Sunday, July 13, 2014

[Masa Kecil Tokoh] Baharuddin Jusuf Habibie


              

            “Rudi, bantu ibu untuk berkemas yuk,” pinta Ibu pagi itu. Walau aku anak ke empat dari delapan bersaudara. Bapakku Alwi Abdul Jalil Habibie dan ibuku R.A. Tuti Marini Puspowardojo. Mereka sangat menyayangi kami anak-anaknya. Dalam beberapa hal, mereka berdua kurasa sangat menyayangiku. Mungkin karena aku anak laki-laki pertama dalam keluargaku.    
            “Berkemas? Kita akan ke mana Bu?” tanyaku bingung.
            “Kita akan pindah dari Pare-pare Nak. Insyaallah dalam pekan ini, kita pindah ke Larrae’,” sahut Ibu. Aku bingung mendengar perkataan ibu ini. Kenapa kami harus pindah? Tapi aku tidak berani bertanya lebih banyak. Kulihat Ibu diam, itu artinya pasti ada sesuatu yang dipikirkan Ibu.

            Aku berpikir, mungkinkah kami pindah ke Larrae’ karena situasi di Pare-pare yang akhir-akhir ini begitu mencekam? Entahlah. Saat ini, tentara Jepang sudah sampai di kota kelahiranku. Kurasa, pasti karena itu kami terpaksa pindah dari kota kelahiranku ini.
            Sebagai seorang anak, aku harus berusaha membuat ibu dan ayahku tidak banyak pikiran. Aku pun mengikuti perintah Ibu. Aku bersama saudaraku mengemasi barang-barang kami. Buku-buku yang dibelikan ayahku, kusatukan ke dalam kardus. Lalu aku membantu kakakku mengemasi barang lain.
            Pada hari yang sudah ditentukan, keluarga kami pun pindah ke desa Larrae’, kecamatan Palaro, kabupaten Barru. Aku memulai kehidupan baru dan berkenalan dengan teman-teman baru di sana. Saat itu usiaku enam tahun.  
            Tak sulit bagiku untuk beradaptasi. Karena aku memang suka sekali berteman. Teman-teman baruku sangat baik. Mereka mengajakku main di sungai
            “Kamu bisa berenang kan Rudi?” tanya mereka suatu hari. Teman-teman, orangtua dan saudaraku memanggil Rudi jika menyebut namaku. Mereka memanggilku dengan panggilan Rudi karena namaku adalah Baharuddin Jusuf Habibie. Aku lahir di Pare-pare, Sulawesi Selatan pada tanggal 25 Juni 1036. Waktu itu negara Indonesia, termasuk kota kelahiranku dijajah oleh Belanda.
            “Tentu saja aku bisa berenang,” sahutku bersemangat. Akhirnya, kami pun berenang di kali yang tak jauh dari rumah kami. Rasanya seru balapan renang bersama teman-temanku di tempat tinggal baru ini.
            Kurasa hari-hariku di Larrae’ sama saja dengan di Pare-pare. Aku sekolah, bermain bersama teman-teman, mengaji, membantu ibu, membaca dan melakukan kegiatan lainnya. Salah satu kesukaanku adalah balapan kuda. Aku mempunyai seekor kuda hitam yang kupanggil dengan La Bolong. Setiap bertanding, aku ditemani kuda hitamku itu. La Bolong sangat cepat. Aku sangat menyayanginya.
            “Ayo Rudi!” demikian pekikan orang-orang menyemangatiku ketika di arena balapan kuda. Aku  semakin bersemangat memacu kudaku. Kususul beberapa kuda yang tadi mendahuluiku. Saat ini aku sedang ikut pacuan kuda. Aku memang sangat suka berkuda. Seringkali aku memenangkan balapan kuda ini. 
            “Ayo La Bolong, kita menangkan lagi pertandingan ini!” seruku pada La Bolong sambil mengusap lehernya yang panjang. La Bolong mengerti dengan permintaanku. Dia pun memacu larinya lebih kencang. Kami sudah jauh meninggalkan kuda-kuda yang lain.
            “Sedikit lagi kita akan menang La Bolong,” seruku bersemangat. Di ujung sana, garis finish sudah terlihat. La Bolong berlari bagai angin. Dan kami pun akhirnya memenangkan pacuan kuda ini.
