Wednesday, January 29, 2020

Abraham Samad



Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Teman-temanku bergegas berlari keluar kelas setelah kami selesai membaca doa. Demikian juga denganku. Tapi, sebelum kami pulang, beberapa temanku mengambil kapur tulis yang tergeletak di bawah meja wali kelas kami. 
Melihat hal itu, aku pun ikut-ikutan mengambil. Aku mengambil 5 buah kapur sisa berwarna putih itu. Sedangkan teman-temanku ada yang mengambil 5, ada juga yang mengambil 3. Kulihat guru kami hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan kami. 

“Ayo kita pulang” ajakku pada teman-temanku. 
“Ayo!” sahut mereka. Lalu kami pun berlari keluar kelas. Aku dan teman-temanku berlari keluar halaman SD 129 Kunjung Mae, di Jalan Mappanyukki,Makasar. Kami langsung pulang ke rumah kami. Aku bergegas meletakkan tasku di atas meja. Lalu kuganti seragam. Selanjutnya aku makan. Rasanya aku sangat lapar. 
Sore harinya, setelah bermain bersama teman-temanku, aku mandi lalu membuka bukuku untuk belajar. seperti biasa, aku suka belajar dengan menggunakan papan tulis yang dibelikan ibuku. Aku sering menggunakan papan tulis itu untuk belajar apa pun. Kadang ibuku juga mengajariku dengan menggunakan papan tulis. 
Sebelum belajar, kuambil kapur yang kubawa dari sekolah tadi. kuletakkan kapur itu di dekat papan tulis, agar mudah menggunakannya nanti. Ketika akan mmulai belajar, ibu tiba-tiba bertanya padaku. 
“Dapat dari mana kapurnya, Nak?” tanya Ibu sambil melirik kapur yang kuletakkan di dekat papan tulis. 
“Kuambil di sekolah Bu,” jawabku enteng. 
“Apa kau minta sama gurumu?” selidik ibu. 
“Tidak, Bu. Aku mengambilnya saja bersama teman-temanku. Tapi ibu guru melihat kami, dan beliau tidak marah,” sahutku. 
“Ya Allah, Nak... jangan kau pakai kapur itu untuk belajarmu di rumah! Kembalikan kapur itu ke gurumu besok ya! itu bukan hak-mu. Ibu tidak ingin kau berdosa karena menggunakan barang yang bukan hakmu,” pinta Ibu. Aku terdiam. 
“Baiklah Bu, besok kukasih lagi kapur ini ke bu guru,” sahutku lemah.  
Keesokan harinya, aku pun mengembalikan kapur yang kuambil itu pada guruku. Aku meminta maaf karena sudah mengambil kapur itu. untungnya wali kelasku tidak mempermasalahkannya.  
Begitu pulang sekolah, aku kembali bermain bersama teman-temanku seperti biasanya. Sorenya kulihat ibuku sudah pulang dari kantornya di kantor departemen penerangan makasar. Ibuku adalah seorang pegawai negeri sipil.  
“Sudah kau kembalikan kapur yang kemarin, Nak?” tanya ibu padaku ketika aku menyusul beliau masu ke dalam rumah. 
“Sudah, Bu,” sahutku tersenyum. Ibu mengacak rambutku. 
“Selalulah jujur di mana pun kau berada ya , Nak,” pesan ibu lagi. Aku mengangguk. Lalu kuiikuti langkah ibu masuk ke dalam rumah. Begitu sampai di dalam rumah, hal pertama yang dilakukan ibu adalah memeriksa isi tasku. 
Mungkin beliau ingin memastikan bahwa aku sudah benar-benar mengembalikan kapur itu padaguruku. 
“Ibu, bangga padamu, Nak. Jangan kau ulangi lagi perbuatan itu ya,” ucap Ibu sambil menatap lembut mataku.  
“Iya bu. Aku berjanji tidak akan melakukannya lagi,” sahutku mantap. 
Sebenarnya ibuku, ibu Sitti Maryam, memang selalu mengajarkanku dan lima orang saudaraku yang lainnya untuk selalu jujur. Demikian juga dengan bapakku, bapak Andi Samad,beliau menanamkan nilai-nilai agama islam dalam kehidupanku sehari-hari. 
