Malam
ini angin begitu kencang. Suara desauan angin yang menghantam pepohonan
terdengar sangat menakutkan. Fatur dan Rio adiknya menyelimuti badan mereka
rapat-rapat. Mereka sedang menginap di rumah nenek di kampung. Suara jangkrik
dan binatang malam saling bersahutan membuat mereka merinding. Baru sekali ini
mereka mendengar suara angin kencang yang seolah akan merubuhkan rumah nenek .
Apalagi rumah nenek terbuat dari papan.
“Kak aku takut!” suara Rio bergetar. Ia tidak bisa memejamkan matanya.
“Kakak juga takut, udah tidur aja,” saran Fatur.
"Kenapa suara anginnya serem begini ya Kak?" Rio merapatkan badannya ke badan Fatur.
“Kakak juga takut, udah tidur aja,” saran Fatur.
"Kenapa suara anginnya serem begini ya Kak?" Rio merapatkan badannya ke badan Fatur.
"Kakak juga gak tahu. Coba tadi kita gak usah nginap di sini ya..."
Fatur menyesali keputusannya tadi. Ibu dan bapak tadi sudah bertanya berulang
kali tentang keputusan mereka menginap di rumah nenek ini. Karena mereka belum
pernah menginap di rumah nenek sebelumnya. Rumah mereka di Padang. Sementara
rumah nenek di desa Salo Kabupaten Agam. Sekitar 80 km dari rumah mereka.
“Kita ke kamar nenek aja yuk.” Fatur segera melepas selimutnya. Ia berdiri dan turun dari tempat tidur. Riko mengikuti kakaknya ke kamar nenek.
“Nek, kami tidur di kamar nenek ya,” kedua anak itu langsung berbaring di samping nenek. Kamar nenek memang tidak ada pintunya, hanya ditutup dengan menggunakan kain saja. Seperti kamar yang mereka tempati tadi. Setiap kamar di Rumah Gadang memang tidak punya pintu. Rumah ini sudah sangat tua, tapi masih kuat, karena nenek merawat rumah ini dengan baik.
“Ada apa? Pasti kalian takut ya?” tebak nenek. Nenek terbangun mendengar suara cucunya. Fatur dan Rio menggangguk sambil menyelimuti badan mereka dan mendekat kepada nenek.
“Tidak perlu takut, harusnya kalian senang, karena angin malam ini bertiup kencang.” Ujar nenek tersenyum, nenek menggeser tidurnya agak ke pinggir sehingg kedua cucunya bisa tidur di sampingnya.
“Mana ada orang yang senang dengan angin kencang nek,” sela Fatur.
“Di kampung ini, semua orang senang kalau angin bertiup kencang seperti ini,” nenek menarik selimutnya dan memejamkan mata kembali.
“Kalau begitu, orang di kampung ini aneh-aneh dong,” sela Rio. Fatur tidak melanjutkan pertanyaannya lagi. Matanya sudah terlalu mengantuk. Akhirnya mereka pun tertidur di samping nenek.
********
“Ayo bangun Fatur... Rio..!” nenek menarik selimut Fatur dan Rio. Kedua adik kakak itu menggeliat. Mereka menarik kembali selimut yang sudah terbuka. Tapi nenek dengan sigap melipat selimut itu.
“Kalian mau tahu kenapa nenek bilang harusnya kalian bersyukur dengan angin kencang semalam?” nenek membelai rambut Fatur. Beliau duduk di pinggir tempat tidur.
“Gak mau ah nek, aku masih ngantuk nih,” Fatur mengeliat dan meraih selimut yang sudah dilipat nenek. Ia menyelimuti badannya kembali. Udara pagi itu masih terlalu dingin menurutnya.
“Baiklah, kalau kalian tidak, mau ya gak apa-apa. Nenek akan makan sendiri jika nanti nenek menemukannya.” Sahut nenek sambil berdiri.
“Emang nenek mau makan apa?” Fatur segera duduk. Ia paling tidak bisa mendengar kata-kata yang menyangkut tentang makanan.
“Ada deh, kalau kalian mau tahu, kalian harus ikut nenek sekarang,” nenek beranjak dari kamar. Beliau segera menuju pintu rumah. Fatur dan Rio segera bangun, mereka saling berpandangan. Jika mereka tidak ikut dengan nenek, berarti mereka akan melewatkan makanan yang mungkin saja enak. Tapi kenapa nenek subuh-subuh begini keluar? Makanan apa yang ada subuh-subuh begini?
“Aku gak mau ikut,” Rio tidur kembali.
“Ya sudah, nanti jangan menyesal atau meminta makanan yang nenek bawa ya?” teriak nenek dari luar rumah.
“Aku ikut aja deh nek,” Fatur segera berdiri dan berlari menyusul nenek. Rasa kantuknya sudah hilang sejak mendengar kata makanan yang diucapkan nenek tadi.
“Ayo nek,” Fatur menutup pintu. Di luar masih gelap. Beberapa orang terlihat berjalan menuju sawah.
