Malam sudah semakin larut. Ku lirik jam dinding kamarku, “sudah jam
sebelas.” Aku merapikan buku yang baru
saja ku baca. Ada ulangan besok, aku tidak ingin nilaiku jeblok jika tidak belajar.
Aku berjalan menuju tempat tidurku. Mataku sudah sangat mengantuk, badankupun
sudah sangat lelah. Semoga malam ini aku bisa tidur nyenyak, dan besok bangun
sebelum subuh untuk sahur. Ku layangkan pandanganku ke seisi kamar. Sepertinya
semua temanku sudah terlelap dalam mimpi mereka.
Kamar ini dihuni oleh 19 orang lainnya selain aku. Ya aku adalah salah satu penghuni asrama Sekolah Perawat Kesehatan tempatku menuntut ilmu. Aku naiki tempat tidurku yang berada di atas. Di kamar ini ada 10 tempat tidur. Setiap tempat tidur bertingkat. Di sepanjang dindingnya ada lemari pakaian penghuni asrama.
Baru saja aku hendak memicingkan mataku, tiba- tiba suara Suzi temanku mengagetkanku,"Fi, besok jadi shaum kan?" tanyanya dari tempat tidurnya. Tempat tidur Suzi berada 3 bed dari tempat tidurku.
"Eh besok..eh besok.... jadi dong, bangunin aku untuk sahur ya," sahutku latahku.
"Hahaha..,” Suzi terbahak. Sahabat karibku itu memang sedikit jahil. “Oke, aku bangunin jam setengah empat ya,” tambahnya. Aku mengangguk dan kembali menguap lebar. Beberapa saat kemudian suasana kamar kembali hening. Akupun tertidur lelap.
***
Kamar ini dihuni oleh 19 orang lainnya selain aku. Ya aku adalah salah satu penghuni asrama Sekolah Perawat Kesehatan tempatku menuntut ilmu. Aku naiki tempat tidurku yang berada di atas. Di kamar ini ada 10 tempat tidur. Setiap tempat tidur bertingkat. Di sepanjang dindingnya ada lemari pakaian penghuni asrama.
Baru saja aku hendak memicingkan mataku, tiba- tiba suara Suzi temanku mengagetkanku,"Fi, besok jadi shaum kan?" tanyanya dari tempat tidurnya. Tempat tidur Suzi berada 3 bed dari tempat tidurku.
"Eh besok..eh besok.... jadi dong, bangunin aku untuk sahur ya," sahutku latahku.
"Hahaha..,” Suzi terbahak. Sahabat karibku itu memang sedikit jahil. “Oke, aku bangunin jam setengah empat ya,” tambahnya. Aku mengangguk dan kembali menguap lebar. Beberapa saat kemudian suasana kamar kembali hening. Akupun tertidur lelap.
***
"Fi, ayo sahur!"
Suara Suzi samar-samar terdengar di telingaku. Lalu dia mengguncang badanku
seperti mendorong gerobak. Walau kesal, aku langsung bangun. Aku menguap lebar,
ku lirik jam weker di samping bantal, jam setengah empat,"ya aku udah
bangun," sahutku sembari duduk. Perlahan aku turun dari tempat tidur, Suzi
sudah menungguku di bawah.
"Ayo," ajaknya. Suzi sudah memegang peralatan makannya. Demikianlah di asrama kami. Setiap jam makan, kami membawa peralatan makan dari kamar. Lalu makan berjama'ah di ruang makan asrama. Tapi karena hari ini aku berniat untuk puasa, maka aku diijinkan makan lebih awal. Itupun jika sebelumnya sudah memberitahukan petugas dapur kalau kami hendak sahur malam ini.
“Sebentar aku wudhu dulu ya Zi,” aku segera ke kamar mandi untuk berwudhu. Suzi menggangguk. Ia menungguku di kursi dalam kamar kami. Beberapa menit kemudian, kami melangkah menuju ruamg makan yang letaknya di tengah-tengah asrama. Kamar di asrama kami membentuk letter O. Ruang makan terletak di tengahnya. Di depan ruang makan ada taman kecil dengan pot dan beberapa bunga bougenville.
Kami langsung menuju dapur asrama yang letaknya tak jauh dari ruang makan.
