Wednesday, July 14, 2021

Baju Aneh

             “Ini baju untuk kalian. Ayo pakai!” tante memberikan sebuah kaos tanpa lengan dan celana pendek padaku dan Aini sepupuku.  Apakah ini harus kukenakan? Ini kan bukan baju, tapi kaos dalam? Seperti itu yang terlintas dipikiranku.

            Kulihat Aini menerima baju yang diberikan tante dan segera ke kamar menggantinya. Sedangkan aku, hanya bisa termangu memandangi satu stel pakaian yang kuyakini tak pantas kupakai. Karena aku seorang anak perempuan. Usiaku sepuluh tahun. Aku malu jika mengenakan pakaian yang baru diberikan tante padaku.

            Beberapa saat kemudian, Aini keluar dari kamar dengan baju barunya. Kaos lengan pendek dan celana pendek di atas paha. Ya Allah… ini sungguh membuatku geli. Aku makin tak mau mengenakan pakaian itu.

            “Ayo Nay, ganti pakaianmu. Kenakan ini!” perinta tante. Wajahnya mulai terlihat garang. Matanya melotot sebagaimana jika dia marah padaku. Tante Peni adalah adik Papa. Aku dan sepupuku Aini tinggal Bersama nenek dan juga tante Peni. Kami harus selalu mengikuti perintah tante Peni jika tak ingin cubitannya menancap di kulit lengan kami. 

            Kurasa aku yang paling sering mendapatkan cubitan itu. Awalnya kupikir karena aku sering tidak segera melakukan perintahnya seperti mencuci piring, menyapu rumah dan lainnya. Tapi semakin lama kuperhatikan, bukan karena faktor itu saja. Sepertinya dia memang lebih menyayangi sepupuku Aini daripada aku.

            Karena kulihat Aini juga sering mengabaikan perintah Tante Peni, tapi Aini jarang mendapatkan cubitan di lengan. Yah mungkin ini hanya perasaanku saja. Semoga memang begitu ya.

            “Tapi ini kan kaos dalam tante,” ujarku menolak secara halus. “Apalagi ini celananya bukan untuk anak perempuan, tapi untuk anak laki-laki.”

            “Siapa bilang ini kaos dalam dan celana anak laki-laki! Kamu nggak lihat ini motifnya boneka beruang begini? Warnanya juga kuning dan pink. Celana ini juga begitu, ada gambar beruang di kantong belakangnya!” Tante Peni menunjuk ke kaos dan celana yang kupegang.

            Benar juga yang dikatakan Tante Peni, ada gambar beruang di kaos tak berlengan itu. Tapi aku risih jika harus mengenakan model pakaian yang tak pernah kukenakan sama sekali.

            “Udah pakai aja Nay, cakep kok.” Aini membujukku. Kuperhatikan Aini dengan pakaian yang dikenakannya. Aini memang tomboy. Jadi dia sepertinya nyaman mengenakan pakaian itu. Kuperhatikan lengan Aini dengan kulit kuning langsatnya. Celana yang di atas pahanya juga memperlihatkan warna paha Aini. Aku bergidik membayangkan jika aku mengenakan pakaian itu.

            “Aku nggak mau Tante,” kuserahkan pakaian itu kepada Tante Peni.

            “PAKAI!” bentaknya. Aku terlonjak kaget. Jantungku berdegup kencang. Jika sudah berteriak seperti ini, biasanya cubitan atau pukulan pasti akan mendarat di tubuhku jika aku tidak menurutinya.

            Padahal baru kemarin aku mendapatkan cubitan di lengan. Tanda biru bekas cubitan itu bahkan belum hilang. Jika aku mengenakan pakaian yang diberikan Tante ini, pasti akan terlihat lebam karena cubitan tersebut. Ya Allah… ampuni aku karena terpaksa mengenakan pakaian ini. 

            Aku ke kamar untuk berganti pakaian. Rasanya aku tak kuat menahan cubitan lagi hari ini. Sedari tadi aku belum makan. Jadi kurasa bisa saja aku pingsan karena menahan cubitan dan rasa lapar. 