“Ayo!” Nenek tersenyum dan berjalan menuju ke sawah. Fatur meletakkan kedua lengannya di dada. Ia benar-benar kedinginan. Tapi demi makanan ia tidak peduli dengan hawa dingin itu.
“Makanannya di sawah ya Nek?” tanya Fatur mengiringi langkah nenek.
“Bukan di sawah, tapi di dekat jalan menuju ke sawah,” nenek menyorotkan lampu senter ke jalan yang akan mereka tempuh, bunyi desauan angin masih sesekali terdengar walau tidak sekencang tadi malam.
“Emang ada warung di jalan menuju ke sawah. Bukankah di situ hanya ada pohon dan semak belukar?” Fatur mulai meragukan kata-kata makanan yang diucapkan nenek tadi.
“Udah, Fatur ikut aja. Insyaallah ketemu makanan nanti,” sahut nenek penuh rahasia. Fatur menurut, dia tidak banyak bertanya lagi.
Sepuluh menit mereka berjalan. Merekapun sampai di tanah lapang yang ditumbuhi pohon-pohon. Ada jalan setapak menuju ke sawah di tengah lapangan itu. Nenek mulai meyorotkan senternya ke arah semak belukar di samping pohon durian.
“Oh aku tahu sekarang nenek mau mencari durian ya?” Fatur tersenyum. Ia ingat, nenek pernah bercerita kalau siapapun boleh mengambil buah yang ada di lapangan itu. Biasanya buah durian akan berjatuhan tertiup angin. Apalagi sekarang sedang musim durian. Siapa yang pertama melihatnya boleh mengambilnya.
Bersemangat Fatur memperhatikan setiap semak yang berada di bawah pohon durian. Barangkali saja ada buah durian di sekitar situ.
“Nek!, mana senternya, itu ada buah durian!” teriak Fatur senang. Ia menunjuk sesuatu yang bulat di dekat semak. Karena masih gelap ia tidak bisa melihat dengan jelas. Tidak ada penerangan di lapangan itu. Nenek segera menghampiri Fatur. Beliau menyorotkan lampu senter ke arah yang di tunjuk Fatur.
“Benar! Alhamdulillah, ayo kita ambil,” sahut nenek. Beliau mendekati buah durian yang cukup besar itu. Nenek mengambil daun pisang kering tak jauh dari situ. Pelepah pisang yang sudah kering itu beliau ikatkan ke durian.
“Ayo Fatur, kita pulang,” ajak nenek sambil membawa buah durian. Merekapun pulang. Fatur senang ternyata ini yang dimaksud nenek dengan seharusnya kita senang dengan angin kencang. Karena angin itu telah membuat durian berjatuhan, dan warga kampung bisa menikmati durian yang langsung jatuh dari pohonnya.
"Rio! Ayo bangun! Lihat ini !" Fatur berteriak di telinga Rio. Fatur mendekatkan semangkuk buah durian ke hidung Rio. Aroma buah itu membuat Rio segera bangun. Air liurnya menetes. Rio meraih durian yang terlihat menggoda di depan matanya.
“Kita ke kamar nenek aja yuk.” Fatur segera melepas selimutnya. Ia berdiri dan turun dari tempat tidur. Riko mengikuti kakaknya ke kamar nenek.
“Nek, kami tidur di kamar nenek ya,” kedua anak itu langsung berbaring di samping nenek. Kamar nenek memang tidak ada pintunya, hanya ditutup dengan menggunakan kain saja. Seperti kamar yang mereka tempati tadi. Setiap kamar di Rumah Gadang memang tidak punya pintu. Rumah ini sudah sangat tua, tapi masih kuat, karena nenek merawat rumah ini dengan baik.
“Ada apa? Pasti kalian takut ya?” tebak nenek. Nenek terbangun mendengar suara cucunya. Fatur dan Rio menggangguk sambil menyelimuti badan mereka dan mendekat kepada nenek.
“Tidak perlu takut, harusnya kalian senang, karena angin malam ini bertiup kencang.” Ujar nenek tersenyum, nenek menggeser tidurnya agak ke pinggir sehingg kedua cucunya bisa tidur di sampingnya.
“Mana ada orang yang senang dengan angin kencang nek,” sela Fatur.
“Di kampung ini, semua orang senang kalau angin bertiup kencang seperti ini,” nenek menarik selimutnya dan memejamkan mata kembali.
“Kalau begitu, orang di kampung ini aneh-aneh dong,” sela Rio. Fatur tidak melanjutkan pertanyaannya lagi. Matanya sudah terlalu mengantuk. Akhirnya mereka pun tertidur di samping nenek.
********
“Ayo bangun Fatur... Rio..!” nenek menarik selimut Fatur dan Rio. Kedua adik kakak itu menggeliat. Mereka menarik kembali selimut yang sudah terbuka. Tapi nenek dengan sigap melipat selimut itu.
“Kalian mau tahu kenapa nenek bilang harusnya kalian bersyukur dengan angin kencang semalam?” nenek membelai rambut Fatur. Beliau duduk di pinggir tempat tidur.