            “Hebat La Bolong! Kita berhasil,” ucapku sambil membelai surai La Bolong. Kulihat ayah menghampiriku.
            “Bagus Rudi! Kamu menang lagi!” ayah merentangkan tangannya. Beliau berusaha membantuku untuk turun dari punggun La Bolong. Sebenarnya aku bisa turun sendiri, tapi, ini hanya sebagai ucapan selamat dari ayahku. Aku segera membalas pelukan ayah untuk turun dari punggu La Bolong.
            “Apa cita-citamu setelah besar nanti, Nak?” tanya Ayah ketika kami berjalan menuju tempat pengambilan hadiah.
            “Saya mau jadi insinyur Yah,” sahutku mantap. Beberapa hari lalu kulihat seorang insinyur bertugas di kotaku. Aku bertanya pada ayah tentang pekerjaan insinyur itu. Ayah menjelaskan padaku, bahwa insinyur bisa membuat bangunan dan mesin.
            “Insinyur yang datang ke kota kita itu, bisa juga membuat jembatan besar yang melintasi sungai besar untuk menghubungkan dua desa.” Demikian jawaban ayah waktu itu. sejak itu, aku bercita-cita akan menjadi insinyur. Akuingin belajar cara membuat jembatan besar itu.
            “Bagus! Ayah senang, jika kelak kamu berhasil menjadi insinyur. Belajarlah yang rajin ya Nak,” ayah menepuk lembut pundakku sambil terus berjalan. Aku mengangguk.
            “Ayo kita pulang. Ibumu sudah menyiapkan makanan kesukaanmu di rumah,” ajak Ayah, ketika hadiah balapan kuda sudah berada di tanganku.
            Kami berjalan menuju rumah sambil memegang tali kekang La Bolong. Sepanjang jalan aku bertanya banyak hal pada ayahku. Ini salah satu kebiasaanku, suka bertanya hal-hal yang tidak kumengerti.  Aku juga ingin tahu semua hal. Ayahku selalu bisa menjawab pertanyaanku.
            Tapi jika beliau tidak bisa menjawab pertanyaanku, pasti beliau akan membawakan buku dan memintaku untuk membaca buku itu. Sejak ayahku membelikan buku, aku jadi suka membaca. Membaca buku, benar-benar membuatku mengetahui seluruh isi dunia.
            “Kamu menang lagi Nak,” tebak ibu sambil tersenyum begitu kami sampai di rumah. Aku tersenyum bangga sambil memperlihatkan hadiahku pada ibu.
            “Ayo makan! Ada bubur Manado kesukaanmu di meja makan,” ajak Ibu.
            “Asyik!” aku bergegas ke meja makan. Tentunya, aku sudah membersihkan badanku terlebih dahulu di kamar mandi.
            “Wah, ada Barangko dan Sokko juga!” pekikku senang. Di meja makan kulihat hampir semua makanan kesukaanku tersedia. Aku melahap bubur Manado dengan ikan asin hingga mangkukku licin.
            Ibuku memang sangat mengerti dengan makanan kesukaan anak-anaknya. Setiap pagi, sebelum berangkat sekolah, kami sarapan dulu. Beliau kadang menyiapkan nasi goreng atau roti untuk sarapan kami. Aku terlahir dari keluarga besar. Ada 5 jumlah saudaraku. Dua kakakku perempuan, lalu aku, adikku Fanni dan adik perempuanku.
            Diantara mereka, mungkin aku yang paling jarang main bersama teman-temanku. Aku lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca. Tapi bukan berarti aku tidak mau bermain. Jika ada teman yang mengajakku bermain layangan, gundu, mallogo dan lainnya, aku pasti ikut.
            Aku tidak suka menyendiri. Kecuali saat membaca. Suatu hari ada teman yang menggangguku. Sebenarnya, aku tidak mau menyakiti siapa pun. Karena aku tidak suka berkelahi. Tapi jika ada yang tiba-tiba menyerangku, pasti aku akan berusaha membela diri. Seperti yang pernah kualami. Seorang anak menyerangku, entah karena apa. Aku berusaha menghindar. Tapi dia terus saja menyerangku.
