Tuesday, October 6, 2020

Untuk Seorang Sahabat Yang Kini Telah Tiada

Meri demikian nama yang diberikan orangtuaku padaku. Aku lahir 39 tahun silam.             

Aku bukanlah dari keluarga mampu. Bapakku seorang buruh kasar penganggut barang belanjaan di pasar. Sedangkan ibuku seorang pembantu rumah tangga. Aku anak ke 4 dari 6 bersaudara. Meskipun hidup kami pas-pasan, tapi kedua orangtuaku mewajibkan kami untuk sekolah. Alhamdulillah 5 orang saudaraku berhasil menyelesaikan SMA mereka. Saat ini mereka semua sudah mapan dan hidup bahagia bersama keluarga mereka masing-masing.

              Lain halnya denganku. Aku tidak seberuntung saudara-saudaraku. Aku tidak berhasil menamatkan Sekolah menengah Pertamaku. Bukan karena aku bodoh atu karena orang tuaku tidak mampu membiayai sekolahku. Tapi lebih karena ada sebuah ujian dari Allah yang menimpaku sewaktu aku berusia remaja. Ujian ini membuatku minder dan malu untuk melanjutkan sekolahku.

Mendapat Ujian Kehidupan

Ketika SMP, aku mendapat ujian dari Allah. Benjolan sebesar kelereng tumbuh di kakiku. Jika dipegang, benjolan itu tidak sakit. Tapi jumlahnya bertambah, yang tadinya hanya kutemukan di kaki kananku, sekarang muncul lagi di kaki kiriku. Setahun kemudian benjolan itu juga muncul di lengan kiri dan kananku serta di leherku. Benjolan yang tadinya sebesar kelereng itu lama-lama bertambah besar hingga sebesar bola pingpong. Karena semakin banyaknya benjolan ini bermunculan, sehingga membuatku merasa rendah diri. Apalagi ketika benjolan itu terlihat oleh teman-temanku. Mereka akan mengolokku dengan sebutan ‘manusia seribu telur’. Sejak itu aku memutuskan untuk berhenti sekolah. Aku malu dengan keadaanku
           Orangtuaku tidak diam saja. Mereka berusaha mengobatiku. Berbagai pengobatan telah kucoba. Mulai dari obat puskesmas, hingga obat kampung atau yang lebih dikenal dengan alternatif.  Dokter puskesmas merujukku ke rumah sakit. Setelah dilakukan pemeriksaan, kesimpulan dokter aku menderita tumor jinak yang mereka sebut dengan Lipoma. Karena tumor itu cukup banyak dan mulai menggangguku maka mereka menyarankan operasi. Orangtuaku bingung harus mencari biaya dari mana.
            "Tak usah dioperasi juga tak apa Mak," ujarku pada ibu waktu itu. Aku tidak tega melihat wajah tuanya terlihat binggung memikirkan penyakitku. Apalagi bapak juga sakit-sakitan. Beliau sering sekali batuk. Belakangan ini batuknya semakin parah. Aku tidak tega melihat kondisi bapak. Dengan kondisi seperti ini, bapak kadang berangkat ke pasar untuk menjadi buruh angkut. Kadang tidak.

          ”Tak ada yang nak pakai tenaga saya,” ujarnya sedih. Mungkin orang-orang itu enggan menyuruh bapak karena beliau sakit-sakitan. Jika sudah begini maka secara tidak langsung keuangan keluarga kami juga berkurang. 

              Aku memutuskan untuk membantu ibu bekerja. Tak kuhiraukan penyakitku ini. Aku ingin membantu mengurangi beban orangtuaku. Aku bertekad menambah keuangan keluargaku untuk kesembuhan bapak dan menambah biaya sekolah adikku. Ketika hal itu kuutarakan pada ibu, beliau termenung.

           "Mak, penyakit saya tak usah Mak pikirkan. Saya ikhlas kerja untuk bantu Mak,"  ujarku meyakinkan ibu. Ijin dari ibu baru ku dapat setelah dua hari kemudian. Beliau mengajakku untuk menjadi pembantu di rumah majikan beliau. Untunglah majikan ibu berbaik hati menerimaku bekerja pada mereka. Majikan ibu memintaku untuk bekerja di rumah anaknya di Jakarta. 

