Tuesday, June 2, 2020

Dipecat 1

         “Assalamualaikum Pak Irwan, apa kabar?” sapa Widi kepada pasiennya saat jam pergantian dinas malam. Widi adalah seorang perawat di RS Harapan Kasih di Jakarta.  Sudah dua tahun dia bekerja di rumah sakit itu. Gadis berlesung pipi ini berasal dari Bukittinggi Sumatera Barat. Dia merantau ke Jakarta bersama temannya. Widi berhasil lolos pada sesi wawancara kerja, sementara temannya tidak lolos. Widi bersyukur bisa bekerja di salah satu rumah sakit swasta terbesar di Jakarta ini.
        “Waalaikumsalam, baik suster Widi, oh ya, nanti malam masih ada suntikan amoxilin kan suster?” Pak Irwan balik bertanya.
        “Iya Pak, masih ada satu kali lagi, untuk jam dua belas malam. Maaf loh mengganggu tidur Bapak lagi dengan suntikan Amoxilin itu,” jelas Widi tersenyum.

       “Oh tidak apa-apa suster Widi, nanti suster sendiri kan yang akan memberikan suntikan itu?”
       “Insyaallah, iya Pak, kalau begitu Bapak istirahat dulu ya, malam ini saya dan suster Farah yang jaga. Kalau Bapak butuh bantuan, silahkan Bapak memanggil kami. Permisi dulu ya Pak, Assalamualaikum,” Widi keluar dari kamar Pak Irwan.
      “Waalaikumsalam, selamat bertugas suster.” 
      Perlahan Widi menutup pintu kamar 518 itu. Malam ini Widi bertugas menjaga delapan orang pasien VIP tempat dia bertugas selama ini. Pak Irwan adalah pasien yang sangat kritis tentang obat-obat yang diberikan kepadanya.
      “Wid, kamu jaga Ibu Ningrum saja ya, biar nanti aku yang memberikan suntikan malam. Enggak banyak kan suntikan yang akan diberikan malam ini?” Tanya Farah seniornya di ruangan itu. Malam ini Farah bertugas sebagai penanggung jawab ruangan.
      “Baik Mbak, suntikan malam hanya untuk Pak Irwan saja kok.“    
      “Kalau begitu kamu segera saja ke kamar Ibu Ningrum, pantau terus keadaannya ya. Aku akan menelpon Dokter Ridwan dulu, mudah-mudahan saja beliau belum pulang.” Farah memencet nomor telepon Dokter Ridwan. Dokter itu yang merawat Ibu Ningrum. Keaadaan pasien itu cukup kritis malam ini.  
       Widi segera menuju  kamar Ibu Ninggrum. Ibu yang berumur enam puluh tahun ini menderita penyakit kanker otak stadium 4. Menurut Dokter Ridwan, sangat tipis kemungkinan untuk sembuh, apalagi beberapa hari belakangan ini kondisi ibu Ningrum semakin memburuk.
     Padahal dua tahun yang lalu, tumor yang bersarang di otak Ibu Ningrum pernah diangkat oleh Dokter Ridwan. Tapi sel ganas itu ternyata sudah menyebar ke seluruh jaringan otak ibu Ningrum yang membuat Ibu satu anak itu menjadi kehilangan kesadaran.
      Widi masuk ke kamar Ibu Ninggrum. Sambil membaca basmalah, Widi mulai memeriksa tekanan darah Ibu Ningrum dengan menggunakan tensi meter. Di dada Ibu Ninggrum sudah terpasang elektroda EKG yang disambungkan kepada monitor komputer. Sebenarnya di monitor EKG juga terlihat tekanan darah dan jumlah denyut nadi pasien, tapi Widi ingin lebih meyakinkan dirinya dengan memeriksa langsung tekanan darah Ibu Ningrum itu.
      Pak Rudi, anak Ibu Ningrum berpesan, ibunya tidak usah dirawat diruang ICU setelah mendengar penjelasan dari Dokter Ridwan beberapa hari yang lalu. Akhirnya sesuai kesepakatan dokter dan koordinator ruangan VIP, kamar 507 ini difasilitasi alat-alat sesuai fasilitas ICU, agar Ibu Ningrum dapat dipantau secara maksimal meskipun bukan di ruangan ICU.
      Selesai mengukur semua vital sign Ibu Ningrum dan mencatatnya di buku catatan perawatan Ibu Ningrum, Widi memiringkan tubuh yang kurus itu ke sisi kanan. Dan merapikan kembali selimut yang menyelimuti tubuh ringkih itu.
     “Suster tolong jaga ibu saya ya, kalau suster sempat, tolong bacakan surah Yasin untuknya, karena saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan saya, nanti sepulang dari kantor, saya akan kesini lagi” begitu pesan Pak Rudi tadi pagi sebelum berangkat ke kantornya pada Widi. 
