Thursday, September 17, 2020

Hujan Badai

 

            Hari ini langit terlihat sangat cerah. Mentari bersinar terik. Kiara dan teman-temannya sedang belajar di kelas. Sekolah mereka tidak seperti sekolah anak-anak di kota. Sekolah mereka terbuat dari kayu yang sudah mulai lapuk. Sekolah itu adalah satu-satunya sekolah di desa mereka.

            Tapi Kiara dan teman-temannya sangat suka belajar. Sehingga mereka tidak keberatan belajar di kelas yang hampir rubuh. Ketika asyik belajar, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh bunyi suara angin yang menderu. Tapi mereka tak menghiraukannya. Mereka tetap belajar.

            “Ini tugas saya Kak,” ucap Kiara sambil menyerahkan tugasnya kepada Kak Imah, guru mereka. Kak Imah menerima buku yang diberikan Kiara sambil tersenyum. Kak Imah sebenarnya adalah seorang gadis berusia 19 tahun yang baru tamat SMA. Dia menggantikan sementara Bu Yuli karena sakit. 

            Kiara kembali ke bangkunya. Sekilas dia melihat keluar jendela kelas. Langit yang tadi cerah ternyata sudah berubah warna menjadi kelabu. Angin menderu makin kencang. Sepertinya badai akan segera datang. 

            “Ayo adik-adik, segera selesaikan tugas kalian. Kita akhiri kelas hari ini,” kata Kak Imah. 

            “Betul Kak, sepertinya akan turun hujan,” ujar Kiara. Baru saja Kiara menyelesaikan ucapannya, hujan pun terdengar menetes di atap kelas mereka. Hujan datang begitu deras. Angina bertiup sangat kencang. Semua anak mulai panik. Kak Imah menenangkan seisi kelas. Ada 15 anak yang hadir saat itu.

            “Ayo berkumpul di sebelah sini adik-adik. Semoga badai segera berakhir,” perintah Kak Imah. Kiara mengajak teman-temannya menuju sudut ruangan yang disarankan gurunya tadi. Kak Imah sengaja memilih tempat itu agar murid-muridnya terhindar dari tempiasan air hujan yang masuk ke dalam kelas. 

            Semakin lama badai makin besar. Suara badai menderu membuat anak-anak ketakutan. Beberapa teman Kiara sudah mulai menangis. Apalagi ketika salah satu atap kelas mereka sudah diterbangkan angin, makin kencang tangisan anak-anak itu. 

            “Apa yang harus kita lakukan Kak?” tanya Kiara dengan wajah pucat.

            Kak Imah melihat sekitarnya. Dia berlari ke lemari di sudut belakang kelas. Lalu dia mencari sesuatu di sana. 

            “Syukurlah ada tali di sini!” ucapnya senang. Kak Imah mengingatkan tali itu ke badan semua anak. Terakhir dia mengikatkan tali ke badannya. 

            “Adik-adik, kita harus keluar dari kelas ini sebelum kelas roboh dihantam badai. Kakak harap kalian harus berani dan kuat berjalan ke rumah yang di depan sana ya. Jangan panik, tetap tenang. Semoga Pak Hardi pemilik rumah itu bersedia menerima kita berteduh sementara di sana.”

            Semua murid mengangguk mengerti.  “Ayo kita berjalan sambil beriringan. Semua berada dalam satu barisan ya,” perintah Kak Imah. Kiara membantu Kak Imah mengajak teman-temannya berbaris. Posisi mereka sudah terikat tali satu sama lain. Mereka pun mulai berjalan beriringan menembus badai. 

            Sambil berjalan Kak Imah menyemangati murid-muridnya dengan melapalkan doa-doa. Rumah yang akan mereka tuju terletak sekitar dua ratus meter dari sekolah. Mereka pun mulai berjalan dengan terseok menghadapi badai.

            Lima belas menit kemudian mereka sampai di rumah Pak Hardi. Bersyukur Pak Hardi bersedia membantu Kiara dan teman-temannya. Bu Hardi memberikan teh hangat dan handuk kepada mereka semua. Bu Hardi juga memberi selimut agar mereka tidak kedinginan. 

            Beberapa jam kemudian badai pun berakhir. Orang tua murid terlihat mencari anak-anak mereka. Mereka berterima kepada Kak Imah dan keluarga Pak Hardi yang sudah menyelamatkan anak-anak mereka.

            

                                                            ***

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung. ^_^