         Walau berat, ibu dan bapak ikhlas melepasku untuk bekerja di Jakarta. Pada hari yang telah ditentukan, aku  berangkat ke Jakarta bersama majikan ibu. 

Operasi Tumor Jinak

         Dua tahun aku di Jakarta. Tapi benjolan di badanku semakin bertambah. Hampir setiap jengkal badanku dihiasi benjolan kenyal itu. Benjolan itu juga tumbuh di perut dan punggungku. Kadang jika aku kecapaian rasa nyeri muncul dari benjolan yang pertama. Karena bertambah banyak benjolan tumbuh di badan membuatku semakin minder dan  malu untuk bertemu orang lain. Hari-hari di Jakarta kulalui dengan berdiam di dalam rumah. Hanya untuk keperluan membeli sayuran saja aku keluar rumah. Aku menolak ketika majikanku mengajakku ke mall atau ke tempat wisata lainnya. Aku tidak mau mereka merasa malu ketika semua orang memandangku dengan tatapan aneh.

        Ketika ada seorang laki-laki yang ingin berkenalan denganku, aku sudah mundur teratur. Padahal belum tentu juga dia ingin menjadikanku teman spesialnya. Tapi rasa minder itu benar-benar telah membuatku terpuruk. Apalagi aku juga tidak mau bergaul dengan sesama pembantu lainnya di komplek perumahan majikanku itu. Aku malu jika mereka tahu penyakitku.  Dan aku takut mereka akanmengolokku seperti teman-temanku di SMP dulu.

           Suatu kali majikanku bertanya tentang penyakitku ini. Majikanku kasihan melihat keadaanku yang kadang mengeluh nyeri ketika kecapaian setelah bekerja. Beliau memintaku untuk berobat kembali. Beliau berjanji membantu biaya operasiku.

         "Tak usah pikirkan biaya, saya nak bayar semua," ujar beliau waktu itu. Tak terbayangkan senangnya aku waktu itu. Aku bersujud kepada Allah, karena sudah memberi majikan yang baik padaku. Untuk memulai pengobatanku, aku diijinkan kembali ke kampung halamanku. Sampai di kampung aku langsung berkonsultasi dengan dokter. Pada hari yang telah ditentukan, operasi pengangkatan tumor itupun dilakukan.

           Dokter memutuskan mengangkat 3 benjolan besar satu di kakiku. Satu di punggung dan satu lagi di tangan. Untuk sementara benjolan kecil dibiarkan dulu. Dokter berharap setelah benjolan itu diperiksa di laboratorium patologi, mereka bisa memberikan obat yang sesuai agar benjolan lain bisa hilang tanpa harus operasi. 

         Seminggu kemudian aku menerima hasil patologi dari tumor yang diangkat itu. Hasilnya mengatakan itu bahwa aku mengidap tumor jinak yang berisi lemak. Aku lega mendengarnya. Setelah merasa kesehatanku pulih, aku kembali ke Jakarta.

Musibah Lain Datang
            Ternyata doaku belum dikabulkan Allah. Beberapa bulan kemudian, benjolan yang sudah dioperasi itu, tumbuh kembali. Sementara itu benjolan lain juga muncul hingga hampir memenuhi tangan dan kakiku. Untunglah di mukaku tidak ada benjolan itu.  Aku semakin malu. Aku pasrah, obat dari dokter pun sudah tidak berhasil mengurangi benjolan itu. Walau begitu aku masih terus berharap keajaiban itu datang.

          Suatu hari kabar mengejutkan kuterima ketika sedang bekerja di Jakarta. Ibu memintaku pulang ke kampung. Ayahandaku tercinta meninggal dunia. Bagai dihantam gelombang badai rasanya mendengar kabar itu. Aku tak kuasa menahan tangisku. Aku begitu dekat dengan bapak. Aku menyesali kepergianku setelah dioperasi ini. Karena waktu itu bapak melarangku kembali ke Jakarta.

        “Kerja dekat rumah kita sahajalah . Abah ingin kita berkumpul tidak terpisah macam ni,” ujarnya waktu itu. Hal ini menjadi penyesalan bagiku hingga beberapa bulan. Untunglah ada sahabatku yang menenangkan hatiku. Dia memintaku bersabar. Semua itu terjadi atas kehendak Allah. Jadi takpatut untuk disesali. Aku terpekur mendengar ucapan sahabatku itu. Sahabat satu-satunya yang  mengerti dengan keadaanku. Hanya padanya aku mau berbagi semua  kesedihan dan kebahagiaan. Sahabat yang menerima keadaanku di saat senang maupun sedih.

