Bab
3 : Itu Fitnah!
Pagi
ini di nure station ruangan Kenanga terjadi kegaduhan. Pasalnya, mereka baru
saja menerima seorang pasien pasca operasi patah tulang tangan kiri. Pasien itu
adalah turis Jepang yang mengalami kecelakaan ketika menyeberang jalan.
“Kenapa
sih? Kayaknya repot banget.” Tanya Nava yang baru saja sampai. Jam di dinding
nurse station sudah menunjukkan angka 6.40, dua puluh menit lagi menjelang
pergantian dinas.
“Iya
nih, itu Mr Kazuo nggak mau minum obat. Bingung deh gimana cara jelasin ke dia
kalo obat ini harus diminum sekarang,” gerutu Siti yang menjadi penanggung
jawab ruangan sejak semalam.
“Masa
sih? Mungkin dia alergi obat,” tebak Nava.
“Nggak
Kak, semalam waktu operan dari OK dia nggak ada alergi apa-apa. Susah ngomomg
sama dia. Bahasa inggris nggak lancar, bahasa indonesia apalagi,” sela Hanum.
“Nggak
ada temannya yang jaga?”
“Nggak
ada. Mungkin kamu bisa bujuk dia, tolong dong. Obat ini harusnya sudah dikasih
sejak subuh tadi, tapi dia nggak mau,” pinta Siti memelas. Nava tersenyum dan
menggangguk.
“Ya
sudah, di mana kamarnya?” Nava mengambil obat untuk mengurangi rasa sakit yang
dipegang Hanum.
“Di
307, bekas kamar Bu Jamilah Kak,” jelas Hanum. Nava segera berjalan menuju
kamar itu. Sampai di depan pintu kamar, dia mengetuk pintu sebelum masuk. Setelah
itu dia membuka pintu sambil mengucapkan salam.
“Good morning Kazuo San,
I’m Nava. How are you today?” tanya Nava sambil memberikan
senyum terbaiknya. Nava sengaja ingin
terlihat lebih akrab dengan menambah embel-embel San di belakang nama Kazuo.
Dia pernah mendengar kalau orang jepang bicara dengan seorang laki-laki,
biasanya mereka akan menambahkan kata San di akhir nama mereka. Nava ingin agar
pasiennya itu merasa lebih diperhatikan. Mungkin saja saat ini dia sangat sedih
karena tidak ada saudaranya di sana. Apalagi orangtuanya sangat jauh di Jepang
sana.
Kazuo yang masih berbaring di ranjangnya,
memperhatikan Nava dengan penuh selidik. Dia diam dan tidak mau menjawab salam
Nava. Nava lumayan sering mendapat perlakukan pasien seperti ini. Dia tak
pernah putus asa menghadapi pasien pemberontak seperti Kazuo.
“Kazuo
San, sarapannya enak nih. Saya suapin ya?” ujar Nava sambil mendekatkan sarapan
nasi goreng sosis di meja makan khusus pasien, ke depan Kazuo.
Kazuo
memandang Nava tak berkedip. Nava membuka tutup plastik yang menutupi piring
sarapan Mr Kazuo. Lalu dia membuka tisu pembungkus sendok dan garpu. Setelah
itu meletakkan sendok dan garpu itu di piring. Selanjutnya Nava mengambil gelas
berisi air putih dan mengisinya dengan sedotan.
“Nah
Kazuo San minum dulu seteguk, setelah itu saya akan membantu menyuapkan sarapan
Mr Kazuo.” Nava mendekatkan ujung sedotan ke bibir Kazuo. Sekilas lelaki Jepang
itu mirip Daniel Mananta.
Kazuo memperhatikan Nava sekali lagi.
Sepertinya gadis ini memang ingin membantunya. Apalagi perutnya terasa lapar.
Entah kapan terakhir kali dia makan. Tadi ketika terbangun dan merasakan sakit
di lengan kirinya, dia baru menyadari bahwa dia mengalami kecelakaan kemarin sore. Entah siapa
yang menolongnya dan membawanya ke rumah sakit ini. Karena frustasi dengan
kejadian yang menimpanya itu, tadi dia merasa sangat kesal pada semua perawat
yang ingin membantunya. Apalagi dia juga tidak begitu lancar berbahasa Inggris.
Dia benar-benar bingung mau bertanya pada para perawat itu.
Untungnya
gadis yang memperkenalkan dirinya dengan nama Nava ini datang, setelah dia merasa
lebih baik. Entah mengapa pria berusia 34 tahun itu merasa nyaman berada dekat
Nava. Dia meminum air putih yang diberikan Nava. Sebelumnya dia memencet salah
satu tombol remote di ranjang. Bagian atas tempat tidur elektrik itu naik
hingga membuat punggung Kazuo berada dalam posisi setengah duduk. Setelah dia
merasa sedikit nyaman dengan posisi tidur seperti itu, dia memandangi Nava
lagi. Kali ini dia tersenyum. Nava
membalas senyuman itu.
“Baiklah,
saatnya sarapan pagi,” ujar Nava sambil menyendokkan nasi goreng ke mulut Kazuo.
Biasanya jika pada pasien asli Indonesia, Nava pasti akan mengajak mereka
bercerita tentang banyak hal. Tapi kali ini Nava bingung mau bercerita tentang
apa. Karena dari tadi pasiennya itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Sambil
terus menyendokkan nasi goreng ke mulut Kazuo, Nava berpikir tentang cara
membuat pria berkulit putih ini mau berbicara.
“Kazuo
San mau sarapan sambil nonton TV?” tanya Nava begitu ingat bahwa televisi di
kamar itu belum dinyalakan. Dia buru-buru mengambil remote TV dan menyalakannya.
Setelah itu dia memberikan remote itu pada Mr Kazuo.
“No,
thanks,” tolak Kazuo sambil mematikan kembali TV. Nava tersenyum yes berhasil!
Walau hanya bicara dua kata, ternyata pria bersuara bariton itu mau juga diajak
bicara. Selanjutnya Nava menyendokkan beberapa suapan lagi ke mulut Kazuo.
Laki-laki itu menurut hingga suapan terakhir. Setelah sarapannya habis dia
menunjuk gelas yang berisi air putih. Nava pun memberikannya.
“Nah
sekarang minum obat ini ya. Obat untuk mengurangi rasa sakit,” Nava menunjukkan
satu butir obat di tangannya. Kazuo pun menurut. Nava membantu menyuapkan obat
itu dan memberikan segelas air putih lagi padanya. Nava jadi berpikir, kenapa
tadi menurut teman-temannya, pasien ini sangat susah untuk diajak
berkomunikasi? Apalagi mereka tadi mengatakan kalau pasien ini tidak
kooperatif. Kenyataannya dia menuruti semua yang dikatakan Nava.
(Gunting)
(Gunting)
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. ^_^