Bapakku berprofesi sebagai tentara. Jadi kami tinggal di asrama tentara di Makasar. Tentu saja sebagai seorang tentara, beliau sangat disiplin dan benar-benar menerapkan perilaku jujur itu pada keluarga kami. 
Aku lahir di barak tentara, asrama TNI Cendrawasih, Mattoanging, di sebelah barat Makasar pada tanggal 27 November 1966. Aku besar dan bertumbuh di sana. Sebagai anak ke lima dari enam bersaudara, aku termasuk anak yang keras kepala. Aku selalu ngotot jika kau menginginkan sesuatu. Tiap hari, aku pasti berkelahi dengan teman-temanku. Kuharap kalian tidak mencontoh sifatku yang satu ini ya. Hehehe... 
Kakak tertuaku yang bernama Imran Samad, terpaksa menjadi wakil dari keluargaku meminta maaf ketika aku berurusan dengan orang lain. Aku sendiri juga tidak mengerti entah kenapa, rasanya aku sangat kasihan melihat teman-temanku tertindas dianiaya anak lain. Makanya aku membela mereka. tapi aku tidak tahu akibtanya, orangtuaku dan keluargaku yang menjadi sasaran amarah orangtua anak-anak yang menjadi lawan berkelahiku. 
Kurasa salah satu penyebab aku suka berkelahi pasti karena aku dan saudara-saudaraku sering mendengar cerita kepahlawanan dari ayah kami.Ayah kami memang suka bercerita pada kami, jika beliau sudah selesai bertugas. 
“Kau tahu, Nak, kenapa namamu bapak namakan dengan Abraham?” tanya bapak suatu kali. Aku segera menggeleng. Saat itu kami bersaudara sedang mendengar cerita bapak di rumah kami. 
“Waktu kau lahir, bapak sedang membaca buku seorang tokoh terkenal yang brnama Abraham Lincoln. Beliau adalah presiden Amerika. Beliau sangat hebat, pantang menyerah dan berani. Makanya, begitu kau lahir, bapak langsung terpikir memberi namamu seperti nama mantan presiden Amerika itu,” cerita ayah. 
“Agar kelak, kau bisa menjadi pemimpin yang pemberani,” tambah beliau.  
“Wah! Ternyata namaku sama seperti nama presiden ya Pak,” ucapku bangga. Rasanya saat itu aku langsung berubah menjadi sangat pemberani seperti Abraham Lincoln. Tak ada yang bisa meleraiku ketika aku membela teman-temanku yang sedang dianiaya anak lain. Menurutku, itulah salah satu sikap pemberani.  
Tapi ibu selalu mengingatkan, bahwa sikap pemberani bukan hanya jago berkelahi. Selalu berlaku jujur merupakan salah satu sikap pemberani.  
Taklama aku merasakan keindahan dalam dekapan ayahku. Karena ketika usiaku menginjak 9 tahun, ayahku kembali kepada Allah SWT. Beliau meninggalkan kami, keluarganya. Kurasa, beliau gugur sebagai pahlawan. Karena itu beliau dimakamkan di taman makam pahlawan. 
Aku masih ingat cerita ayah tentang pekerjaan beliau. Yang kini hanya tinggal kenangan saja bagiku. 
“Bapak bertugas menjaga Bung Karno,” cerita ayah pada kami suatu hari. Seperti biasa, aku dan saudara-saudaraku sangat bersemangat mendengar cerita ayah. Lalu ayah bercerita tentang tugas yang beliau lakukan dengan sangat bangga. Aku pun ikut bangga menjadi anak dari seseorang yang menjaga presiden republik Indoneisia, negaraku tercinta. 
Aku berjanji akan selalu mengingat pesan ayah dan ibuku. Untuk selalu berani dan jujur kapanpun dan di manapun aku berada. 

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung. ^_^