            Setelah selesai berganti pakaian, aku keluar kamar. “Nah kan bagus ini. Warna pink cocok dengan kulit sawo matang kamu,” ucapan Tante Peni seperti sedang mengolokku. Mana ada warna pink cocok dikenakan oleh anak berkulit sawo matang. 

            Sungguh tak nyaman mengenakan pakaian tak berlengan dan tak berkaki ini. Seperti angin yang membalut semua badanku. Dingin dan geli menjadi satu. 

            “Sekarang kalian berdua pergi ke rumah papa kamu ya Nay. Kasih tahu papa kamu bahwa tante sudah membelikan kalian baju,” perintah Tante Peni.

            “Hah! Pergi dengan pakaian seperti ini Tante?” tanyaku tak percaya.

            “Iyalah. Kan mau kasih tahu papa kamu tentang baju ini!”

            Aku tak percaya. Bagaimana mungkin aku harus keluar rumah dengan pakaian seperti ini? Aku bisa jadi olok-olokan teman-temanku nanti. Apalagi ada bekas cubitan di lengan kananku.

            “Udah, sana pergi!” Tante membuyarkan lamunanku.

            “Ayo Nay!” Aini menarik lenganku. Dia sepertinya menikmati pakaian barunya. Aku terpaksa melangkah mengikuti Aini. Rumah papaku berjarak seratus meter dari rumah nenek. Begitu keluar dari rumah, teriknya sinar mentari langsung menghujam kulitku. Hawa panas menerpa seluruh lengan dan kakiku. 

            Pakaian ini sama sekali tidak melindungiku dari udara dingin dan sengatan matahari. Aini berlari kecil sambil bernyanyi. Dia terlihat sangat senang. Berbeda denganku yang terlihat sangat tertekan. Sepanjang jalan menuju rumah papa, aku hanya menunduk menghindari tatapan orang. Kupikir semua orang memandangiku dengan tatapan aneh.

            Sampai di rumah papa, Aini langsung masuk sembari mengucapkan salam. Tapi tak ada yang menjawab salam kami. Kupikir papa pasti masih di kantor. Karena ini belum terlalu sore. Papa biasanya pulang dari kantornya sekitar pukul empat.

            Semenjak mama meninggal tiga tahun lalu, papa memintaku tinggal di rumah nenek. Karena beliau tidak bisa sepenuhnya merawatku. Beliau sibuk di kantornya dan tidak punya banyak waktu memasak makanan untuk kami. Papa makan malam ke rumah nenek. Sarapan dan makan siang biasanya di kantor. 

            Aku lega papa tidak ada di rumah. Aku tak mau melihat wajah papa bingung melihatku dengan pakaian seperti ini. Papa paham sekali bahwa aku sangat mengidolakan mama. Mamaku seorang ustadzah, beliau mengajar mengaji di TPA dekat rumah kami. Pakaian beliau selalu tertutup. Beliau membiasakan aku juga dengan pakaian menutup aurat. Setidaknya beliau membelikanku rok sebatas betis dan baju dengan lengan se-siku.

            “Anak-anak tidak apa-apa mengenakan pakaian seperti ini. Tapi Nay harus membiasakan mengenakan pakaian gamis seperti Mama ya. Agar terbiasa kelak hingga dewasa,” demikian pesan beliau padaku. Hal ini tak kan pernah kulupakan.

            “Nay tak kan pernah mengenakan pakaian ini lagi, Ma. Maafkan Nay ya Ma. Sampai di rumah nanti Nay akan mengganti pakaian ini dengan pakaian yang lebih menutup aurat.” Aku mengajak Aini kembali ke rumah nenek. Aku akan menguatkan diri jika Tante mencubitku bahkan jika dia memukulku sekali pun. Aku berjanji tak akan pernah mengenakan pakaian ini selamanya.

                                                                        ***

 

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung. ^_^