Sepatu Baruku Yang Malang
Oleh : Nelfi Syafrina
Seumur hidupku,
sudah banyak model sepatu yang aku kenakan. Tapi, hanya satu yang benar-benar
kukenang hingga sekarang. Sepatu sandal warna oranye yang berpita di atasnya.
Sepatu itu dibelikan bapakku ketika aku masih kecil dulu. Waktu itu usiaku 10
tahun.
***
Hari ini, 20
hari sudah bulan Ramadhan kami lalui. Seperti biasa bapak pasti akan
membelikan kami anak-anaknya baju lebaran, berikut sepatunya. Tapi sayangnya
kali ini belum ada tanda-tanda ke arah itu. Bapak belum membicarakannya pada
kami, aku dan ke dua adikku. Sebagaimana layaknya anak-anak, karena teman-teman
kami sudah mempunyai pakaian dan sepatu baru, akhirnya aku memberanikan diri
bertanya pada bapak.
“Kapan beli sepatu barunya Pak?” tanyaku
ketika kami buka puasa senja itu. Bapak hanya diam, beliau meneguk teh manis
yang sudah tinggal setengah gelas itu. Kemudian beliau menarik napas dan
berkata dengan suara lemah,” sabar ya Nak, bapak belum punya uang. Nanti kalau
bapak sudah gajian, pasti bapak belikan.”
Aku pun
menggangguk, walau sedih, aku mengerti tentang kesulitan keuangan yang dialami
keluarga kami. Setelah itu aku tidak bertanya lagi tentang sepatu untuk lebaran
itu.
Dua hari sebelum
lebaran, bapak mengajakku dan adik-adikku ke pasar. Tak terkira senangnya aku,
sepatu model terbaru sudah terbayang di depan mataku. Tak sampai setengah jam,
kami sampai di pasar. Bapak mengajakku dan adik-adikku memilih sepatu yang kami inginkan. Setelah
menentukan pilihan, akhirnya Bapak membayar sepatu-sepatu itu. Aku menjatuhkan pilihanku
pada sepatu sandal yang lucu. Sepatu sandal berwarna oranye dengan pita lucu di
atasnya. Sudah lama aku ingin memiliki sepatu itu.
Selanjutnya
beliau mengajak kami ke toko pakaian. Satu jam kemudian, kami telah kembali
berada di rumah. Kami sudah membawa
sepatu dan pakaian baru yang akan kami kenakan saat lebaran nanti.
Malamnya seperti
biasa, aku mengikuti salat tarawih bersama teman-temanku. Pada mereka
kuceritakan tentang sepatu dan baju baru itu. “Kalau memang kamu sudah beli
sepatu, coba pakai besok.” Tantang seorang teman. Aku pun setuju.
Keesokan harinya,
aku bermain di komplek perumahan kami. Aku pun mengenakan sepatu sandal itu
untuk main. “Wah! Bagus banget sapatumu!” ujar teman-temanku sambil memandangi
sepatuku. Mereka terus memandangi kakiku seolah sepatu itu adalah sepatu paling
bagus di dunia. Tak terbayangkan senangnya hatiku karena pujian teman-temanku.
Beberapa saat setelah itu, kami pun bermain petak umpet.
Karena asyiknya bermain, tak terasa sudah
hampir maghrib. Kamipun berlarian pulang ke rumah ketika mendengar suara sirine
Jam Gadang berbunyi nyaring. Itu artinya saatnya berbuka. Keluarga kami tinggal
di Bukittinggi, setiap bulan Ramadhan, sirine itu pasti akan berbunyi setiap
masuk waktu imsak dan berbuka.
Saat berlari
dengan kencang, tiba-tiba sepatu sandal yang kukenakan terlepas dari kakiku. Sepatu
itu melayang ke dalam saluran air yang ada di samping jalan yang kulewati.
Sesaat aku terkejut. Untungnya aku segera tersadar kalau sepatuku telah
melayang ke tempat yang salah. Aku
berlari, berusaha meraih sepatuku yang
sudah hanyut cukup jauh. Sayangnya karena arus air di saluran itu cukup deras
karena habis hujan, sepatu itu tidak bisa kuraih.
Aku tak mau
berhenti sampai di situ. Aku terus mengejar sepatu itu yang semakin menjauh
dari jangkauanku. Hingga sepatuku terus hanyut dibawa derasnya arus. Semenit
kemudian, aku tidak bisa lagi melihat
sepatu baruku. Sepatu itu lenyap bersama derasnya air. Sementara itu
teman-temanku sudah jauh meninggalkanku. Mungkin mereka sudah sampai di rumah. Aku
hanya bisa menangis menyesali kejadian itu.
Terngiang di
telingaku saran bapak sebelum aku main tadi. “Sepatu itu kan untuk lebaran.
Kenapa dipakai sekarang? Nanti saja dipakai ketika berangkat salat ‘Id.”
“Cuman sebentar
kok Pak, soalnya aku sudah janji sama teman-teman.” Aku berkeras mengenakan
sepatu itu. Inilah sekarang yang terjadi. Aku kehilangan sepatu baruku karena
tidak mengikuti saran bapak.*
*Cerita ini diikutkan dalam lomba Kisah Inspirasi Sepatu Dahlan
Pelajaran berharga yang mahal harganya. Mantap, Chef!
ReplyDelete