“Gak mau ah nek, aku masih ngantuk nih,” Fatur mengeliat dan meraih selimut yang sudah dilipat nenek. Ia menyelimuti badannya kembali. Udara pagi itu masih terlalu dingin menurutnya.
“Baiklah, kalau kalian tidak, mau ya gak apa-apa. Nenek akan makan sendiri jika nanti nenek menemukannya.” Sahut nenek sambil berdiri.
“Emang nenek mau makan apa?” Fatur segera duduk. Ia paling tidak bisa mendengar kata-kata yang menyangkut tentang makanan.
“Ada deh, kalau kalian mau tahu, kalian harus ikut nenek sekarang,” nenek beranjak dari kamar. Beliau segera menuju pintu rumah. Fatur dan Rio segera bangun, mereka saling berpandangan. Jika mereka tidak ikut dengan nenek, berarti mereka akan melewatkan makanan yang mungkin saja enak. Tapi kenapa nenek subuh-subuh begini keluar? Makanan apa yang ada subuh-subuh begini?
“Aku gak mau ikut,” Rio tidur kembali.
“Ya sudah, nanti jangan menyesal atau meminta makanan yang nenek bawa ya?” teriak nenek dari luar rumah.
“Aku ikut aja deh nek,” Fatur segera berdiri dan berlari menyusul nenek. Rasa kantuknya sudah hilang sejak mendengar kata makanan yang diucapkan nenek tadi.
“Ayo nek,” Fatur menutup pintu. Di luar masih gelap. Beberapa orang terlihat berjalan menuju sawah.
“Ayo!” Nenek tersenyum dan berjalan menuju ke sawah. Fatur meletakkan kedua lengannya di dada. Ia benar-benar kedinginan. Tapi demi makanan ia tidak peduli dengan hawa dingin itu.
“Makanannya di sawah ya Nek?” tanya Fatur mengiringi langkah nenek.
“Bukan di sawah, tapi di dekat jalan menuju ke sawah,” nenek menyorotkan lampu senter ke jalan yang akan mereka tempuh, bunyi desauan angin masih sesekali terdengar walau tidak sekencang tadi malam.
“Emang ada warung di jalan menuju ke sawah. Bukankah di situ hanya ada pohon dan semak belukar?” Fatur mulai meragukan kata-kata makanan yang diucapkan nenek tadi.
“Udah, Fatur ikut aja. Insyaallah ketemu makanan nanti,” sahut nenek penuh rahasia. Fatur menurut, dia tidak banyak bertanya lagi.
Sepuluh menit mereka berjalan. Merekapun sampai di tanah lapang yang ditumbuhi pohon-pohon. Ada jalan setapak menuju ke sawah di tengah lapangan itu. Nenek mulai meyorotkan senternya ke arah semak belukar di samping pohon durian.
“Oh aku tahu sekarang nenek mau mencari durian ya?” Fatur tersenyum. Ia ingat, nenek pernah bercerita kalau siapapun boleh mengambil buah yang ada di lapangan itu. Biasanya buah durian akan berjatuhan tertiup angin. Apalagi sekarang sedang musim durian. Siapa yang pertama melihatnya boleh mengambilnya.
Bersemangat Fatur memperhatikan setiap semak yang berada di bawah pohon durian. Barangkali saja ada buah durian di sekitar situ.
“Nek!, mana senternya, itu ada buah durian!” teriak Fatur senang. Ia menunjuk sesuatu yang bulat di dekat semak. Karena masih gelap ia tidak bisa melihat dengan jelas. Tidak ada penerangan di lapangan itu. Nenek segera menghampiri Fatur. Beliau menyorotkan lampu senter ke arah yang di tunjuk Fatur.
“Benar! Alhamdulillah, ayo kita ambil,” sahut nenek. Beliau mendekati buah durian yang cukup besar itu. Nenek mengambil daun pisang kering tak jauh dari situ. Pelepah pisang yang sudah kering itu beliau ikatkan ke durian.
“Ayo Fatur, kita pulang,” ajak nenek sambil membawa buah durian. Merekapun pulang. Fatur senang ternyata ini yang dimaksud nenek dengan seharusnya kita senang dengan angin kencang. Karena angin itu telah membuat durian berjatuhan, dan warga kampung bisa menikmati durian yang langsung jatuh dari pohonnya.
"Rio! Ayo bangun! Lihat ini !" Fatur berteriak di telinga Rio. Fatur mendekatkan semangkuk buah durian ke hidung Rio. Aroma buah itu membuat Rio segera bangun. Air liurnya menetes. Rio meraih durian yang terlihat menggoda di depan matanya.
"Eits,
tunggu dulu, shalat dulu, baru kita makan durian ini. Nenek sedang masak ketan
untuk kita. Kata nenek durian ini lebih enak jika dimakan bersama ketan,"
ujar Fatur sambil menyembunyikan mangkok durian di belakang punggungnya.
"Yah kakak!" Rio kecewa. Dia segera ke kamar mandi untuk berwudhu.
Tak lama kemudian Rio pun selesai shalat subuh.
*Source Image : http://www.clker.com/clipart-durian-fruit.html
nice story :)
ReplyDeleteyummm ... eh? ;p