            “Saya tidak mau berkelahi!” ujarku pada anak bertubuh besar itu. Tapi anak itu masih saja berniat menyerangku. Aku bersiap membela diri. Kuperhatikam sekitarku untuk membela diri. Kulihat banyak pasir di dekatku. Saat anak itu lengah,  kuambil segenggam pasir dan kulempar pasir itu ke mukanya. Mata anak itu terkena pasir. Ada rasa kasihan menyelinap di hatiku. Aku pun minta maaf dan kami pun berteman.
            Di lain hari, ketika aku dan Fanni, adikku sedang berjalan,  kami di hadang segerombolan anak lain. Kami pun membela diri bersama. Untungnya Fanni sangat pemberani, jadi kami bisa membela diri dari kenakalan anak-anak itu. Kami memang beda usia, tapi badan Fanni hampir sama dengan badanku. Bahkan orang berpikir kami kembar. Tapi sebenarnya sifat kami tidak begitu sama. Hanya wajah kami saja yang mirip.
            Kegiatanku sore hari, adalah belajar mengaji pada bapak guru Hasan Alamudi, atau Kapitan Arab. Ayah mewajibkan kami mengaji setiap hari. Hebatnya, bapak guruku tidak diupah dengan uang. Kami cukup menimba air dan mencari kayu bakar untuk beliau. Jadi aku sudah terpbiasa menimba air untuk keperluan sehari-hari guruku itu.
            Hingga suatu hari ketika aku sudah duduk di bangku sekolah setingkat SMP, aku mengalami hari yang paling menyakitkan dalam hidupku. Selesai shalat isya, ayahku, tiba-tiba sesak napas. Beliau mengeluh dadanya sakit sekali. Kakakku terkejut melihat wajah ayah yang pucat. demikian juga denganku dan ibuku. Kami panik. Aku hanya bisa mematung bingung menyaksikan ayahku yang kesakitan seperti itu.
            “Aku harus segera mencari dokter,” ujar kakakku sambil berlari keluar rumah. Beliau masih menangis. Kulihat ayah makin pucat, aku membantu ibu memabtu ibu membawa ayah ke tempat tidur. aku sangat sedih karena tidak bisa melakukan apa pun. Kami semua anak-anaknya mulai menangis memanggil ayah yang terlihat sangat kesakitan.
            Kulihat, tangan ayah udah terkulai lemah. “Apakah ayah pingsan?” demikian pikiran yang terlintas dalam kepalaku. Ibuku masih menangis di samping ayah.
            Beberapa waktu kemudian, kakakku datang bersama dokter. Beliau memeriksa ayahku. Wajah dokter itu menegang. Lalu sedih setelah meraba nadi ayahku.
            “Innalillahi wainna ilaihi rajiuun,” ucap dokter itu lirih. “Ayah kalian sudah kembali ke pada tuhannya dengan tenang.” Tambahnya.
            Kami semua menangis tak percaya. Rasanya baru kemarin aku bertanya banyak hal pada ayahku. Baru kemarin beliau menjawab semua pertanyaanku. Baru kemarin beliau membeliaknku buku-buku, untuk menjawab semua pertanyaanku. Malam ini, beliau sudah kembali pada Allah, Sang Pemilik jiwa.
            Air mataku tak bisa kuhentikan. Mengalir bagai air sungai dengan diiringi isakan. Aku tidak pernah menangis. Tapi kali ini, entah mengapa, air mata itu tidak bisa berhenti. Insyaallah, aku akan menjaga keluarga ini Yah, janjiku dalam hati. Aku adalah anak laki-laki pertama dalam keluargaku. Saat ini semua tanggung jawab kepala keluarga sudah berpindah padaku.
            “Ya Allah... beri saya kekuatan untuk melaksanakan tugas yang Engkau berikan pada saya.” Hanya doa yang selalu kuucapkan di setiap shalatku. [NS]
      
* dari berbagai sumber

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung. ^_^