetulan bertemu di depan
Lapas tempat Nava biasa bermain kala kecil.
Suatu kali temannya itu mengajaknya
menonton film Megaloman, yang saat itu sangat disukai anak-anak. Kalau sekarang
film seperti itu seperti film Power Rangers. Hanya saja dulu pahlawannya itu
hanya satu orang.
“Hei! Ngapain senyum-senyum
sendiri?” tanya Lisa membuyarkan lamunan Nava.
“Ah, enggak, aku ingat masa lalu,” Nava
tersipu. Jika sudah seperti ini, Nava sangat terlihat mirip dengan Sheeren
Sungkar. Dia menceritakan pada Lisa tentang masa kecilnya itu. “Ternyata waktu
berlalu begitu cepat ya. Aku nggak tahu sekarang temanku itu masih tinggal di
sini atau sudah pindah. Kami terakhir bertemu ya waktu aku masih SD itu. SMP
aku sudah pindah dari sini. Baru ke sini lagi selesai kuliah.”
“Kalau gitu kenapa masih belum
mikirin nikah? Usia kakak kan sudah sangat matang untuk menikah,” sela Lisa
usil.
“Maunya sih, cuman belum ada aja
yang pas di hati. Sudah ah, jangan bahas itu lagi,” Nava mulai lagi berlari
kecil di undakan tangga yang agak lebar. Tangga Janjang Gudang ini cukup unik.
Setelah beberapa anak tangga kecil akan diselingi anak tangga lebar seluas satu
meter.
Sepuluh menit berikutnya Nava dan
Lisa sudah sampai di puncak Janjang Gudang. Tepat di depan Janjang Gudang itu
terdapat Pasar Atas yang sangat terkenal di kalangan para wisatawan. Mereka
berbelok ke arah kiri menuju Jam Gadang. Sekitar lima puluh meter di depan
mereka terlihat seseorang melambaikan tangan.
“Dokter Jauhari sudah menunggu kita
Kak,” ujar Lisa. Nava hanya tersenyum.
“Sudah
lama Dok?” sapa Lisa ketika mereka berada di hadapan Dokter Jauhari. Dokter itu
mengenakan kaos pendek body press warna hitam dengan celana
training putih. Nava hampir saja tidak mengenalinya. Biasanya dokter itu selalu
mengenakan kemeja dan jas putih, pakaian dinas seorang dokter. Dengan
berpakaian dinas, badan Dokter Jauhari terlihat lumayan gempal karena pipinya
yang chubby.
Tapi kenapa sekarang dia tidak
terlihat gemuk sama sekali? Baru kali ini Nava melihat Dokter itu menegnakan
baju kaos. Entah kenapa dadanya tiba-tiba diselimuti debaran aneh. Debaran yang
pernah dirasakannya beberapa tahun lalu. Saat dia bertemu dengan Rian mantan
kekasihnya. Nava segera menarik napas panjang guna menghilangkan debaran itu.
Dia kembali meregangkan otot tangan dan kakinya untuk menutupi rasa gugup yang
tiba-tiba muncul.
(Gunting)
(Gunting)
salam kenal. menarik cerpennya dengan setting bukit tinggi
ReplyDeletesalam kenal juga Mbak Lisa. hehehe namanya jadi salah satu tokoh dalam cerita saya nih. ^_^
Delete