        Setiap hari sahabatku menyemangatiku. Dia membawakanku buku-buku agama untuk mengurangi kesedihanku. Sejak saat itu aku lebih banyak membaca bukuku yang dibawakan sahabatku itu. Apalagi sahabatku itu sering datang ke rumah menyemangatiku. Dia bahkan memberikan pakaian muslimah padaku. Dia memintaku untuk mengenakan pakaian itu agar aku semakin sempurna sebagai seorang muslimah. Aku mengikuti saran sahabatku itu. Sejak saat itu akau mengenakan pakaian muslimah. Aku berharap aku bisa semakin dekat denganNya dan selalu ikhlas menerima ketetapanNya sesuai saran sahabatku itu.

         Akupun memilih bekerja di kampung halaman saja. Aku ingin menemani ibuku. Aku menggantikan beliau bekerja di rumah majikan beliau yang lama. Tak tega rasanya melihat wanita yang melahirkanki itu masih bekerja keras di usia tuanya.

          “Mak, saya sahaja yang kerja ya, emak di rumah sahaja.” Saranku waktu itu pada ibu. Beliau setuju. Apalagi hanya satu orang adikku yang masih butuh biaya untuk sekolah. Adikku yang satu lagi sudah  bekerja. Setidaknya dia bisa membantu uang sekolah adikku yang bungsu.   Alhamdulillah 3 kakakku sudah menikah. Mereka sudah mandiri dengan kehidupan mereka masing-masing. Aku memilih tetap menjadi pembantu di rumah majikan ibu. Karena jasa beliau teramat banyak bagiku dan keluarga kami.

           Selang setahun dari kepergian bapak, ibupun akhirnya menyusul beliau menghadap Allah pemilik alam semesta ini. Aku benar-benar terpukul mendapati kedua orang tuaku kini telah tiada. Kepada siapa aku harus berbagi kegembiraan dan kesedihanku. Biasanya ibu selalu mendengarkan keluh kesahku, tapi kini beliaupun seolah tidak pedulu terhadapku lagi. 

           “Ya Allah kuatkan hamba menerima ketetapanMu ini,”  doaku di setiap sujudku. Hanya Allah-lah satu-satunya tempatku mencurahkan semua rasaku. Sahabatku yang baik itu pun sudah jauh dariku. Dia sudah menikah dan diajak suaminya merantau ke Jakarta. Hanya sesekali kami bertukar kabar. Aku juga tidak bisa sering-sering menelponnya. Dia bekerja, aku tidak ingin mengaganggu pekerjaannya dengan keluhan dan masalahku. 

 

Adikku Ingin Menikah

 Suatu hari adikku minta ijin untuk menikah kepadaku. Sebagaimana kebiasaan di kampung kami, jika kakak perempuan belum menikah maka adik harus memberikan pelangkah pada kakak perempuan itu. Adikku memintaku untuk segera menikah, atau dia akanmemberi pelangkah untukku agar dia bisa menikah lebih dulu.  Waktu itu sudah 28 tahun usiaku. Walau dalam hati aku sangat ingin menikah, apa daya aku tidak punya calon. Apalagi aku yakin tidak ada laki-laki yang mau menerima keadaanku yang penyakitan seperti ini.

          “Kau beli sahaja alat sembahyang untukku, aku ikhlas kau menikah lebih dulu,” hanya itu jawabn yang bisa kuberikan pada adikku. Adikku setuju. Akhirnya pernikahannyapun terlaksana. Kini hanya aku dan adik bungsuku di rumah. Aku juga sudah berhenti bekerja di rumah majikanku. Karena beliau meninggal, rumahnya sudah dijual kepada orang lain. Sementara anak-anaknya sudah di Jakarta semua.

Seseorang Ingin Menjodohkanku.

“Meri, saya rasa umur kau sudah tidak muda lagi, sebaiknya kau menikah,” ujar seorang tetua kampung dekat rumahku. Aku ingat ibuku pernah menitipkanku pada bapak itu. Beliau ternyata masih mengingatnya. Beliau mencarikan calon suami untukku. Aku terkejut mendengar permintaan bapak itu. 
         “Pakcik, bukannya saya menolak, tapi saya taknak menikah. Saya tak mau, tiba-tiba nanti orang itu pergi meninggalkan saya ketika tahu keadaan saya.” Jawabku waktu itu. Aku masih trauma dengan kejadian yang pernah kualami beberapa kali. 