"Mak Neng, lauknya udah ada yang mateng ya?" Tanyaku pada Mak Neng yang sedang menyiangi sayuran. Pagi ini ibu-ibu petugas dapur yang memasak untuk kami sedang dalam keadaan sibuk tingkat tinggi. Jika kami mau makan sahur, maka kami harus mencari sendiri di mana mereka meyimpan lauk dan sayur yang sudah mereka siapkan untuk kami.
"Udah Mak Neng bikinin, ambil di situ ya," ujar Mak Neng sambil memonyongkan mulutnya ke pojok meja yang penuh dengan sayuran.
“Oke, ma kasih ya Mak Neng,” Aku dan Suzi bergegas menuju meja sayuran mentah itu. Sebelumnya kami mengambil nasi yang baru matang di panci. Selanjutnya aku buka tudung saji kecil yang menutupi lauk.
"Teri main bola," sungut Suzi, ternyata lauk yang disediakan untuk kami yang ingin puasa hari ini adalah Teri Medan yang dicampur dengan kacang tanah. Sebenarnya ini makanan favoritku, tapi tidak dengan Suzi. Aku tersenyum, segera ku ambil beberapa sendok lauk kesukaanku itu. Ku sambar sebuah mentimun yang berada diantara sayuran itu. Walau tidak begitu suka, Suzi akhirnya mengambil lauk itu.
"Kita makan di sana aja," Suzi menunjuk meja makan yang menghadap ke arah taman kecil asrama. Aku mengikuti langkahnya. Ku letakkan piringku di atas meja makan, lalu aku menyeduh teh hangat dulu untuk mengusir dinginnya dini hari ini. Setelah itu aku kembali ke meja makan. Aku duduk dan membaca basmalah sebelum menyendokkan nasi ke mulutku.
"Kita berdua aja ya yang makan sahur, gak ada yang lain kelihatan," tebakku. Memecah kesunyian malam itu.
"Iya kali," sahut Suzi sekenanya. Entah karena lauknya yang tidak begitu disukainya atau memang Suzi lagi malas bicara, temanku itu terlihat lebih kalem dari biasanya. Sehingga suasana sunyi ruang makan besar ini sangat terasa. Apalagi temaram lampu taman membuat suasana sunyi itu semakin mencekam. Dari ruang makan itu kita bisa memandang ke segala arah, karena ruangan yang dibuat semi terbuka.
Sambil makan, sesekali kami berbicara tentang ulangan besok. Tiba-tiba mataku melihat beberapa adik kelas cowok berjalan menuju ruang makan. Aku berpikir mungkin mereka hendak makan sahur juga. Memang asrama kami terpisah, tapi untuk makan berjama’ah, semua siswa harus makan di ruang makan asrama putri.
Makanya kami diwajibkan selalu mengenakan pakaian muslimah walaupun dalam asrama. Karena biasanya pada saat jam makan guru laki-laki atau teman laki-laki datang untuk makan bersama di ruang makan ini.
“Ada si Rahmat tuh, kita ajak duduk di sini aja yuk, sekalian kita kerjain anak itu,” ujar Suzi jahil. Aku mengangguk setuju. Rahmat dan kawan-kawannya yang datang itu adalah siswa baru di sekolah kami. Biasanya anak baru memang senang berpuasa sunnah seperti sekarang ini. Kamipun menunggu Rahmat dan teman-temannya datang. Tapi sampai kami selesai makan, mereka tak kunjung masuk ke ruang makan.
Beberapa menit kemudian aku dan Suzi sudah menyelesaikan makan kami. Dalam hati aku sempat berpikir, kemana adik kelas kami yang berjumlah 4 orang tadi, kenapa mereka tidak makan di ruang makan? Atau mungkin mereka makan di dapur sembari bercerita dengan para petugas dapur. Ah entahlah, aku segera mencuci peralatan makanku. Lalu kami kembali ke kamar, untuk mandi dan bersiap untuk shalat jama’ah di masjid.
****
Alhamdulillah hari ini
ulangan berhasil aku lewati, rasanya semua pertanyaan bisa kujawab. Jam
istirahatpun tiba. Aku dan teman-temanku segera menuju masjid untuk menunaikan
shalat zuhur. "Ayo," ajaknya. Suzi sudah memegang peralatan makannya. Demikianlah di asrama kami. Setiap jam makan, kami membawa peralatan makan dari kamar. Lalu makan berjama'ah di ruang makan asrama. Tapi karena hari ini aku berniat untuk puasa, maka aku diijinkan makan lebih awal. Itupun jika sebelumnya sudah memberitahukan petugas dapur kalau kami hendak sahur malam ini.
