Beberapa minggu lalu saya dan suami mendapat giliran ke kantor kecamatan
untuk membuat E-KTP. Kami berencana berangkat lebih awal agar mendapatkan nomor
antrian pertama. Seperti saran beberapa teman yang sudah lebih dahulu membuat
KTP elektronik ini, bahwa kami harus berangkat pagi-pagi jika ingin selesai
lebih cepat.
Apalagi kabar yang beredar bahwa butuh seharian untuk mengantri dalam pembuatan
kartu tanda pengenal tersebut. Suami saya yang sudah rapi dari pukul 7.00 WIB,
segera meminta saya agar bersiap-siap.
Saat saya sedang mengenakan jilbab, Syifa 12 tahun, putri sulung kami
bertanya. “Emang E-KTP itu apaan Bu?” Sejenak saya terdiam . Lalu saya
mengajaknya duduk di kursi ruang tamu rumahkami. Saya mencoba mencari kata-kata
yang pas untuk menjawabnya.
”E-KTP itu adalah Kartu Tanda Penduduk Elektronik yang dibuat secara online. Semua penduduk
datang ke kantor kecamatan untuk di data dan di foto secara bergiliran,” jelas
saya.
“Maksudnya?”
“Hmmm… maksudnya, ibu dan bapak nanti akan membuat Kartu Tanda Penduduk seperti ini, tapi dibuat langsung secara online. Datanya tersambung ke data penduduk di kantor Kementerian Dalam Negeri Indonesia.” Jelas saya sambil menunjukkan KTP lama saya.
“Biasanya, KTP dibuat di kelurahan dengan membawa foto sendiri dari
rumah, tapi sekarang harus di foto langsung di kecamatan. Apalagi nanti akan
ada pemindaian sidik jari juga. Jadi harus orang yang bersangkutan datang ke
kantor kcamatan untuk membuat KPT itu.”
“Gunanya untuk apa Bu? Kenapa harus ada sidik jari segala? KTP yang ini nggak ada sidik jari ibu tuh” Tanya
Syifa semakin ingin tahu.
“Menurut yang ibu baca di internet sih, e-KTP berguna sebagai identitas
satu-satunya yang dimilik setiap penduduk Indonesia dan berlaku seumur hidup.
Setiap penduduk hanya boleh memiliki satu KTP yang tercantum NIK-nya ( Nomor Induk
Kependudukan) . Nomor
NIK yang ada di e-KTP nantinya akan dijadikan dasar dalam penerbitan Paspor,
Surat Izin Mengemudi (SIM), dan penerbitan dokumen identitas lainnya.”
“Oh gitu, emang ada ya Bu , yang punya 2
KTP?” Syifa semakin antusias terhadap masalah ini.
“Kalau sekarang sih masih banyak. Ada
yang membuat KTP di Jakarta, karena kerja di Jakarta. Tapi mereka juga membuat
KTP di kampungnya. Mudah-mudahan nanti setelah ada e-KTP sudah tidak ada lagi
yang seperti itu.”
“Berarti e-KTP bagus dong Bu.”
“Ya, ibu rasa begitu. Nanti kita
lanjutkan membahas ini ya, sekarang ibu berangkat ke kecamatan dulu. Biar ibu
cepat difoto dan cepat juga pulang.” Saya mengakhiri penjelasan. Saya dan
suamipun pamit untuk berangkat ke kecamatan. Ternyata sudah ada beberapa orang
yang lebih dahulu datang sebelum kami. Tiga jam menunggu, tibalah saatnya
giliran saya dan suami melakukan proses pembuatan e-KTP itu. Setelah proses
pembuatan e-KTP selesai, kami pun kembali ke rumah.
“Gimana Bu?” pertanyaan itu meluncur
dari bibir Syifa ketika saya baru menginjakkan kaki di rumah.
Saya mengajak Syifa duduk di kursi ruang
tamu kami. Lalu menceritakan padanya tentang proses yang sudah saya jalankan
hari ini.” Setelah sampai di kecamatan, dan mendaftar pada petugas, ibu
mengambil nomor antrian. Cukup lama ibu menunggu. Berikutnya ibu dipanggil
untuk mencocokkan data yang sudah ada. Setelah itu difoto setengah badan.
Selanjutnya foto mata, serta pemindaian
sidik jari. Terakhir ibu diminta membuat tanda tangan pada sebuah alat
elektronik yang hasilnya muncul di layar monitor.”
“Ternyata sebentar ya Bu. Kenapa kata
orang lama sekali kalau membuat e-KTP itu?”
“Yang bikin lama itu menunggunya Kak,
kan peralatannya cuma ada 4, sedangkan yang mau membuat KTP ratusan orang dalam
sehari itu.”
“Oh gitu…” Syifa mengangguk mengerti.
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. ^_^