        Waktu itu aku sudah mengenakan pakaian muslimah, secara tidak langsung semua benjolan di badanku tertutupi. Hingga suatu kali ada seorang laki-laki yang berusaha mendekatiku dan  ingin menikah denganku, aku berbaik sangka dengan keinginan laki-laki itu. Aku pikir laki-laki itu pasti tahu tentang penyakitku ini. Aku  menerima lamarannya. Suatu kali dia mengajakku jalan-jalan. Ketika kami duduk di taman , dia melihat tanganku, dia terkejut dan bertanya “Kenapa tanganmu dek?” Aku jelaskan tentang penyakitku. Setelah itu laki-laki itu mundur dan tidak pernah berkunjung lagi ke rumahku. 

            “Belum jodoh itu kak, bersabarlah,” ujar adikku menenangkan. Aku ikhlas dan bersabar. Tapi kejadian serupa terulang lagi beberapa bulan setelah itu. Aku sangat terpukul. Sejak saat itu aku jadi bertambah yakin, mungkin Allah tidak menghadirkan jodohku di dunia ini. Aku ikhlas, semoga Allah memberikan jodoh terbaik untukku di akhirat nanti.  

             “Cubalah dulu kau bertemu bujang tu, nanti kalau dia tak mau, baru kau cakap itu bukan jodoh kau,” saran bapak itu. Tapi rasa rendah diriku melebihi segalanya. Aku yakin orang itu akan mundur jika dia tahu keadaanku. Maka sebelum dia mundur, lebih baik aku tidak menemuinya sama sekali. Aku menggeleng dan menolak saran beliau untuk bertemu laki-laki itu. Aku pasrah, mungkin tidak menikah adalah jalan terbaik untukku. 

              Dalam sebuah buku yang dibelikan sahabatku, aku pernah membaca bahwa seorang laki-laki berhak menolak perempuan yang penya penyakit. Dan jika aku memposisikan laki-laki itu adalah aku, maka pasti aku juga menolak perempuan yang berpenyakitan. Walau aku juga pernah membaca sebuah hadist Rasullullah SAW yang intinya  bahwa memilih perempuan untuk dinikahi itu dari keturunannya,  agamanya, kecantikannya, hartanya. Dan pilihlah wanita yang baik agamanya karena itu akan membuat laki-laki bahagia. Tapi aku berpikir tidak ada laki-laki yang mau denganku walau agamaku baik karena aku mempunyai penyakit. 

               Hingga saat ini aku memutuskan untuk tidak menikah, entahlah jika suatu hari nanti Allah menginginkan aku menikah. Aku ingin menghabiskan sisa waktuku untuk beribadah pada-Nya. Saat ini aku memilih untuk berjualan di depan rumahku. Aku  menjual ketupat sayur setiap pagi. Lumayan penghasilan yang kudapat dari berjualan itu. Sore harinya aku  menerima upah menjahit jilbab yang kuambil dari tetanggaku seorang pengusaha konfeksi.

             Dari keuntungan berjualan dan upah menjahit jilbab itu aku memenuhi kebutuhanku sehari-hari. Aku juga masih bisa menabungnya untuk biaya pengobatanku. Karena aku masih mengusahakan kesembuhanku. Aku masih mencari pengobatan alternatif agar suatu saat kelak aku bisa sembuh. Aku yakin Allah akan memberikan kesembuhan padaku. Karena Allah terlah berjanji bahwa setiap penyakit itu pasti ada obatnya. Hanya saja untuk saat ini mungkin aku belum menemukan obat untuk penyakitku. Semoga saja Allah segera mempertemukanku dengan obat itu, agar aku bisa lebih membuka diri pada seorang laki-laki. 

                                                            ***


catatan: Tulisan ini sudah saya tulis tahun 2011 lalu. Saat ini sahabat saya yang ada dalam cerita ini sudah kembali ke hadiarat Allah Subhanahu wataala beberapa tahun setelah saya menulis kisah ini. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa sahabat saya itu dan melapangkan kuburnya. Semoga Allah menempatkan dia di tempat terbaik di sisi Nya. Aamiin...

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung. ^_^