“Sebentar aku wudhu dulu ya Zi,” aku segera ke kamar mandi untuk berwudhu. Suzi menggangguk. Ia menungguku di kursi dalam kamar kami. Beberapa menit kemudian, kami melangkah menuju ruamg makan yang letaknya di tengah-tengah asrama. Kamar di asrama kami membentuk letter O. Ruang makan terletak di tengahnya. Di depan ruang makan ada taman kecil dengan pot dan beberapa bunga bougenville.
Kami langsung menuju dapur asrama yang letaknya tak jauh dari ruang makan.
"Mak Neng, lauknya udah ada yang mateng ya?" Tanyaku pada Mak Neng yang sedang menyiangi sayuran. Pagi ini ibu-ibu petugas dapur yang memasak untuk kami sedang dalam keadaan sibuk tingkat tinggi. Jika kami mau makan sahur, maka kami harus mencari sendiri di mana mereka meyimpan lauk dan sayur yang sudah mereka siapkan untuk kami.
"Udah Mak Neng bikinin, ambil di situ ya," ujar Mak Neng sambil memonyongkan mulutnya ke pojok meja yang penuh dengan sayuran.
“Oke, ma kasih ya Mak Neng,” Aku dan Suzi bergegas menuju meja sayuran mentah itu. Sebelumnya kami mengambil nasi yang baru matang di panci. Selanjutnya aku buka tudung saji kecil yang menutupi lauk.
"Teri main bola," sungut Suzi, ternyata lauk yang disediakan untuk kami yang ingin puasa hari ini adalah Teri Medan yang dicampur dengan kacang tanah. Sebenarnya ini makanan favoritku, tapi tidak dengan Suzi. Aku tersenyum, segera ku ambil beberapa sendok lauk kesukaanku itu. Ku sambar sebuah mentimun yang berada diantara sayuran itu. Walau tidak begitu suka, Suzi akhirnya mengambil lauk itu.
"Kita makan di sana aja," Suzi menunjuk meja makan yang menghadap ke arah taman kecil asrama. Aku mengikuti langkahnya. Ku letakkan piringku di atas meja makan, lalu aku menyeduh teh hangat dulu untuk mengusir dinginnya dini hari ini. Setelah itu aku kembali ke meja makan. Aku duduk dan membaca basmalah sebelum menyendokkan nasi ke mulutku.
"Kita berdua aja ya yang makan sahur, gak ada yang lain kelihatan," tebakku. Memecah kesunyian malam itu.
"Iya kali," sahut Suzi sekenanya. Entah karena lauknya yang tidak begitu disukainya atau memang Suzi lagi malas bicara, temanku itu terlihat lebih kalem dari biasanya. Sehingga suasana sunyi ruang makan besar ini sangat terasa. Apalagi temaram lampu taman membuat suasana sunyi itu semakin mencekam. Dari ruang makan itu kita bisa memandang ke segala arah, karena ruangan yang dibuat semi terbuka.
Sambil makan, sesekali kami berbicara tentang ulangan besok. Tiba-tiba mataku melihat beberapa adik kelas cowok berjalan menuju ruang makan. Aku berpikir mungkin mereka hendak makan sahur juga. Memang asrama kami terpisah, tapi untuk makan berjama’ah, semua siswa harus makan di ruang makan asrama putri.
Makanya kami diwajibkan selalu mengenakan pakaian muslimah walaupun dalam asrama. Karena biasanya pada saat jam makan guru laki-laki atau teman laki-laki datang untuk makan bersama di ruang makan ini.
“Ada si Rahmat tuh, kita ajak duduk di sini aja yuk, sekalian kita kerjain anak itu,” ujar Suzi jahil. Aku mengangguk setuju. Rahmat dan kawan-kawannya yang datang itu adalah siswa baru di sekolah kami. Biasanya anak baru memang senang berpuasa sunnah seperti sekarang ini. Kamipun menunggu Rahmat dan teman-temannya datang. Tapi sampai kami selesai makan, mereka tak kunjung masuk ke ruang makan.
Beberapa menit kemudian aku dan Suzi sudah menyelesaikan makan kami. Dalam hati aku sempat berpikir, kemana adik kelas kami yang berjumlah 4 orang tadi, kenapa mereka tidak makan di ruang makan? Atau mungkin mereka makan di dapur sembari bercerita dengan para petugas dapur. Ah entahlah, aku segera mencuci peralatan makanku. Lalu kami kembali ke kamar, untuk mandi dan bersiap untuk shalat jama’ah di masjid.
