Monday, July 15, 2013

Bahagia dan Sedih di Hari Pertama Idul Fitri 2010




            
                                                 Hauzan AlKhawarizmi, Lahir Akhir Ramadhan 2010 
          Jika mengingat kembali kenangan ini kadang membuat saya tersenyum sekaligus menangis. Kala itu akhir Ramadhan tahun 2010. Saya yang sedang hamil tua, pergi ke rumah sakit bersama suami dan 2 anak saya guna memeriksa kehamilan. Kesehatan saya selama hamil ke tiga ini memang lumayan drop. Jadi ketika saya diperiksa, saat itu dokter mengatakan bahwa tekanan darah saya cukup tinggi.
            Dokter menyarankan saya untuk segera melahirkan secara caesar atau operasi saat itu juga. Walau sangat terkejut dengan saran dokter itu, saya dan suami pun setuju. Jadilah hari terakhir Ramadhan itu kami sekeluarga di rumah sakit. Saya masuk ruang operasi. Suami dan anak-anak beroa demi keselamatan saya dan bayi saya, di luar ruang operasi.
            Alhamdulillah anak kami pun lahir selamat. Setelah mengazankan putra ke tiga kami, suami dan 2 anak saya pun pamit pulang. Ketika gema takbiran berkumandang, hati saya ikut hanyut mendengarnya. Air mata saya bercucuran. Antara sedih dan bahagia. Sedih karena saat ini saya tidak bisa menemani suami dan anak-anak saya berbuka puasa. Bahagia karena putra kami sudah lahir.
            Ternyata kebahagian saya diuji oleh Allah. Karena tekanan darah saya masih belum stabil, jadi saya dirawat di ruangan intermediate, semacam ruang ICU. Saat itu saya mencoba untuk miring ke kiri dan ke kanan sesuai saran suster. Saat itu suster melihat darah yang cukup banyak di sprei kasur saya. Suster langsung  mengambil darah saya untuk dicek. Setelah dicek, HB saya ternyata turun hingga 7 gr% . Suter melaporkan hal itu pada dokter. Dokter pun menyarankan saya untuk ditansfusi.
            Sambil menahan tangis saya menelepon suami saya untuk memberitahukan hal itu. Suami buru-buru menemui saya di rumah sakit. Menurut suster, tidak ada kantong darah yang tersisa di PMI. Karena bulan Ramadhan jarang sekali orang yang melakukan donor darah. Saya mencoba menghubungi teman-teman dan tetangga untuk meminta kesediaan mereka mendonorkan darahnya pada saya.
            Ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. Hampir semua teman dan tetangga sudah berada di kampung halaman mereka. Saya nyaris putus asa. Malam itu , karena belum ada darah yang bisa masuk ke tubuh saya, dokter pun menyarankan saya untuk menggunakan obat semacam infus. Obat itu harganya lumayan mahal. Sang dokter berharap setidaknya obat itu bisa menaikkan sedikit saja HB saya. Saya pun setuju. Malam itu saya lumayan bisa tidur sambil diinfus sesuai dengan anjuran dokter.
Keesokannya, beberapa jam setelah obat masuk, HB saya kembali diperiksa. Kumandang takbiran terdengar hingga ke ruangan tempat saya dirawat. Air mata bercucuran mendengarnya. Setelah melalui proses pemeriksaan ulang, ternyata HB saya tidak naik. Saya menangis memohon pada Allah untuk memberikan keajaibannya pada saya. Saya khawatir, karena saya dalam masa nifas, kemungkinan HB makin turun itu pasti ada. Jadi transfusi mautak mau harus saya jalani.
 Untunglah dua jam setelah selesai shalat i’ed, suami saya mendapatkan pendonor. Salah satu temannya bersedia memberikan darahnya untuk saya. Teman suami saya itu ternyata tidak datang sendiri. Dia membawa keluarganya yang juga bergolongan darah sama dengan saya yaitu A. Suami saya buru-buru mengajak mereka ke PMI. Dari 6 orang yang diajak, ada 4 orang yang bisa melakukan donor darah. Alhamdulillah... Karena dokter menyarankan saya untuk mendapatkan 3 kantong darah.