         Ibu Ningrum terlihat gelisah. Widi melirik meja kecil dekat tempat tidur. Ada sebuah alqur’an di atasnya. Widi meraih alqur’an itu dan mulai membacakan surah Yasin. Widi mendekatkan wajahnya ke telinga Ibu Ningrum. Dengan tartil Widi melantunkan ayat suci itu di telinga kanan  Ibu Ningrum. Perlahan seiring dengan bacaan Widi, Ibu Ningrum terlihat mulai tenang. Widi mengakhiri bacaan alqur’annya, dia  melihat jam di dinding kamar itu,“jam setengah duabelas,“ gumamnya. Widi memandangi wajah pucat perempuan tua itu.
          Jika melihat wajah ibu ini, Widi selalu teringat ibunya. Ibunya sekarang di kampung. Ibu sering memasak sambal kesukaannya yaitu sambal lado tanak. Kadang kalau ada kerabatnya ke kampung, ibu menitipkan sambal itu kepada kerabatnya itu ketika hendak kembali ke Jakarta. Sambal itu dibuat dari cabe keriting, bawang merah dan tomat. Semua bahan itu direbus setelah itu diulek. Tidak perlu sampai halus. Di atasnya ditaburi ikan teri yang juga direbus bersama dengan cabe tadi. Rasanya benar-benar membuat lidah bergoyang. “Semoga ibu sehat-sehat saja di kampung,“doa Widi dalam hati. Dia kembali mengukur tekanan darah ibu Ningrum, tak lama berselang Dokter Ridwan datang .
      “Berapa tekanan darah Ibu Ningrum suster” 
      “80/60 dokter, jam sepuluh tadi masih 90/60, apa perlu kita berikan Dopamine?”
      “Baik kalau begitu, berikan Dopamine melalui syiring pump”
       Tanpa menunggu waktu lagi Widi segera ke ruang peralatan tempat syiring pump di simpan. Bergegas Widi kembali ke kamar Ibu Ningrum dengan Dopamine yang baru diambilnya dari laci obat, segera dioplosnya dengan cairan infus yang digunakan Ibu Ningrum.
     Setelah memasangkannya dengan menggunakan triway melalui selang infus di tangan kiri Ibu Ningrum, Widi segera mengatur tetesan syiring pump sesuai instruksi Dokter Ridwan tadi. “Tolong diperhatikan terus tekanan darahnya ya?“ pinta Dokter Ridwan setelah obat untuk menaikkan tekanan darah itu mengalir ke tubuh Ibu Ningrum. Widi mengangguk. Ketegangan terlihat jelas di wajahnya yang teduh. Gadis itu merapikan jilbabnya yang terlihat kusut setelah berlarian mengambil alat tadi. Beberapa menit kemudian, Widi kembali mengukur tekanan darah Ibu Ningrum. “Masih sama” gumamnya lirih. 
           Meskipun hal ini untuk yang kesekian kali dialaminya, tak urung tetap membuat hati Widi pedih. Tak satupun saudaranya yang menjaga Ibu Ningrum. Anak satu-satunya itu juga sibuk dengan pekerjaannya. Menurut Pak Rudi, bapaknya, suami Ibu Ningrum sudah meninggal setahun yang lalu. Widi sempat berpikir, di mana saudaranya yang lain? Kenapa di saat kritis seperti ini tidak ada yang menemani beliau? Perlahan Widi membisikkan kalimat tahlil di telinga kanan Ibu Ningrum. Wanita yang wajahnya sangat mirip dengan ibunya itu mulai tenang. Ketika membisikkan kalimat thayyibah itu Pak Rudi muncul dari balik pintu.
           “Terima kasih suster Widi,“ ujarnya. Ia lalu mendekati ibunya. Kemudian ia  mulai membacakan kalimat syahadat ketelinga ibu tercinta. Air mata Ibu Ningrum nenetes dari sudut matanya. Widi yang menyaksikan hal itu tak kuasa menahan tangis, dia buru-buru keluar dari kamar itu. Pantang bagi seorang perawat menangisi keadaan pasiennya. Mereka boleh berempati, tapi tidak menangis di depan mereka. Karena tugas mereka adalah menguatkan para pasien. Jika mereka menangis sama saja artinya membuat pasien dan keluarganya bertambah terpuruk dalam kesedihan.
        Keadaan Ibu Ningrum semakin memburuk. Dua jam setelah dopamine diberikan ,tak membawa reaksi apapun terhadap tekanan darahnya, tekanan darah Ibu Ningrum terus turun, dan turun. Sampai tiba-tiba, flat panjang menghiasi monitior EKG. Innalillahi wa Inna ilaihi raji’uun. Ibu Ningrum meninggalkan anak dan seluruh hartanya diiringi kalimat syahadat yang dibacakan oleh putranya.
        Dokter Ridwan yang hendak melakukan RJP, mengurungkan niatnya karena dilarang oleh Pak Rudi. 
       “Biarkan Ibu beristirahat dengan tenang dokter, saya sudah mengikhlaskan kepergian beliau, karena Allah memberikan yang terbaik untuk beliau, dengan kembali kepada Nya.”

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung. ^_^