****
Di jalan aku bertemu dengan Beni salah satu adik kelas yang tadi pagi kulihat di ruang makan.
“Beni, tadi makan sahurnya di dapur ya?” tanyaku tanpa basa basi.
“Enggak Ni, Aku gak puasa.” Sahut Beni datar. Aku terkesima, benarkah tadi Beni tidak ke ruang makan? Mungkin aku salah lihat orang, mungkin tadi yang ku sangka Beni adalah Mul yang badannya setinggi Beni. Karena temaramnya lampu taman asrama, hingga aku tidak begitu memperhatikan wajah mereka.
“Oh, aku kira kamu tadi makan sahur, ma kasih ya,” aku bergegas meninggalkan Beni dengan seribu pertanyaan yang mengganjal di hati.
“Zi, waktu sahur tadi kamu lihat anak cowok berjalan menuju dapur kan?” tanyaku pada Suzi ketika sampai di kamar. Aku ingin meyakinkan diriku kalau tadi aku dan Suzi memang melihat adik kelas kami itu.
“Ya lihat lah, tapi kok dia gak makan di ruang makan ya?” Suzi membuatku semakin penasaran.
“Tapi tadi aku ketemu si Beni, katanya dia gak ke ruang makan tuh,” sahutku.
“Mungkin si Mul kali yang tadi,” pikiran Suzi ternyata sama dengan pikiranku.
“Nanti coba kita tanya di kelas,” tambahnya. Aku mengangguk setuju. Entah kenapa aku ingin tahu, siapa sebenarnya yang datang ke ruang makan tadi?
Sore ini sebelum kelas dimulai, aku menyempatkan diri bertanya kepada Rahmat. Aku yakin sekali mereka datang ke asrama subuh tadi.
“Rahmat! Kamu puasa ya,” tanyaku to the point kepada Rahmat yang baru saja lewat di depan kelasku.
“Enggak Ni, aku gak puasa,” sahutnya.
“Ya Allah..,” Aku merinding, “ada temanmu yang puasa gak, atau yang makan sahur di dapur tadi?” tanyaku masih penasaran.
“Kayaknya gak ada yang puasa hari ini Ni, kami semalam ketiduran, karena habis belajar sampai jam 12 malam, emang kenapa Ni?” kening Rahmat berkerut.
“Lalu tadi yang aku lihat siapa dong?” tanyaku seperti orang bodoh.
“Uni melihat apa?” Rahmat tak kalah bingungnya mendengar pertanyaanku.
“Tadi aku melihat kalian berempat datang ke asrama sebelum subuh, aku pikir kalian mau makan sahur. Tapi sampai selesai makan, aku tidak melihat kalian masuk ruang makan,aku masih berpikir kalian makan di dapur.” Jelasku masih bingung.
“Astaghfirullah.. itu bukan kami Ni, Uni udah melihat makhluk lain tuh,” Rahmat tersenyum menggodaku. Ucapan Rahmat membuatku semakin merinding. Menurut cerita orang-orang, asrama kami memang sedikti angker. Dulu sebelum asrama itu di bangun, tempat itu merupakan rawa-rawa dan tempat mengubur plasenta setelah bayi lahir. Bagiku itu biasa saja, toh aku tidak pernah melihat hal gaib yang mengerikan seperti cerita beberapa orang. Tapi setelah kejadian semalam, aku yakin bahwa Allah telah menjagaku dari kejahatan makhluk gaib itu. Untung saja mereka tidak memperlihatkan bentuk aslinya. Aku semakin merinding.
“Untung tadi kita tidak memanggil mereka agar makan bersama kita ya,” ujar Suzi ketika aku ceritakan percakapanku dengan Rahmat tadi.
“Iya, untung juga tadi bentuknya gak mengerikan ya,” sahutku masih berasa beruntung.
Karena masih penasaran, malamnya aku pergi ke dapur dan bertanya kepada Mak Neng yang bertugas tadi malam. Jawabannya ternyata sama dengan Rahmat, tak ada siswa laki-laki yang makan sahur semalam. Kesimpulannya, semalam itu aku sedang melihat makhluk lain yang menyerupai adik kelasku. Astaghfirullah.. La haula walaa quwwata illa billahi “aliyil’azhiim..
hiiii... merindiingg
ReplyDeletecerita serem yaaah
ReplyDeletesalam kenal, mba