             Selama proses menunggu darah itu, Syifa dan Hikmal, anak pertama dan kedua saya menunggu di ruang tunggu. Mereka terpaksa tidak ikut bapaknya ke PMI karena lumayan jauh dari rumah sakit tempat saya dirawat. Suami saya menitipkan tas berisi dompet dan HP saya pada Syifa. Anak-anak memang tidak diperkenankan masuk ke ruangan saya dirawat jika tidak pada jam besuk.
            Saat itulah ujian berikutnya datang. Syifa lupa membawa tas saya yang tadi dititipkan oleh bapaknya saat suster bertanya padanya tentang darah yang akan ditransfusikan ke saya.
            Ketika dia kembali, dia sudah tidak melihat tas itu lagi. Dia bertanya pada adiknya Hikmal. Sayangnya Hikmal juga tidak melihatnya. Ketika beberapa menit kemudian suami saya kembali dari PMI, Syifa memberitahukan pada bapaknya bahwa tas itu hilang.
            Suami saya panik. Dia ternyata juga menyimpan HP saya yang lain dalam tas itu. ada 2 HP. Satu dompet berisi sekitar 2 juta dan perhiasan emas saya. Perhiasan itu kemarin harus dilepas ketika saya melakukan operasi. Ada kalung dan anting di dalamnya. Setelah istighfar, suami lalu bertanya pada satpam dan suster. Karena hari pertama idul fitri, rumah sakit saat itu sangat sepi. Syifa yakin tadi tidak ada orang duduk di sampingnya.
            Suster dan satpam tidak melihat tas itu. Suami saya pun menelepon ke nomor hp saya yang ada dalam tas. Taklama, seseorang menjawab telepon dari suami saya. Katanya tas itu ada padanya. Dia bersedia mengembalikan tas itu di tempat yang ditentukan sang penemu tas. Suami saya berbaik sangka.
            “Saya hanya ingin kartu asuransi di dalam dompet itu saja yang dikembalikan Pak. Bapak boleh membawa semua isi tas itu jika bapak mau.” Ucap suami saya. Karena kartu asuransi kesehatan dari kantor itu sangat kami butuhkan beberapa hari mendatang. Rasanya tidak mungkin mengurus surat kehilangan kartu itu karena saat ini lebaran. Kami pun tidak punya cukup uang cash untuk membayar persalinan saya yang di luar perkiraan.
            Satpam yang mendengar percakapan suami saya dengan pria penemu tas itu berinisiatif membuntuti suami saya ketika hendak menemui penemu tas. Satpam tersebut khawatir itu hanya akal-akalan sang penemu tas. Kalau memang awalnya dia berniat baik, kenapa tidak langsung mengembalikan tas itu pada satpam atau suster. Demikian pikiran sang satpam.
            Akhirnya suami saya bertemu dengan penemu tas tak jauh dari rumah sakit. Pria itu mengatakan bahwa dia menemukan tas itu di ruang tunggu. Dia tidak sempat mengembalikannya ke suster karena buru-buru. Suami saya sesuai dengan perkataannya tadi, hanya minta kartu asuransi kesehatan kami sekeluarga yang ada dalam dompet saya.
            Tak disangka, pria itu mengembalikan tas saya berikut isinya tanpa berkurang sedikit pun. Tentu saja suami saya senang. Suami saya memberikan sejumlah uang padanya. Walau awalnya dia menolak, tapi akhirnya dia menerima. Pria itu pun bercerita bahwa dia sedang bingung karena istrinya dirawat di rumah sakit yang sama dengan saya. Istrinya hamil anak pertama yang sudah mereka nanti selama puluhan tahun. Saat ini istrinya harus bedrest karena ketuban sudah pecah. Padahal kehamilannya masih 6 bulan.
            Suami saya pun mendoakan agar istri dan bayinya baik-baik saja hingga proses persalinan nanti. Subhanallah... sungguh Idul Fitri kali ini tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup saya. Terima kasih ya Rabb atas semua karuniaMu.*
            
* artikel ini diikutsertakan dalam lomba blog Festival Ramadhan www.Burufly.com/

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung. ^_^