Setiap hari raya kurban atau yang lebih
sering kita dengar dengan sebutan Idul Adha, saya selalu mendapat kiriman
rendang daging dari kampung. Orang tua saya mengolah semua daging yang mereka
peroleh dari penyembelihan hewan kurban itu menjadi rendang.
Tahun lalu, seperti biasa, saya menerima
kiriman rendang dari orangtua. Kebetulan kami sekeluarga tinggal terpisah
dengan orang tua. Saya di Bekasi, sedangkan orangtua di Bukittinggi. Ada kejadian seru yang terjadi ketika saya
memanaskan rendang yang baru diberikan oleh kurir.
Kejadian itu berawal ketika saya minta
tolong kepada Syifa. Syifa 12 tahun, putri sulung saya penggemar berat rendang daging.
Khususnya rendang yang dikirim neneknya.
Menurut Syifa rendang yang dibuat nenek lebih maknyus dibanding rendang
yang dibuat ibunya. Jadilah Syifa orang yang pertama mencicipi rendang kiriman
dari kampung itu setiap tahun.
Siang itu, kiriman rendang baru saja
sampai dengan selamat di rumah kami. Saya meminta Syifa membuka bungkusan
rendang itu agar saya bisa memanaskan rendang yang sudah 2 hari di perjalanan.
Sebagaimana kita ketahui, rendang adalah makanan yang tahan selama beberapa
hari tanpa bahan pengawet.
Setelah Syifa membuka bungkusan rendang,
saya pun memanaskan rendang itu. “Hhhmmm... wangiii... bikin perutku tambah
lapar nih bu,” ujar Syifa sambil menelan ludahnya.
“Sabar Kak, sebentar lagi ya. Tunggu
sampai benar-benar panas agar lebih enak,” ujar saya sambil terus mengaduk
rendang di wajan. Syifa pun mengerti. Dia kembali ke kamarnya untuk belajar.
Namun, ketika asyik mengaduk rendang,
tiba-tiba Hauzan, putra bungsu saya yang masih bayi terbangun dari tidurnya.
Saya pun mengecilkan api dan berteriak memanggil Syifa di kamarnya. “Tolong
diaduk rendangnya ya Kak. Ibu mau boboin adek lagi,” pinta saya sambil
buru-buru masuk ke kamar. Sebelum masuk ke kamar, saya mendengar teriakan “iya”
dari Syifa.
Setelah itu saya langsung memberi ASI pada
putra bungsu saya itu. Lumayan lama saya memberi ASI, hingga saya ketiduran. Tiba-tiba
saya terbangun mendengar teriakan Syifa.
“Bu! Ini rendangnya diapain lagi nih?”
Ya ampun.. ternyata saya tertidur cukup
lama. Saya buru-buru keluar kamar. Aroma gosong sudah memenuhi dapur dan ruang
makan kami. Ternyata Syifa tidak cukup kuat mengaduk rendang yang begitu
banyak.
“Kok gosong kak?” tanya saya berlagak
bingung .
“Aku gak kuat mengaduk yang paling bawah.
Ibu sih lama banget nenenin adek,” gerutu Syifa sambil memijit lengannya yang
pegal. Saya buru-buru mematikan api. Setelah itu saya aduk lagi rendang bagian
bawah. Ternyata cukup banyak rendang yang gosong. Saya tidak yakin masih
bisakah rendang ini dimakan. Saya khawatir rasa gosong itu akan mengurangi
nikmatnya rendang.
“Kakak mau makan nih bu, udah laper dari
tadi.” Syifa menyodorkan piring yang sudah berisi nasi pada saya. Ia tak sabar
untuk memakan rendang itu. Dengan tersenyum kecut saya ambilkan 2 potong
rendang yang tidak gosong untuk Syifa.
Setelah mencuci tangannya, Syifa duduk dan
mulai makan. Saya menahan napas menunggu komentar Syifa. Saya merasa tidak tega
jika mengatakan pada Syifa bahwa rendang itu sebaiknya jangan dimakan, karena pasti
ada rasa gosongnya.
Ketika asyik mengunyah rendangnya, Syifa
seperti merasakan ada yang aneh dengan rasa rendang itu. “Ini rendang atau sate
sih bu?” tanyanya.
“Kenapa kak? Rasanya seperti sate ya?”
“Iya, enak sih, tapi ada rasa gosongya
seperti sate,” jawabnya.
“Pahit nggak?”
“Nggak. Cuman rasanya nggak kayak
biasanya.”
“Tapi masih enak kan?”
“Masihlah bu. Ibu coba aja sendiri.”
Akhirnya saya pun mencicipi rendang itu.
Ternyata Syifa benar. Walaupun rendang itu gosong, tapi rasanya tidak
berkurang. Malah jadi sedikit bertambah. Bukankah rendang yang sebenarnya
adalah daging yang gosong karena dimasak sampai hitam? Jadi apakah ini rendang
atau sate? Kami tetap memakannya. [NS]
yg penting tetep bs dinikmati ya mbak :)
ReplyDeleteBetul banget Mbak Mira :)
ReplyDelete